Senin, 08 April 2013

TEORI KRITIS dalam KEHIDUPAN SOSIAL

Teori kritis adalah produk sekelompok neo-Marxis Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian (Bernstein, 1995; Kellner, 1993; untuk tinjauan yang lebih luas terhadap teori kritis, Agger, 1998), terutama kecenderungannya menuju determinisme ekonomi. The Institute of Social Research, organisasi yang berkaitan dengan teori kritis ini resmi didirikan di Frankfurt, Jerman, 23 Februari 1923, meski sejumlah anggotanya telah aktif sebelum organisasi itu didirikan (Wiggershaus, 1994). Teori kritis telah berkembang melampaui batas aliran Frankfurt (Calhoun dan Karagards, 2001; Telos, 1989-90). Teori kritis berasaJ dari dan sebagian besar berorientasi ke pemikir Eropa, meski pengaruhnya tumbuh dalam sosiologi Amerika (Marcus, 1999; van den Berg, 1980).

@ Kritik Utama terhadap Kehidupan Sosial dan Intelektual Teori kritis sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat (Bleich, 1977).

 @ Kritik terhadap Teori Marxian. Teori kritis mengambil kritik terhadap teori titik tolaknya. Teoritisi kritis ini merasa sangat terganggu oleh pemikir penganut determinisme ekonomi yang mekanistis (Antonio, 1981; Scroyer, 1973; Sewart, 1978). Beberapa orang di antaranya (misalnya, Habermas, 1971) mengkritik determinisme yang tersirat di bagian tertentu dari pemikiran asli Marx, tetapi kritik mereka sangat ditekankan pada neo-Marxis terutama mereka telah menafsirkan pemikiran Marx terlalu mekanistis. Teoritisi tak menyatakan bahwa determinis ekonomi keliru, ketika memusatkan perhatian pada bidang ekonomi, tetapi karena mereka seharusnya juga memusatkan perhatian pada aspek kehidupan sosial yang lain. Seperti akan kita lihat, aliran kritis mencoba meralat ketakseimbangan ini dengan memusatkan perhatiannya pada bidang kultural (Fuery, 2000; Schroyer, 1973:33). Selain menyerang teori Marxian lain, aliran kritis mengkritik masyarakat seperti bekas Uni Soviet yang pura-pura dibangun berdasarkan teori Marxian (Marcuse, 1958).

 @ Kritik terhadap Positivisme. Teoritisi kritis juga memusatkan perhatian terhadap filsafat yang mendukung penelitian ilmiah terutama positivisme (Bottomore, 1984; Halfpenny, 2001; Morrow, 1994). Kritik terhadap positivisme sekurangnya sebagian berkaitan dengan kritik terhadap determinisme ekonomi karena beberapa pemikir determinisme ekonomi menerima sebagian atau seluruh teori positivisme tentang pengetahuan. Positivisme dilukiskan sebagai mewakili berbagai hal (Schroyer, 1970; Sewart, 1978). Positivisme menerima gagasan bahwa ilmiah tunggal dapat diterapkan pada seluruh bidang studi. Positivisme mengambil ilmu fisika sebagai standar kepastian dan ketepatan untuk semua disiplin ilmu. Penganut positivisme yakin bahwa pengetahuan bersifat netral. Merasa bahwa mereka dapat mencegah masuknya nilai-nilai kemanusiaaan ke dalam pemikiran mereka. Keyakinan ini selanjutnya menimbulkan pandangan bahwa ilmu tak berada dalam posisi mendukung bentuk tindakan sosial khusus apa pun. Aliran kritis menentang positivisme karena berbagai alasan (Sewart, 1978). Yaitu Positivisme cenderung melihat kehidupan sosial sebagai proses alamiah. Teoritisi kritis lebih menyukai memusatkan perhatian pada aktivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas tersebut memengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Singkatnya positivisme dianggap mengabaikan aktor (Habermas, 1971), menurunkan aktor ke derajat yang pasif yang ditentukan oleh kekuatan alamiah. Karena mereka yakin atas kekhasan sifat aktor, teoritisi kritis tak dapat menerima gagasan bahwa hukum umum sains dapat diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Positivisme diserang karena berpuas diri hanya dengan menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena tak membuat penilaian serupa terhadap tujuan. Kritik ini mengarah ke pandangan bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menantang sistem yang ada. Seperti dikatakan Martin Jay tentang positivisme ini, “Akibatnya adalah mengabsolutkan ‘fakta’ dan reifikasi tatanan yang ada” (1973:62). Positivisme menyebabkan aktor dan ilmuwan sosial menjadi pasif. Ada segelintir Marxis tipe tertentu yang mendukung pandangan yang menyatakan teori dan praktik tak dapat dihubungkan. Meski kritikan ada kritik terhadap positivisme, beberapa orang Marxis (misalnya beberapa orang Strukturalis Marxis) mendukung positivisme, dan Marx sendm tampaknya yang terlalu positivis (Habermas, 1971).

@ Kritik terhadap Sosiologi. Sosiologi diserang karena “keilmiahannya”, yakni karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Selain dari itu sosiologi dituduh menerima status quo. Aliran kritis berpandangan bahwa sosiologi tak serius mengkritik masyarakat, tak berupaya merombak struktur sosial masa kini. Menurut aliran kritis, sosiologi telah melepaskan kewajibannya untuk membantu rakyat yang ditindas oleh masyarakat masa kini. Menurut anggota aliran ini, sosiolog lebih memperhatikan masyarakat sebagai satu kesatuan ketimbang memperhatikan individu dalam masyarakat maka mereka mengabaikan interaksi individu dan masyarakat. Walau sebagian besar perspektif sosiologi tidak bersalah ketika mengabaikan interaksi ini, namun pandangan ini menjadi landasan serangan aliran kritis terhadap sosiologi. Karena mengabaikan individu sosiolog dianggap tak mampu mengatakan sesuatu yang bermakna tentang perubahan politik yang dapat mengarah ke sebuah masyarakat manusia dan yang adil (Institut Riset Sosial Frankfurt, 1973:46). Seperti dikatakar Zoltan Tar, sosiologi menjadi “bagian integral masyarakat yang ada ketimbang menjadi alat untuk mengkritiknya dan menjadi ragi untuk pembaruan” (1977:x).

@ Kritik terhadap Masyarakat Modern. Kebanyakan karya aliran kritis ditujukan untuk mengkritik masyarakat modern dan berbagai jenis komponennya. Kebanyakan teori Marxian awal secara tegas tertuju ke bidang ekonomi sedangkan aliran kritis menggeser orientasinya ke tingkat kultural mengingat kultur dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis modern. Artinya, tempat dominasi dalam masyarakat modern telah bergeser dari bidang ekonomi ke bidang kultural. Aliran kritis masih tetap memperhatikan masalah dominasi meski masyarakat modern mungkin lebih didominasi oleh elemen kultural ketimbang oleh elemen ekonomi. Karena itulah aliran kritis mencoba memusatkan perhatian pada penindasan kultural atas individu dalam masyarakat. Pemikiran kritis telah dibentuk tak hanya oleh teori Marxian, tetapi juga teori Weberian, seperti tercermin pada perhatian mereka kepada rasionalitas perkembangan dominan dalam dunia modern. Seperti dijelaskan Trent Schroyer (1970) pandangan aliran kritis adalah bahwa dalam masyarakat modern penindasan dihasilkan oleh rasionalitas yang menggantikan eksploitasi ekonomi sebagai masalah sosial dominan. Aliran kritis jelas telah mengadopsi pembedaan antara rasionalitas formal dan rasionalitas subjektif atau apa yang oleh teoritisi dipandang sebagai reason. Menurut teoritisi kritis, rasionalitas formal tak mencerminkan perhatian mengenai cara yang paling efektif untuk mencapai tertentu (Tar, 1977). Inilah yang dipandang sebagai “cara berpikir kratis” di mana tujuannya adalah untuk membantu kekuatan yang mendominasi, bukan untuk memerdekakan individu dari dominasi. Tujuannya semata-mata untuk menemukan cara yang paling efisien untuk mencapai apa pun yang dianggap penting oleh pemegang kekuasaan. Cara berpikir teknokratis berbeda dari cara berpikir nalar (reason), yang dalam pikiran teoritisi kritis menjadi tumpuan harapan masyarakat. Nalar meliputi penelitian tentang cara dilihat dari sudut nilai manusia tertinggi yang berkenaan dengan keadilan, perdamaian, dan kebahagiaan. Teoritisi kritis memandang Nazisme pada umumnya, dan kamp konsentrasi Nazi pada khususnya, sebagai contoh rasionalitas formal yang bertempur mati-matian dengan nalar sehat. Demikianlah seperti dikatakan Friedman, “Auschwitz adalah tempat yang rasional, tetapi ia bukan tempat yang masuk akal (reasonable)”. Meski kehidupan modern kelihatan rasional, aliran kritis memandang masyarakat modern penuh dengan ketidakrasionalan (Crook, 1995). Gagasan ini dapat diberi nama “irasionalitas dari rasionalitas formal”. Menurut pandangan ‘Marcuse, meski tampaknya rasionalitas diwujudkan, masyarakat ini secara keseluruhan adalah tak rasional secara keseluruhan (1964:ix; lihat juga Farganis, 1975). Masyarakat adalah tak rasional karena dunia rasional merusak individu, serta kebutuhan dan kemampuan mereka; bahwa perdamaian dipertahankan melalui ancaman perang terus-menerus; dan bahwa meski sarana yang ada sudah cukup, rakyat tetap miskin, tertindas, tereksploitasi dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Aliran kritis terutama memusatkan perhatian pada satu bentuk rasionalitas formal teknologi modern (Feenberg, 1996). Marcuse (1964), misalnya, mengecam keras teknologi modern setidaknya seperti yang digunakan dalam kapitalisme. Sebenarnya ia memandang teknologi modem berperan penting sebagai metode pengendalian ekstemal terhadap individu yang baru, lebih efektif, dan bahkan lebih menyenangkan. Contoh utamanya adalah penggunaan televisi untuk mensosialisasikan dan menenteramkan pendudnk (contoh lain adalah olahraga massal dan seks). Marcuse menolak gagasan bahwa teknologi adalah netral dalam dunia modem dan sebaliknya memandangnya sebagai alat untuk menguasai rakyat. Teknologi modem adalah efektif karena walaupun ketika diciptakar. tampaknya netral sebenamya ia memperbudak. Teknologi membantu menindas individualitas. Kebebasan batin aktor dilanggar, dikurangi oleh teknologi modern Akibatnya adalah apa yang disebut Marcuse sebagai “masyarakat berdimensi tunggal”, di mana individu kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan secara negatif tentang masyarakat. Marcuse tak memandang teknologi per se sebagai musuh, tetapi memandang teknologi sebagaimana yang digunakan dalam masyarakat kapitalis modern: “teknologi betapa pun ‘murninya’ ia mempertahankan dan memperlancar kelangsungan dominasi. Hubungan yang fatal ini hanya dapat diputuskan dengan revolusi yang menyebabkan teknologi dan teknik tunduk kepada kebutuhan dan sasaran manusia bebas” (1969:56) Marcuse mempertahankan pandangan asli Marx yang menyatakan teknologi bukanlah sebuah masalah bawaan dan karena itu dapat digurtakan untuk membangun masyarakat yang “lebih baik”.

@ Kritik terhadap Kultur. Teoritisi kritis melontarkan kritik pedas terhadap apa yang mereka sebut “industri kultur”, yakni struktur yang dirasionalkan dan dibirokratisasikan (misalnya, jaringan televisi) yang mengendalikan kultur modern. Perhatian terhadap industri kultur lebih mencerminkan perhatian mereka terhadap konsep superstruktur Marxian ketimbang terhadap basis ekonomi. Industri kultur menghasilkan apa yang secara konvensional disebut “kultur massa” yang didefinisikan “sebagai kultur yang diatur…tak spontan. dimaterialkan, dan palsu, bukan ketimbang sesuatu yang nyata” (Jay, 1973:216). Ada dua hal yang paling dicemaskan oleh pemikir kritis mengenai industri kultur ini.
1. Mereka mengkhawatirkan mengenai kepalsuannya. Mereka membayangkannya sebagai sekumpulan paket gagasan yang diproduksi secara massal dan disebarkan ke tengah-tengah massa melalui media.
2. Teoritis kritis terganggu oleh pengaruh yang bersifat menenteramkan, menindas dan membius dari industri kultur terhadap rakyat (D. Cook, 1996; Friedman, 1981 Tar, 1977:83; Zipes, 1994). Douglas Kellner (1990) dengan kesadaran sendiri mengemukakan sebuah teori kritis tentang televisi. Meski ia mengaitkan karyanya dengan pemikiran kultural aliran Frankfurt, Kellner mengambil tradisi Marxian lain untuk menyajikan konsepsi yang lebih utuh tentang industri televisi. Ia mengkritik aliran kritis karena “mengabaikan analisis rinci tentang ekonomi politik media televisi, mengonseptualisasikan kultur massa sebagai sebuah instrumen ideologi kapitalis semata” (Kellner, 1990:14). Jadi, selain melihat televisi sebagai bagian dari kultur Kellner mengaitkannya dengan kapitalisme korporat dan sistem politik. jauh, Kellner tidak melihat televisi sebagai kekuatan monolitik atau kekuatan yang dikendalikan oleh korporat yang koheren, tetapi sebagai “media yang sangat konfliktual di mana bertemu kekuatan kultural, sosial, politik, dan ekonomi yang saling bersaing” (1990:14). Jadi, meski bekerja dalam tradisi teori kritik, Kellner menolak pandangan bahwa kapitalisme sepenuhnya adalah yang diatur. Meski demikian, Kellner melihat televisi sebagai ancaman terhadap demokrasi, individualitas dan kebebasan, dan ia memberi saran-saran untuk menghadapi ancaman itu (misalnya, akuntabilitas yang lebih demokratis, dan partisipasi yang lebih besar dari warga negara, diversitas yang lebih besar pada televisi). Jadi, Kellner bukan sekadar mengkritik, tetapi juga memberi untuk menangani bahaya yang ditimbulkan oleh televisi. Aliran kritis juga tertarik dan kritis terhadap apa yang disebut sebagai “industri pengetahuan”, yang mengacu kepada “entitas-entitas” yang berhubungan produksi pengetahuan (misalnya, universitas dan lembaga penelitian) menjadi struktur otonomi di dalam masyarakat. Otonomi itu membuat mereka bisa memperluas mereka melampaui mandatnya (Schroyer, 1970). Mereka di struktur yang opresif yang hanya tertarik untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh masyarakat. Analisis kritis Marx terhadap kapitalisme membuatnya berharap pada masa tetapi banyak teoritisi kritis malah masuk pada pandangan putus asa tanpa harapan. Mereka melihat problem-problem dunia modern bukan hanya pada kapitalisme, tetapi mewabah sampai ke dunia yang dirasionalkan (rationalized). Mereka memandang masa depan, dalam istilah Weberian, sebagai “sangkar besi” struktur yang semakin rasional yang tak ada harapan untuk keluar darinya. Sebagian besar teori kritik (seperti rumusan asli Marx) adalah sejalan dengan analisis kritik. Meskipun teori kritik juga mempunyai sejumlah minat positif, ia lebih banyak memberi kontribusi yang lebih kritis ketimbang kontribusi Dan karena alasan ini mereka merasa bahwa teori kritik tak banyak memberi sumbangan pada teori sosiologi, Semoga Bermanfaat.

Kamis, 04 April 2013

LAHIRNYA SOSIOLOGI KOMUNIKASI

 Asal mula kajian komunikasi dalam sosiologi bermula dari akar tradisi pemikiran Karl Marx, dimana Marx sendiri adalah masuk sebagai pendiri sosiologi yang beraliran jerman sementara Claude Henry Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim merupakan nama-nama para ahli sosiologi yang beraliran Perancis.
 Sejarah sosiologi komunikasi menempuh dua jalur. Kajian dan sumbangan pemikiran Auguste Comte, Talcott Parson dan Robert K. Merton merupakan sumbangan paradigma fungsional bagi lahirnya teori-teori komunikasi yang beraliran struktural fungsional. Sedangkan sumbangan-sumbangan pemikiran Karl Marx dan Habermas menyumbangkan paradigma konflik bagi lahirnya teori-teori kritis dalam kajian komunikasi.
 Sosiologi sejak semula telah menaruh perhatian pada masalah-masalah yang ada hubungan dengan interaksi sosial antara seseorang dan orang lainnya. Apa yang disebut oleh Comte dengan ”Social Dynamic”, kesadaran Kolektif” oleh durkheim dan interaksi Sosial Oleh Marx serta ”tindakan komunikatif” dan ”teori komunikasi” oleh Habernas adalah awal mula lahirnya perspektif sosiologi komunikasi. Bahkan melihat kenyataan semacam itu, maka sebenarnya gagasan-gagasan perspektif sosiologi komunikasi telah ada bersamaan dengan lahirnya sosiologi itu sendiri baik dalam perspektif struktural fungsional maupun dalam perspektif konflik.
 Selain apa yang disumbangkan Karl Marx dan Habermas mengenai teori kritis dalam komunikasi, sumbangan dari perspektif struktural fungsional dalam sosiologi yang diajarkan oleh Talcott Parson dalam teori sistem tindakan maupun dalam skema Agil, serta kajian Robert K. Merton tentang struktur fungsional, struktur sosial dan anomi, merupakan sumbangan-sumbangan yang amat penting terhadap lahirnya teor-teori komunikasi di waktu-waktu berikutnya...... ( Why Hay You )