Selasa, 31 Maret 2020

Kontroversi Diskursus di Tengah Pandemi Covid-19



Belum lama ini dunia telah digegerkan dengan masalah radikal dan teroris, selang beberapa waktu tiba-tiba dunia digegerkan dengan mewabahnya virus corona atau disebut dengan Covid 19, yang terjadi di Cina, hingga meluas di negara tanpa terkecuali di Indonesia dengan angka terinfeksi 664.924, sembuh 140.222  dan meninggal dunia 30.848 (29/03/2020) 

Covid 19 adalah virus jenis baru dengan penyebaran yang sangat cepat yang justru menimbulkan tanda tanya dan banyak pertanyaan? terdapat wacana dalam pemberitaan di media massa bahwa bahwa pandemi Covid 19 adalah virus alami dan ada pula wacana pemberitaan yang justru mempertegas bahwa Covid 19 adalah virus buatan manusia, penulis mengumpulkan data dan mendeteksi pemberitaan secara online mulai pada februari sampai maret 2020 berkisar 40 pemberitaan yang simpangsiur mengenai covid 19 bersifat alami atau buatan manusia. Berikut argumentasi dalam paradigma ilmu sosial. 

ARGUMENTASI POSITIVISTIK

Kaum postivistik dalam ilmu sosial beranggapan bahwa masalah dan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan dan ketentuan bagi kepercayaannya. Terlepas dari kesadaran masyarakat dibentuk secara alamiah (natural) yang berdasar pada fakta atau pengalaman-pengalaman yang telah didapatkan sebelumya, secara spesifik individu atau masyarakat dianggap sama dengan alam yang memiliki hukum yang bersifat mekanis/pasti. Positivisme menyatakan alam sebagai sumber pengatahuan yang benar yang didasarkan pada rasionalitas dan data empirik. 
Comte (1798-1857) mengungkapkan bahwa ciri pengatahuan yaitu dengan membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai sebuah keyataan dan kebenaran, mengumpulkan, mengklasifikasi dan memprediksikan masalah sosial sesuai dengan aturan-aturan yang berdasar pada pengalaman-pengalaman mereka. Konstruksi pengatahuan berdasar pada aliran postivistik yang menganggap bahwa gejala-gejala alam yang berdasar pada pengalaman bersifat faktual, nyata dan empiris. Hukum atau aturan sosial yang telah ditetapkan sebelumya menjadi keharusan yang dilakukan masyarakat, menjadikannya terpaksa dan menerimanya, didalam ilmu sosial disebut dengan paradigm fakta sosial.

Paradigma fakta sosial meliputi masyarakat dan alam yang merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat, didalamnya terdapat aturan dan nilai-nilai (hukum) multidimensional yang meliputi politik, ekonomi, agama, budaya, keluarga dll. Aturan dan nilai multidimensi tersebuat adalah sebuah keharusan yang dilakukan oleh masyarakat dalam merealisasikan kehidupan sosialnya. Hal ini senada dengan istilah positif dari bahasa Latin, yaitu positus yang berarti meletakkan, yang secara subtansial segala urusan benar dan salah, patuh dan tidak patuh adalah ketentuan hukum (aturan dan nilai) yang telah diletakkan sebelumnya untuk individu atau masyarakat dan alam.  

Masalah pandemi covid 19 atau disebut dengan virus corona merupakan virus secara alamiah menggerogoti masyarakat dunia, masalah virus corona terbentuk secara alami yang berdasar pada argumentasi ilmiah, realitas ini dibuktikan dalam berbagai penelitian ilmiah salah satu dalam jurnal Nature Medicine yang ditulis oleh Dr Kristian Andersen seorang professor imunologi dan mikrobiologi, data membuktikan bahwa perbandingan data sekuens genom yang tersedia untuk strain coronavirus yang diketahui, mempertegas validitas bahwa SARS-CoV-2 bersifat alamiah. Argumentasi positivistik kemudian relevan dalam menilai fenomena virus pandemi covid 19 yang kian hari semakin meluas, simpulan hasil analisis Dr Kristian Andersen bahwa genom untuk lonjakan protein pada virus corona sangat efektif untuk mengikat sel manusia yang memungkinkan hasil dari seleksi alam.

Masyarakat dan alam tidak akan terhindar dari nilai-nilai dan aturan yang melingkupinya, dalam paradigma fakta sosial aturan multidimensional mempengaruhi individu dan masyarakat hingga pada pemaksaan kehendak. Menyikapi Covid 19 yang semakin hari semakin urgensi, dibutuhkan penanganan yang sangat serius yakni merealisasikan arahan aturan pemerintah, anjuran agama dan tenaga medis dalam mengurangi infeksi penularan dari individu ke individu dan masyarakat yakni dengan sosial distancing, lockdown, isolasi. karantina, work from home serta meningkatkan imunitas.

Fakta sosial selanjutnya adalah adanya anjuran agama islam untuk menghidari wabah dan penyakit menular, dalam hadits yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari: Rasulullah SAW pernah bersabda:“Jika kamu medengarkan wabah di suatu wilayah maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika wabah di tempat kamu berada maka jangan tinggalkan tempat itu”. (HR. Bukhari). Selanjutnya beliau juga bersabda, Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam beliau bersabda:” janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat (HR. Bukhari).

Bagi aliran ini, wabah pandemi covid 19 adalah masalah serius yang berdasar pada hasil produksi alam (makhluk hidup) dan manusia. Dialektika ini terjadi disebabkan alam dan seisinya (makhluk hidup) untuk manusia, manusia untuk alam saling membutuhkan satu sama lain. Ironisnya jika manusia mendominasi alam dengan mengedepankan kerakusan dan keangkuhannya, maka sebaliknya alam akan berbalik mendominasi manusia dengan bencananya yaitu pandemi covid-19. 

ARGUMENTASI KRITIS

Berawal dari kritisme Immanuel Kant (1724-1804) bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula dengan pengalaman (empirik) tidak dapat selalu dijadikan tolak ukur kebenaran dan pengatahuan. Argumen Kant mengindikasikan bahwa terdapat penolakan atas argumen-argumen positivistik yang menggunakan rasionalisme dan empirisme dalam melihat kebenaran sehingga membentuk pengatahuan.    

Dinamika dan masalah sosial dalam paradigma kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkapkan realitas struktur dibalik ilusi yang dinampakkan dunia secara materil. Kaum kritis beranggapan bahwa semua masalah dan dinamika sosial terjadi bukan secara alamiah yang berdasar pada rasionalitas yang empirik, akan tetapi terdapat subjek tertentu sebagai aktor terjadinya masalah dan dinamika sosial. 

Max Horkeimer (1937) menyatakan bahwa teori kritis berorentasi kritis dan mengubah masyarakat secara keseluruhan, intinya adalah fenomena masyarakat harus dikaitkan dengan sejarah dan fenomena masyarakat harus pula dikaitkan dengan semua disiplin ilmu sosial lainnya. Pun demikian gagasan Emmanuel Kant dalam “Critique of Pure Reason” untuk menyerang aliran positivisme yang hanya mengatasi masalah dengan menggunakan rasionalitas dan empiris dan tidak menggunakan hukum logika sebab-akibat.

Senada dengan argument tersebut, covid 19 merupakan permasalahan sosial yang hidup dalam dinamika diskursus, seringkali diwacanakan di media massa dengan narasi yang berbeda-beda, kaum kritisme beranggapan media massa dengan penyebaran berita atas dasar kepentingan individu, kelompok atau negara. Hal ini kemudian diperkuat bahwa terdapat pemberitaan yang mengungkapkan bahwa virus corona atau covid 19 tidaklah alamiah akan tetapi virus buatan manusia melalui laboratorium (mutasi genetik). Dengan menggunakan analisis teori konspirasi sebagai pisau bedah terdapat keanehan-keanehan dalam dinamika pandemi covid 19 ini, keanehan-keanehan tersebut di antaranya: pertama belum cukup setengah tahun virus ini menyebar begitu cepat mencapai puluhan negara yang telah terinfeksi, kedua covid 19 tidak mematikan seperti virus Sars dan Mers, anehnya adalah media lebih suka memberitakan covid 19 dari pada Sars dan Mers dahulu, padahal sama-sama jenis virus corona. Berdasar keanehan tersebut dalam analisis konspirasi mengenai covid 19 bahwa virus tersebut adalah kiriman tentara militer Amerika untuk Cina (Liputan6.com) dan Covid 19 adalah senjata biologis Amerika untuk Cina (CNBCIndonesia.com), meski belum terdapat bukti-bukti yang konkrit untuk membenarkan argument ini.

Aliran kritis pada posisinya bertujuan untuk menggugat argumentasi yang hanya mengedepankan rasio dan data empirik, tanpa menggunakan logika hukum sebab-akibat, argumentasi kritis dalam teori konspirasi, menganggap bahwa pendemi covid 19 adalah ciptaan kelompok tertentu yang bertujuan mendominasi, menguasai kelompok masyarakat agar tunduk dan patuh kepadanya. Tujuan aliran ini kemudian relevan apa yang di ungkapkan Marxisme klasik yaitu melawan segala bentuk penindasan dan kewenang-wenangan, sementara dalam agama bahwa islam mengutuk kelompok yang melakukan eksploitasi terhadap kelompok lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an dalam Surah Al-A’raf, ayat 137, ketika Fir’aun menguasai dan menindas negeri Syam dan Mesir.

Konstruksi pengatahuan bukan hanya berdasar pada rasionalitas manusia (a priori) akan tetapi juga membutuhkan pengalaman manusia (a postteriori), maka gabungan keduanya menurut Emmanuel Kant adalah kritisisme. Sebagai kongklusi untuk masyarakat bahwa dalam menyikapi realitas pandemi covid 19 sangat dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh yakni selain makhluk hidup (virus) ini adalah hasil produksi alam secara alami ataupun buatan manusia melalui laboratorium akan tetapi secara ilmiah virus ini sangat berbahaya untuk manusia maka dibutuhkan penanganan untuk menyelesaikan masalah ini yaitu realisasikan aturan dan arahan pemerintah, taati anjuran agama, patuhi arahan tim medis dan yang terpenting adalah jaga kesehatan, tingkatkan imunitas, kritis atas berita media sosial yang menimbulkan kepanikan & strees, hindari berita hoax. Salam doa dan selamat berbagi.   

Selasa, 17 Maret 2020

EUROSENTRISME DAN MENGGUGAT HEGEMONI BARAT


Berawal dari sebuah sejarah sebelum Abad-16 Bangsa Barat & Eropa mengalami Krisis berkepanjangan sehingga mereka berfikir bahwa salah satu solusi untuk keluar dari masa krisis ini dengan Bangkit dan membentuk sistem kekuasaan politik kolonial dan imperial terhadap Bangsa Bangsa lain, Sehingga penjajahan mereka berawal di Konstantinopel membuat Barat diperkaya dengan rempah rempah dan berlangsung cukup lama. Pada tahun 1453 Konstantinopel jatuh di tangan Turki Usmani dan mengakibatkan tertutupnya pasokan rempah rempah sehingga mengakibatkan Bangsa Barat/Eropa Memperluas daerah kekuasaannya di berbagai Samudra salah satunya adalah Bangsa Indonesia.
            Kolonialisme dan Imperialisme sebenarnya memiliki pengertian yang sama dan sampai sekarang belum mendapatkan Definisi yg lengkap dan kongkrit , akan tetapi tujuan utama Bangsa Barat/Eropa yaitu Gold, Glory dan Gospel. Sehingga membentuk sistem kekuasaan politik dengan cara mendominasi, mengeksploitasi, mendeskriminasi hingga menjadikan negara yg dijajah bergantung kepadanya. Awalnya penjajahan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan Ekonomi rempah rempah Barat/Eropa dalam bentuk kolonialisasi sistem tanam paksa, tetapi dengan kerakusannya mereka semakin memperluas wilayah kekuasaan mereka sehingga membentuk imperium imperium yg semakin luas hingga menyentuh pada aspek Budaya, Ideologi, Ilmu Pengatahuan bahkan Agama hingga pada Abad 19.
            Jika kita kembali pada sejarah peraktek peraktek kekuasaan yang berdasarkan atas kepentingan sudah terjadi pada zaman purbakala ketika pecahnya perang antara Grik tua dengan dinasti Achaemenids ( 600-300 SM) dari imperium Parsi, sejak masa pemerintahannya Cyrus The Great ( 550-530 SM) sampai pada  raja raja turunannya. Juga pada Zaman Pertengahan bermula pada abad ke-4 masehi dan berlangsung selama seribu tahun sampai dengan zaman kebangkitan ( Renaissance) di Eropa pada abad ke-14 masehi. Terjadi saling menguasai antara imperium Roma dengan dinasti Sasanids (206-651M), Hingga sampai pada masa tumbangnya kekuasaan islam di Adalusia tahun 1492 M di antaranya pada masa Khalifah Umar Bin Khattab di Parsi (634-644 M) dan Khalifah Walid Bin Abdul Malik di Suraih dan Bani Umayyah ( 705-715 M). Dua Zaman tersebut adalah akar sejarah pertumbuhan dan merupakan minat pihak Barat untuk mempelajari situasi dan kondisi di Timur. 
Sehingga pada pencapaian kajian terhadap Timur di sebut dengan istilah “Orientalisme” dan sebaliknya pengkajian terhadap Barat disebut dengan” Oksidentalisme”. Terdapat beberapa faktor pendorong atas kajian ini antaranya adalah :
Kajian Orientalisme
-     Berawal dari Perang Salib
-     Sentuhan Barat Dengan Perguruan Tinggi Islam salah satunya Universitas Tertua yang ada di Mesir dan Universitas Cordova Andalusia.
-     Penyalinan Naskah-Naskah Arab ke dalam bahasa Latin Mengenai Bidang Ilmiah dan Filsafat. 
Kajian Oksidentalisme
-     Awal terjadinya keguncangan peradaban Barat dengan sains Barat membuat ego kehilangan keseimbangan.
-     Awal kebangkitan dari keguncangan imperialisme yang ditandai dengan munculnya seruan untuk menggunakan cara yang ditempuh penjajah dalam menguasai kita (Timur;Islam).
-     Gerakan reformasi dan keinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani, tasawuf dan tradisi lama penguasa, serta munculnya seruan untuk mengambil Barat sebagai contoh kebangkitan modern.
-     Dibangunnya negara modern setelah terlepas dari negara elit, dan dibutuhkannya teoritisi, teknokrat, sarjana dan birokrat untuk mengisi pos-pos pemerintahan.
-     Awal pengiriman delegasi keilmuan dan warga kita (Timur) ke Barat untuk belajar disana.
-     Kunjungan timbal balik antara Timur dan Barat, dan dikenalnya the other oleh ego yang kemudian dianggap sebagai cermin bagi ego. Kebanggaan kepada Barat pun merebak di kalangan kita (Timur), sehingga muncul anggapan bahwa Barat adalah satu-satunya tipe modernisasi.
-     Awal penulisan tema-tema tentang wacana barat dalam bidang pemikiran, politik, sosial, etika, hukum dan lainnya yang mengakibatkan tersebarnya madzhab Barat di atas realitas kita dan kemudian menjadi fokus kebudayaan pemikat bagi umat manusia.
Dominasi Barat / Eropa membentuk hegemoni dari berbagai bentuk kekasaan  ,seperti yang di katakan Said dalam wacana Orientalisnya dengan meminjam teori Michel Foucault dan Antoniou Gramchi sebagai pisau bedah, membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme :
Pertama kekuasaan Politis, sebetulnya pada wacana orientalisme sama sekali tidak berhubungan langsung dengan kekuatan kekuatan politis secara kongkrit, namun lebih berhubungan dengan suatu pertukaran timbak balik yang tidak seimbang antara berbagai jenis kekuatan. Pada kekuasaan Politik ( Pembentukan Pemerintahan Imperial dan Kolonial) sehingga dapat di jelaskan bahwa pola kekuasaan politis yang menjadi wacana orientalisme yaitu penekanan dan penciptaan superioritas dan inferioritas. Orientalisme selalu menempatkan Timur sebagai pihak inferior, dan pada saat yang sama ia menciptakan Barat yang superior. Inilah yang merupakan proyek oposisi-biner Barat dan memiliki bentuk kesamamaan dengan Analogi Spivak dalam Poskolonial tentang penindasan kelompok minoritas atas kelompok mayoritas, Penindasan Kelas Borjuis atas kelas Proletariat atau Penindasan Laki-Laki atas Perempuan, Fannon juga mengungkapkan bahwa terdapat bentuk Identitas yang lebih tinggi Barat yang berkulit putih dan Identitas rendah adalah Orang Timur “ Poskolonial”.  .
Kedua kekuasaan Intelektual ( Seperti sains sains dominan, ilmu pengatahuan atau anatomi komparatif ), cukup jelas bahwasanya kekuasaan intelektual yang Dominan adalah Barat/Eropa, faktanya bahwa bentuk kebergantungan Timur terhadap Barat  begitu besar dalam berbagai aspek khususnya pada Ilmu pengatahuan, Linguistik,  dan  Akademis, dalam buku yang di gagas oleh Syed Farid Alatas bahwa dalam teori captive Mind yang lahir dalam konteks kebergantungan.  Kebergantungan ini menyoroti relasi antara akademisi di pusat ( Barat ) dan akademisi di pinggiran (Timur), ketika yang disebut pertama mendominasi yang disebut kedua dalam bentuk imperialisme intelektual. Akademisi pinggiran menggantungkan penelitian dan dana pengembangan pada rekan mereka di pusat  bahkan jurnal ilmiah dikontrol terutama oleh institusi akademisi di pusat, hal ini di sebut oleh Samir Amin adalah Eurosentrisme .
Ketiga kekuasaan Kultural ( seperti ortodiksi- ortodoksi dan undang undang ras, bahasa dan nilai nilai), pada kekuasaan kultural bentuk Dominasi Barat mencakup pada selera, teks, dan kategori estetika kolonial yang di mimiasi/mimikri (dalam konsep Bhaba) oleh bangsa Timur, hal ini bisa di temukan di India, Mesir dan negara negara bekas koloni. Pada Kekuasaan selera di Indonesia terdapat Mcdonald dan Bakery Holland yang begitu di minati Masyarakat Indonesia “ Westernteste” begitu pula Style seperti gaya berbusana, warnah kulit, bentuk Hidung  bahkan oprasi plastik , tidak lain hanyalah untuk mempercantik diri Mirip Orang Orang Barat “ Westernisasi” dan kesemuanya adalah budaya Barat yang diadopsi oleh bangsa Timur khususnya Indonesia ( Indikasi Eurosentrisme ).
Keempat  Moral kekuasaan ( Seperti gagasan-gagasan tentang apa yang” kita ” lakukan dan apa yang tidak dapat “ mereka ” lakuakan atau pahami seperti yang “ kita ” lakukan atau “ kita ” pahami ), secara Subtansial Kekuatan moral menurut Said adalah tentang apa yang baik dan tidak baik dilakukan Timur. Said mengungkapkan bagaimana orang-orang Arab mengalami pendiskreditan dan pemaksaan identitas yang signifikan. Sebagaima negara yang terbelakang, Arab dikonstruksikan dan direpresentasikan sebagai bangsa yang berbahaya, rendah, statis, dan berbagai predikat buruk lainnya. Pendapat ini juga mungkin ditujukkan untuk menjustifikasi praktik “kontrol” sewenang-wenang negara Barat terhadap negara Arab atau Timur Tengah.
Selanjutnya, Barat juga mempunyai peran besar dalam menciptakan representasi dan prototip wanita Timur dengan segala eksotisme, sensualitas, dan kebisuannya. Flaubert dalam Kuchuk Hanem, Harem, dan konsepsi hina wanita Timur dalam teks-teks lainnya merupakan contoh dari hal ini.
Solusi dan Kongklusi : Dikotomi negara maju dan negara berkembang merupakan wacana yang hidup dalam orientalisme, negara maju adalah negara-negara Barat, terutama Eropa. Dan negara berkembang, dengan tingkat Human Development Index yang rendah adalah Asia dan Afrika. Bentuk dikotomi ini menegaskan superioritas Barat dan inferioritas Timur. Secara Politis, intelektual, kultural, moral, dan ekonomi, predikat negara berkembang ini merupakan suatu hegemoni Barat. Karena dengan dikotomi itu, negara Barat terkesan legitimate  untuk memberikan perlakuan khusus kepada negara-negara berkembang, dengan rezim World Bank atau WTO. Sah-sah saja memang menggolongkan negara sesuai dengan kemampuan ekonominya, tetapi yang perlu dicermati di sini adalah, setelah mempelajari postkolonialisme dan orientalisme khususnya, saya menjadi sadar bahwa konstruksi dan konsepsi internasional seperti istilah negara berkembang merupakan bentuk-bentuk tak terlihat dari kolonialisme jenis baru. Dan kita sebagai orang Timur hendaknya berhenti membentuk diri kita sendiri sesuai konsepsi Barat: Timur yang inferior, fundamentalis, miskin, intelektualitas rendah, dan predikat lainnya merupakan ilusi yang tidak harus kita terima tetapi yang harus kita lawan adalah sebuah Solusi menurut saya.

Minggu, 16 April 2017

MEDIA MASSA SEBAGAI INDUSTRI BUDAYA DARI TEORI KRITIS KE STUDI BUDAYA

DAVID HOLMES PERSPEKTIF
(Teori Komunikasi)

Dimulai sekitar akhir abad kesembilan belas, modernisme adalah istilah umum kita berikan untuk cara yang masyarakat manusia menanggapi perubahan yang terjadi selama revolusi industri. Dengan berakar pada Pencerahanperiode abad kedelapan belas, modernisme cenderung untuk menantang dan teokratisBerpusat pada Tuhan pengertian tentang dunia yang telah membantu mendefinisikan masyarakat manusia di masa lalu.

Dengan keyakinan dalam keniscayaan ilmiah banyak aspek modernisme cenderung memiliki keyakinan yang optimis dalam modernitas untuk mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Namun, karena pada abad kedua puluh modernisasi berkembang, sehingga
brutal efek ilmu pengetahuan dan industrialisasi pada kehidupan manusia (khususnya di perang dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua) menjadi semakin jelas.
Secara khusus, banyak modernis datang untuk melihat industrialisasi sebagai musuh pemikiran bebas dan individualitas; menghasilkan alam semesta menjadi dingin dan tanpa jiwa. Hal ini menjadi alasan bahwa reaksi modernisme terhadap modernitas sering dianggap sebagai intens paradoks. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah konsepsi masyarakat dan diri kita sendiri, sehingga seniman dan intelektual mencari cara baru untuk mewakili dan mengartikulasikan fragmentasi dari 'dunia berani baru' ini. Surrealisme jelas didramatisasi ke dalam kekuatan mimpi dan alam bawah sadar, sedangkan futuris yang dianut cinta untuk teknologi, mesin dan kecepatan. Namun, ada juga kecemasan yang mendalam tertanam dalam banyak ungkapan-ungkapan artistik, sedangkan,skizofrenia dari pengalaman modern tampaknya di jantung sungai 'darinovel kesadaran ', sedangkan lukisan di ekspresionis Abstrak tampaknya
mengartikulasikan lanskap kacau, anarkis, aneh dan nihilistik dari modern dunia.

sebagian modernism berdasarkan keyakinan pada kekuatan seni dan seniman untuk mengubah dunia yang terletak di balik nya ketidakpercayaan besar dan membenci jenis budaya sehari-hari dapat ditemukan di pulp novel, bioskop, televisi, komik, surat kabar, majalah dan sebagainya. Ada banyak contoh yang mencerminkan penghinaan modernisme untuk media, namun mungkin salah satu kelompok yang paling terkenal intelektual untuk mengambil sikap ideologis adalah “Sekolah Frankfurt”. Diasingkan dari Jerman ke Amerika selama Perang Dunia Kedua, kelompok Marxis Eropa dikejutkanoleh bagaimana Amerika memiliki banyak kesamaan dengan produk-produk dari produksi massal. Secara khusus,Sekolah Frankfurt suka melihat media sebagai produk standar industrialisasi, sering menghubungkan budaya massa dengan aspek Fordisme. Fordisme adalah istilah untuk menggambarkan kesuksesan Henry Ford di industri otomotif, khususnya perbaikan metode produksi massal dan pengembangan perakitan line pada 1910. menggunakan teknik produksi massal berarti bahwa mobil bisa dibuat lebih murah dan karena itu menjadi lebih mudah diakses ke Amerika.

Untuk teoretisi Marxis Sekolah Frankfurt, filosofi ini 'Fordist' adalah juga terlihat dalam semua aspek budaya massa, dimana setiap acara televisi, film, pulp,novel, majalah, dan sebagainya semua identik. Mereka mendeskripsikan dari 'Budaya Industri 'jelas mengungkapkan ketidaksukaan mereka untuk ' industri 'produk dan mereka formula kemasan. Daripada penonton merangsang, 'produk' media ini dirancang untuk menjaga massa dalam penindasan mereka dengan menawarkan bentuk homogen dan standar budaya. Theodor W. Adorno menjelaskan dengan referensi musik populer: “Bertujuan Standardisasi Struktural di Reaksi Standar: Mendengarkan populer
musik tidak hanya dimanipulasi oleh promotor tetapi, seakan-akan, oleh sifat yang melekat ini musik itu sendiri, menjadi sebuah sistem mekanisme respon sepenuhnya bertentangan dengan ide individualitas dalam masyarakat, bebas liberal Ini adalah bagaimana musik populer mendivestasikan pendengar spontanitas dan mempromosikan refleks bersyarat.” (Adorno [1941] 1994: 205-6, penekanan dalam dokumen asli).

Meskipun pendekatan pesimistis dari Sekolah Frankfurt terhadap media, masih bisa dipuji karena setidaknya mengambil bentuk-bentuk baru Media ini serius dan layak
studi akademik. Proyek ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh strukturalis gerakan yang menjadi semakin populer di tahun 1950-an dan 1960-an. Sebagian tumbuh dari keyakinan pada kekuatan ilmu pengetahuan dan rasionalisme, strukturalisme berpendapat bahwa individu dibentuk oleh struktur sosiologis, psikologis dan linguistik dimana mereka memiliki sedikit kontrol. Keyakinan pada kekuatan berpikir rasional juga informasi metodologi yang dapat digunakan untuk mengungkap struktur-struktur ini dengan menggunakan kuasi-ilmiah metode investigasi. Semiotika memainkan peran sentral,dalam hal ini usaha, yang diterapkan pada segala macam teks budaya dari bioskop untuk iklan dan dari fotografi untuk komik.

Berdasarkan Ferdinand de Saussure dan karya Charles Sanders Peirce tentang linguistik, semiotika ditetapkan yang jelas dan koheren metodologi dimana arti dari teks apapun dapat dibaca secara objektif sebagai suatu system :
'Tanda-tanda' dari. Dengan 'decoding' 'tanda' ini, ahli semiotik secara bertahap bisa terurai berarti dimana penonton sedang dimanipulasi. Seperti Daniel Chandler katakan, 'econstructing dan peserta realitas tanda-tanda yang dapat mengungkapkan realitas memiliki hak istimewa dan yang ditekan. Seperti studi melibatkan menyelidiki konstruksi dan pemeliharaan realitas oleh kelompok sosial tertentu’.
Menurut Marxis, sifat konklusif dari pembacaan tekstual diberikan oleh orang-orang seperti Barthes meninggalkan sedikit keraguan bahwa strukturalisme masih melihat budaya massa sebagai terutama menyebarkan kekuatan ideologi yang dominan dan semua-persuasif. Salah satu yang paling terkenal adalah Barthes. contoh proses di tempat kerja adalah analisis semiotik tentang foto di sampulnya. sebuah majalah Match Paris pada 1955. Menampilkan seorang tentara hitam menghormat bendera Perancis, Barthes berpendapat bahwa ini merupakan contoh dari media memberikan Imperialisme Prancis
citra positif di saat-saat krisis nasional. Jadi sementara metode quasi-ilmiah
strukturalisme membantu untuk lebih sah kajian budaya massa dan media
setelah perang, kesimpulan masih cenderung menunjukkan bahwa penonton tidak berdaya untuk menolak arti tersembunya.Dengan cara ini, maka, kita dapat mulai mengidentifikasi beberapa komponen utama dengan dimana media dan khalayak perusahaan telah disusun dan dianalisa selama semester pertama abad kedua puluh. Secara khusus, konteks modernisme memberi kita teoritis wawasan cara di mana media dipahami dan impuls ideologi yang pasti dipengaruhi teori-teori kritis. Jenis pendekatan teori umumnya tidak mempercayai media, dengan alasan bahwa para penonton diperlukan harus dilindungi dari pengaruh standar dan memalukan. Karena itu berbeda dari ide-ide teoritis yang ada sekarang datang untuk menentukan 'teori digital dan peran Media Baru pada abad ke dua puluh satu.Postmodernisme dan Media Baru Sedangkan modernisme pada umumnya dikaitkan dengan fase awal industri revolusi, postmodernisme (pertama kali diidentifikasi dalam arsitektur (lihat Jenks 1984) lebih umumnya terkait dengan banyak perubahan yang telah terjadi setelah revolusi industri.Sebuah ekonomi pasca-industri (kadang-kadang dikenal sebagai pos-Fordist), adalah satu di mana transisi ekonomi telah terjadi dari manufaktur berbasis perekonomian ke perekonomian jasa berbasis. masyarakat ini ditandai oleh munculnya informasi teknologi, globalisasi pasar keuangan, pertumbuhan pelayanan dan pekerja kerah putih dan penurunan industri berat (lihat Bell 1976). Tidak mengherankan, terlihat bahwa budaya dan politik yang dihasilkan oleh '-pasca industri " masyarakat akan sangat berbeda dengan yang didominasi oleh industri konteks modernisme.
Perubahan budaya sebagian dapat dipahami sebagai produk dari masyarakat konsumen, dimana konsumsi dan rekreasi sekarang menentukan pengalaman kita dari pekerjaan dan produksi.Ini berarti bahwa 'Budaya konsumen' datang untuk mendominasi bidang budaya; bahwa pasar menentukan tekstur dan pengalaman kehidupan sehari-hari kita.
Di dunia 'postmodern' tidak ada titik acuan di luar komoditas dan setiap rasa teknologi.
dirinya yang terpisah secara perlahan dan menghilang.
Perubahan dalam masyarakat pasca-industri telah jelas mempengaruhi cara teori kritis sekarang memahami dan conceives peran media yang saat ini bermain di masyarakat. Secara khusus, telah terjadi pergeseran yang jelas jauh dari budaya pesimisme yang pernah mendefinisikan pendekatan modernis ke media ditemukan dari Sekolah Frankfurt. Mungkin tanda-tanda pertama seperti pergeseran kritis dapat dideteksi dalam karya McLuhan. Sementara McLuhan berbagi banyak kecemasan modernis tentang pengaruh ideologi media pada audiens yang ditipu dan tidak berdaya (Lihat, sebagai contoh, awal nya analisis dampak merugikan dari iklan dalam The Mechanical Bride: Cerita Rakyat Industri Man (1951)), karyanya sering mengkhianatinya sebuah semangat dan kegairahan untuk media yang jarang terdeteksi pada modernis teori kritis. Bahkan gaya penulisannya tampak tenggelam dalam pesan terfragmentasi dari media elektronik dengan aforisme yang terkenal seperti 'medium adalah pesan' muncul untuk meniru slogan iklan atau gigitan suara. Memang, di awal penggunaan istilah 'surfing' (untuk menyebut gerakan cepat, tidak teratur dan multi-directional melalui tubuh dokumen), didahului World Wide Web dan televisi multi-channel oleh
sekitar 30 tahun. Sebagai Levinson (1999) menunjukkan dalam Digital McLuhan, banyak karyanya mengantisipasi kekuasaan New Media untuk meningkatkan interaktivitas dengan penonton informasi elektronik secara keseluruhan - transformasi kita semua 'voyeurs untuk peserta. Pergeseran teoritis dalam konsepsi media dan para penonton kemudian
dilakukan oleh banyak pekerjaan informasi melalui pos-strukturalisme. Sementara strukturalisme umumnya mencerminkan kebutuhan modernis untuk mengungkap makna ideologi laten tertanam dalam teks media, pasca-strukturalisme cenderung mengambil pandangan yang kurang deterministic tentang sifat media secara keseluruhan. Dipengaruhi oleh karya teoretisi seperti Louis Althusser (1971) dan Antonio Gramsci (1971), media analisis secara bertahap mulai untuk mengakui ideologi yang lebih kompleks daripada yang pertama dibayangkan, bahwa media penonton bisa menahan makna ideologi dan bahwa teks-teks itu sendiri bisa 'Polysemic', yaitu, yang terdiri dari beberapa arti. Ini pasti berarti bahwa desakan modernis bahwa teks media bisa ditelanjangi untuk satu makna ideologi menjadi semakin tidak bisa dipertahankan.
Post-strukturalisme menekankan selip antara satu tanda dan berikutnya, antara satu konteks dan berikutnya.sementara makna yang selalu terletak, khusus untuk konteks yang diberikan ...
Teori psikoanalisis dan ideologi, di bawah pengaruh pascastrukturalisme, fokus pada kesenjangan dan celah, yang absen strukturisasi dan yang incoherencies, dalam teks Yang tidak pasti maknanya. dalam teks adalah pusat untuk banyak pascastrukturalis teori, perubahan yang sangat berarti dimana riset kontemporer tidak hanya memahami media tetapi juga penerima atau 'pembaca'. Secara khusus pengaruh, dari pascastrukturalis teori analisis media berarti bahwa penelitian saat ini cenderung kurang menekankan pada cara teks dikodekan (oleh produsen nya) untuk cara-cara ini diterjemahkan (dengan penerima nya).Awalnya disebut sebagai tradisi kepuasan-kepuasan ', metode baru analisis media telah menghasilkan kekayaan bahan yang berusaha untuk menunjukkan bagaimana kompleks produksi makna antara teks dan penonton sebenarnya. Ini adalah mendalam menjauh dari konsepsi modernis dan strukturalis penonton sebagai dupes budaya pasif, kembali membayangkan mereka bukan sebagai peserta aktif dalam produksi makna. Karena ini menyarankan, penting untuk kedua pandangan postmodern dan pascastrukturalis dari dunia adalah gagasan bahwa makna itu sendiri tidak pernah bisa sepenuhnya disematkan ke bawah. Membangun pemahaman strukturalisme tentang budaya melalui struktur linguistik, pasca-strukturalisme berpendapat bahwa realitas dapat hanya benar-benar diketahui melalui bahasa dan wacana. Ini berarti bahwa bukan hanya dan polos mencerminkan dunia nyata, bahasa sebenarnya konstruksi pandangan kita tentang diri kita dan pengertian kita tentang 'Yang nyata'. Jadi, daripada mencari makna yang lebih dalam yang ajaib ada di luar bahasa dan wacana, pasca-strukturalisme cenderung menganalisis diskursif dan kondisi praktis oleh 'kebenaran' yang dibangun. Jadi sementara modernisme cenderung untuk mencari makna dan kebenaran di antara kekacauan dan fragmentasi dunia modern, postmodernisme muncul untuk menerima bahwa upaya untuk kebenaran universal tersebut sia-sia. Ketidakstabilan ini 'kebenaran' ini terkait dengan klaim postmodernis bahwa pada akhir orang-orang abad kedua puluh telah berangsur-angsur menjadi lebih skeptis tentang utopis teori-teori seperti Pencerahan dan Marxisme. Menolak mereka sebagai 'grand ' Narasi, teoretisi postmodern cenderung untuk mengkategorikan pandangan dunia total sebagai tidak lebih dari linguistik dan narasi konstruksi. Meskipun mungkin sulit untuk membayangkan seperti teori dalam dunia sebagian dalam cengkeraman fundamentalisme agama, kepercayaan dalam kemungkinan utopia modernisme tidak tampaknya diperebutkan. kritikus berpendapat dunia Barat semakin sinis.
teori Jean-François Lyotard dikatakan: Dalam masyarakat kontemporer dan budaya masyarakat pascaindustri, postmodern Budaya besar telah kehilangan kredibilitasnya, terlepas dari Cara penyatuan menggunakan.apakah itu narasi spekulatif atau sebuah narasi emansipasi Setiap kali kita pergi mencari penyebab dalam hal ini kita pasti akan kecewa.
Memang, beberapa kritikus berpendapat bahwa postmodern sekarang semakin tidak mungkin untuk membedakan antara 'citra' media dan 'nyata' - masing-masing pasangan telah menjadi begitu sangat saling terjalin yang sulit untuk menarik garis antara keduanya. Menurut filsuf Baudrillard (1994), dalam kontemporer masyarakat salinan disimulasikan kini bahkan digantikan objek asli.fenomena ini Baudrillard merujuk sebagai 'orde ketiga simulacra' yang menghasilkan
keadaan 'hyperreality'. Ini tidak berarti bahwa hanya garis antara gambar media dan nyata telah menjadi kabur, melainkan lebih bahwa gambar media dan yang nyata kini menjadi bagian dari entitas yang sama dan karena itu sekarang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sebagai Terbaik dan Kellner katakan, 'realita dan ketidaknyataan tidak tercampur seperti minyak dan air, melainkan mereka terlarut seperti dua asam '. Beberapa kritikus bahkan menyatakan bahwa perbedaan antara mesin dan manusia,sekarang mulai menghilang, cenderung memberantas 'manusia' tua oposisi biner 'teknologi' versus atas yang begitu banyak teori pesimis modernisme didasarkan. Meskipun ide cyborg yang (Hibrida dari mesin dan organisme) mungkin masih dalam masa bayi ilmiahnya, feminis kritikus seperti Donna Hathaway (1991) sudah menggunakannya sebagai metafora untuk kekuatan untuk mendekonstruksi gagasan esensialis gender dan identitas dalam dunia 'posthuman'. Seperti Mark Dery dikatakan: interaksi kita dengan dunia sekitar kita semakin dimediasi oleh teknologi komputer, dan bahwa, sedikit demi sedikit digital, kita sedang 'Borged', sebagai penggemar Star Trek: The Next Generation akan memilikinya - berubah menjadi cyborgian hibrida teknologi dan biologi melalui pernah kita morefrequent interaksi dengan mesin, atau dengan satu sama lain melalui teknologi
interface.Bagi beberapa kritikus, lalu, seperti kerangka teori memberi kita sebuah arena kritis baru melalui mana kita bisa mulai untuk memahami dan memperhitungkan berbagai aspek Baru.
Media. Sebagai contoh, ketidakpercayaan postructuralist dan postmodernis yang stabil dan gagasan tetap dari 'nyata' cenderung untuk mencerminkan lanskap New Media di mana seperti
definisi tradisional semakin menjadi problematized oleh teknologi baru. Dengan kedatangan kecerdasan buatan, cyberculture, komunitas virtual dan virtual reality, pengertian kita tentang apa yang 'nyata' dan apa yang 'nyata' jelas mengalami transformasi dramatis. Sebagai contoh, perusahaan yang ada nyata sekarang menempatkan iklan di dunia virtual seperti Second Life, sebuah lingkungan buatan yang berdampak nyata ada penjualan. Jadi bagaimana kita bisa memisahkan 'nyata' dalam contoh ini dari 'virtual'? Apa bagian dari dunia maya adalah 'nyata' dan apa bagian itu tidak? Harus diakui, ini contoh ekstrim, tetapi sebagai sosiolog David Holmes menunjukkan, itu adalah ilustrasi dari jenis yang lebih luas dari perubahan teknologi dan budaya yang perkembangan di New Media saat ini memproduksi: Dari transformasi teknologi dan budaya segudang berlangsung hari ini, satu telah muncul untuk memberikan mungkin kesempatan yang paling nyata bagi memahami dilema politik dan etis dari masyarakat kontemporer. Kedatangan realitas virtual dan komunitas virtual, baik sebagai metafora proses-proses budaya yang lebih luas dan sebagai konteks bahan yang mulai untuk enframe tubuh manusia dan komunikasi manusia (Holmes 1997: 1)

Karena ini menunjukkan problematizing dari apa yang kita pernah diakui sebagai 'real' akan pasti mempengaruhi gagasan yang kita mungkin memiliki sebuah 'otentik diri', yang konsepsi identitas dalam dunia postmodern menjadi semakin cair dan contestable. Secara khusus, telah berpendapat bahwa interaktivitas peningkatan Media umumnya memungkinkan penonton untuk bermain-main dengan dan membuat mereka sendiri komposit identitas dari berbagai dan kadang-kadang bahkan sumber bertentangan. Proses ini dimaksud oleh Hartley (1999: 177-85) 'DIY kewarganegaraan' sebagai, gagasan bahwa media sekarang memungkinkan kita untuk semua membuat kompleks kita sendiri, beragam dan gagasan banyak aspek identitas pribadi. Dengan begitu banyak komunitas yang berbeda sekarang terbuka bagi kita di web, kita bisa mulai untuk hanya memilih dan memilih identitas kita ingin mengadopsi dan yang yang kita ingin menolak, memungkinkan seorang individu untuk memutuskan bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka bukan hanya harus menempel ke nomor sempit dan terbatas pilihan yang pernah mendefinisikan masa lalu. Hal ini kontras dengan dunia di mana identitas adalah terutama masalah warisan. Cairan gagasan identitas tentu tampaknya bertentangan langsung dengan konsep kewarganegaraan dan identitas yang disebarkan oleh dasar-dasar yang informasi akar modernisme, khususnya konsep seperti penyiaran pelayanan publik. John Reith konsepsi tentang 'budaya' dan 'Inggris-', misalnya, kini tampaknya menjadi unforgivably sempit dan ketat dalam dunia, transnasional multikultural (apa McLuhan (1962) terkenal digambarkan sebagai 'desa global') yang sekarang banyak tinggal di berkat kedatangan email, satelit dan televisi global. Kritikus postmodernis mungkin berpendapat bahwa bahkan gagasan tentang 'penyiaran' sendiri konsep total yang tidak pernah berhasil mencerminkan keragaman semata-mata bangsa atau orang (lihat Creeber 2004). Ungkapan 'narrowcasting' - yang digunakan untuk menunjukkan New Media diucapkan bunga dalam menangani dan katering untuk pemirsa ceruk - mungkin lebih baik merangkum peran televisi dan radio di dunia multimedia. Seperti yang telah kita lihat, interaktivitas peningkatan penonton di Media Baru konteks juga diartikulasikan dalam teori pascastrukturalis yang kecenderungan untuk hamil penonton sebagai participators aktif dalam penciptaan makna.Website seperti YouTube, MySpace dan Facebook muncul untuk mencerminkan pemahaman baru dari 'partisipatif budaya ', bukan hanya menciptakan komunitas virtual tapi juga memungkinkan para pengunjung untuk menjadi 'produsen' dan 'penerima' dari media. Teori 'fandom' adalah penting di sini dengan internet memungkinkan para penggemar berbagai bentuk budaya menciptakan komunitas virtual yang menambah pemahaman asli dan bahkan konten kepentingan mereka yang dipilih (lihat Bab 7). Misalnya, munculnya 'fiksi garis miring' memungkinkan penonton untuk secara aktif berpartisipasi dalam produksi makna dengan menciptakan extratextual materi tentang program televisi favorit mereka (lihat Jenkins 2006b). Akibatnya, bukannya dilihat sebagai dasarnya komersial dan tidak aktif, dalam konsumsi dunia postmodern sendiri kini dianggap sebagai positif dan partisipatif bertindak. Sebagai Mackay katakan, 'Alih-alih menjadi, pasif sekunder, aktivitas ditentukan, konsumsi dilihat sebagai suatu kegiatan dengan praktek sendiri, tempo,
signifikansi dan penetapan '(1997: 3-4). ide-ide tersebut jelas informasi David Gauntlett's konsep 'Studi Media 2', sebuah perwujudan teori Tim O'Reilly's gagasan Web 2, sebuah dunia di mana pemakai menghasilkan dan mendistribusikan konten, sering dengan kebebasan untuk berbagi, membuat, menggunakan dan menggunakan kembali.
Memang, 'top-down' John Reith budaya 'mengangkat' tampaknya sangat berlebihan dalam dunia di mana khalayak semakin menentukan pilihan mereka sendiri media dan apa yang mereka lakukan dengan itu. The 'memotong' hypertextual dan 'paste' budaya New Media – bahwa tampaknya mendorong sampling, perburuan dan remixing - menghasilkan tidak hanya hak cipta masalah, itu juga semakin membingungkan sangat sarana yang kita sebut dari media dan hubungannya dengan penontonnya. Tentu saja, gagasan bahwa media organisasi seperti BBC bisa begitu kaku mendikte selera publik tampaknya hamper tak terbayangkan sekarang. Sebagai Lev Manovich menunjukkan, sekarang kita mungkin memerlukan sepenuhnya teori baru dari penulisnya untuk membantu kita memahami hubungan saat ini antara media dan para penonton, salah satu yang cocok: sempurna dengan logika masyarakat industri dan pasca-industri maju, dimana hampir setiap tindakan praktis melibatkan memilih dari beberapa katalog, menu, atau databse. Bahkan ... New Media adalah ekspresi terbaik yang tersedia dari logika identitas dalam masyarakat - memilih nilai-nilai dari sejumlah pilihan
menu.
Interaktivitas ini meningkat di antara para penonton Media Baru juga diminta beberapa kritik untuk menyarankan bahwa ada bahkan telah menjadi 'demokratisasi meningkat di sifat New Media dibandingkan dengan lama. 'Citizen Journalism' (di mana orang menggunakan blog, foto atau rekaman telepon untuk membuat dan komentar pada berita hari ini) merupakan salah satu
contoh saat ini di antara banyak yang postmodernis mungkin memilih untuk menggambarkan
peningkatan kemampuan 'biasa' orang untuk menjadi aktif terlibat dalam sangat produksi media; bergerak daya jauh dari 'penulis' ke tangan 'Penonton'. Memang, untuk teori seperti Mark Poster (1997), Internet memberikan 'lingkup publik Habermasian' - sebuah jaringan cyberdemocratic untuk berkomunikasi informasi dan sudut pandang yang pada akhirnya akan berubah menjadi public pendapat. Seperti suara di Internet menjadi lebih luas sehingga dapat meningkatkan kami lebih jauh hak-hak demokratis. Konteks postmodern saya telah diuraikan di sini cenderung untuk menempatkan New Media dalam terutama positif ringan, seolah-olah teknologi itu sendiri hanya membuka tingkat peningkatan penonton partisipasi, keterlibatan kreatif dan demokrasi. Namun, lain bab dalam buku ini jelas akan menguraikan beberapa fitur lebih negatif dari ini Baru Media dunia, tidak sedikit 'kesenjangan digital' yang memungkinkan saat ini hanya sebagian kecil planet untuk berpartisipasi dalam budaya digital baru.Bahkan di
Barat, tidak semua peserta Media Baru diciptakan sama.Sebagai Henry Jenkins menjelaskan,
'Corporations - dan bahkan individu dalam media korporasi - masih mengerahkan lebih besar
daya daripada konsumen individu atau bahkan agregat konsumen.Dan beberapa konsumen memiliki kemampuan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam budaya yang muncul dari yang lain '. Demikian pula, beberapa kritik lihat 'mitos interaktivitas' itu, dengan alasan bahwa
sifat partisipatif New Media sudah over-meningkat sedemikian rupa sehingga sekarang orang menolak untuk melihat keterbatasan. 'Untuk menyatakan sistem interaktif', Espen Aarseth memperingatkan kita, adalah untuk mendukung dengan kekuatan sihir '. Kritik juga berpendapat bahwa pemandangan dari pascamodernisme dan New Media balik warga demokrasi ke konsumen apolitis, tidak lagi mampu membedakan antara ilusi simulasi media dan realitas yang keras kapitalis masyarakat yang menyembunyikan mereka secara implisit.Banyak kritikus berpendapat bahwa sekarang bahkan politik lanskap adalah kemenangan gambar di atas substansi, simbol menakutkan McLuhan et al(1967) pepatah bahwa 'medium adalah pesan', yaitu dunia di mana bagaimana sesuatu disajikan sebenarnya lebih penting daripada apa yang sedang disajikan. Secara khusus, ini kritikus cenderung berpendapat bahwa obsesi postmodern dengan 'citra' atas 'kedalaman' menghasilkan dangkal dan buatan lingkungan di mana sedikit yang serius, itu yang dominan estetika 'kamp' telah berubah segala sesuatu menjadi hiburan.Sebagai Neil Postman menempatkan itu: televisi kami membuat kami dalam komunikasi terus-menerus dengan dunia, tetapi melakukannya dengan wajah yang tersenyum wajah yang tak bisa diubah. Masalahnya adalah tidak bahwa televisi menyajikan kita dengan subjek menghibur tetapi bahwa semua subyek disajikan sebagai menghibur Postman's mimpi buruk visi dunia di mana semua informasi yang dikemas sebagai hiburan mungkin lebih difasilitasi oleh suatu bentuk New Media yang tampaknya memberi kita begitu banyak pilihan, tapi akhirnya berakhir sampai dengan membatasi pilihan nyata; mengurangi semuanya persis produk commodified dan konsumtif yang sama.Kritik berdebat bahwa kekuatan revolusioner avant-garde telah sekarang juga telah direduksi menjadi semata komersialisasi, bentuk modernisme radikal dan estetika digunakan untuk menjual alkohol dan rokok dalam iklan (apa yang David Harvey menyebut 'seni resmi kapitalisme.Alih-alih meningkatkan kemampuan orang untuk bermain dengan berbagai identitas, kritikus bahkan berpendapat bahwa globalisasi dunia (sebagian difasilitasi oleh New Media) benar-benar dapat menurunkan identitas budaya dan nasional seperti yang kita semua menjadi semakin serupa dan budaya homogen. Proses ini telah dijelaskan oleh provokatif satu kritikus sebagai 'McDonaldization' masyarakat .
Internet juga telah dituduh penyempitan pilihan rakyat bawah dan mendorong obsesi dengan hal-hal sepele tidak berharga dan tidak penting seperti hobi aneh dan televisi berkualitas rendah menunjukkan (lihat McCracken 2003). Karena semakin banyak virtual masyarakat terwujud sehingga beberapa kritikus berpendapat bahwa sebenarnya hubungan dan masyarakat diabaikan, satu-ke-satu kontak manusia yang peradaban didasarkan menjadi semakin berlebihan.
Sementara itu, rincian lingkup 'privat' dan 'publik' (orang memperlakukan arena publik dunia maya seolah-olah itu swasta) memiliki implikasi serius pada sipil kebebasan yang baru sekarang diakui sepenuhnya. Baru-baru ini, misalnya, telah dating untuk cahaya yang banyak pengusaha diam-diam menggunakan situs seperti MySpace untuk memastikan kepribadian online seorang karyawan di masa mendatang (lihat Finder 2006). Demikian pula, masih sulit untuk memahami demokratisasi media benar-benar terjadi di negara seperti China di mana Google dan Rupert Murdoch tampak bahagia untuk bekerja sama dengan sensor ketat dari pemerintah non-demokratis untuk mendapatkan akses ke potensi besar keuangan negara.
Beberapa kritik postmodernisme juga berpendapat bahwa jika ada terjadi kemogokan antara 'citra' dan 'nyata', maka kita sedang memasuki usia 'relativisme moral' mana penilaian kritis atau moral sedikit dapat dilaksanakan dan di mana teoretisi bahkan membahas 'realitas' Perang Teluk.berpikir seperti itu,berpendapat, pasti menghasilkan media yang berbahaya dan tidak diatur, di mana tak ada habisnya pornografi hardcore duduk di samping ruang chat yang memangsa kaum muda dan bersalah atau website yang memberikan suara kepada pasukan ekstremis politik. Baru Media mungkin tampak menawarkan dunia gambar mengkilap dan komunikasi tanpa batas, tapi juga penting untuk diingat siapa dan apa yang tersisa dari postmodern yang merangkul. Teknologi utopianisme mungkin mengatakan bahwa New Media secara otomatis akan meningkatkan dunia kita menjadi lebih baik, tetapi kami masa depan kesejahteraan jelas terletak pada bagaimana dan apa yang kita lakukan dengan pilihan yang kita sekarang memiliki yang ditawarkan.
Kesimpulan Apapun sudut pandang teoretis Anda dapat mengambil tentang New Media, sulit untuk berpendapat bahwa media sendiri tidak berada di bawah perubahan besar selama 20 atau 30 tahun. Karena itu kita perlu kerangka teori baru yang memungkinkan kita untuk memahami dan menghargai baik fitur positif dan negatif dari kita saat ini media usia. Ini berarti bahwa pemahaman kritis dari lapangan adalah penting jika kita ingin menghasilkan pendekatan teoritis canggih.

Selasa, 06 September 2016

RISK SOCIETY




1. Istilah Masyarakat Risiko

Istilah masyarakat risiko (risk society) merupakan istilah yang melekat pada sosiolog kenamaan Jerman Ulrich Beck. Istilah tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri  karena kebanyakan risikonya berasal  dari industri. Hal tersebut dapat terjadi sebab menurut Beck kita masih berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru. Perbedaan tersebut terletak pada tahap ”klasik” modernitas yang sebelumnya berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan modernitas “baru” berkaitan dengan  masyarakat risiko (Clark, 1997, dalam  Ritzer dan Goodman, 2003 : 561).

Berbagai perubahan turut mengiringi pergantian dari modernitas tahap “klasik” menuju modernitas “baru” yang ditandai kemunculan masyarakat risiko. Salah satu perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam modernitas “klasik” masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata. Sementara itu dalam modernitas “baru”  masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya.

Giddens membedakan risiko lingkungan pra modern (tradisional) dan modern. Menurutnya risiko kebudayaan tradisional didominasi oleh bahaya dunia fisik, sementara risiko lingkungan modern distrukturasi terutama oleh risiko yang ditimbulkan manusia (Giddens, 1990 : 106 ; 101, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933).  Selain itu, Giddens juga  berpendapat bahwa “risiko bukan semata-mata tindakan individu. Ada risiko lingkungan  yang secara kolektif mempengaruhi massa individu yang besar” ( Giddens, 1990).

Masyarakat risiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini. Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan dimaksud mengarah  dari era modernitas menuju modernitas lanjut , sedangkan ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut melahirkan  konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah  tuntutan akan kesadaran bahwa dalam kehidupan manusia  kini lebih diwarnai ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi, karakteristik penting dari masyarakat risiko adalah risiko dan cara untuk mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan manusia.

 

2. Teori Masyarakat Risiko

Masyarakat Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan pada  tesis karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika Beck dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat risiko”.  Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang.

Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual” (Piliang, 2009) Dengan demikian, risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan  mereka hadapi.

Setidaknya terdapat tiga ekologi atau macam risiko yang di sebutkan oleh Beck, antara lain :  (Piliang, 2009 ).

a. Risiko fisik lingkungan yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya, contohnya : . gempa, tsunami, letusan gunung) atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko biologis yang “diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas.

b. Risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan), yang sekaligus  menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.

Dari pemikiran-pemikiraan Beck mengenai risiko juga berimbas pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban. Hal tersebut terjadi akibat sejarah distribusi risiko itu sendiri, sebagaimana kekayaan risiko melekat pada pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara risiko  akan  terakumulasi di  dasar  atau bawah” (Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 563 ).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika risiko nantinya akan terpusat pada bangsa yang miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan sarana untuk menjauhkannya. Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu berjalan sama, karena Beck juga memberikan gambaran bahwa  dunia masyarakat risiko” yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain bahkan risiko dapat menimpa negara kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya (Ritzer dan Goodman, 2003 : 563). Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa yang mereka nikmati.

Walaupun modernisasi lebih  dahulu  menghasilkan  risiko,  namun  ia akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan  dirinya  sendiri  dan  risiko  yang  dihasilkannya  ( Ritzer  dan  Goodman, 2003 : 563 ). Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko itu sendiri mulai merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari risiko.

 

DAFTAR PUSTAKA

 
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial : Edisi Kedua. Jakarta : Raja Grafindo PersadaPiliang, Yasraf A.  2009 .  Humanity : “risiko tinggi .

Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman.  2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana

 



Selasa, 23 Agustus 2016

HEGEMONI DAN DOMINASI






POLITICAL HEGEMONY

HEAD OF REGIONAL ELECTIONS IN SOUTH SULAWESI
  
 1Wahyuddin Bakri, 2Rahmat Muhammad, 3Sakaria



This aims of the study were to analyze text construction Pilgub 2013 and practices political economy discourse of Harian Rakyat Sulsel, Tribun Timur and Sindo News Paper, to analyze trend of media construction on voter behavior in Pilgub 2013.
This was a qualitative research with Norman Fairclough critical approach models. Sources of data in the form a review of situational Governor Election 2013, Internal and external factors that affect the pattern of media routines and documentation text in a reduction in 2012 to 2013.
The results of the research indicated that CDA in three local media, tended to make the candidate instrument of political campaigns. Rakyat Sulsel was interpreted to favor the SYL, Tribun Timur for IAS and the Koran Sindo was more interested in the uniformity of political issues, of the three candidates, and political economy practice of thee three local media tended to have relation to political elite and certain political parteis, the news proportion was tendentions and the resource persons were more politicians than more neutral academics. Media construction presented in primordialism behavior, domination Syl on ethnicity and Aziz on group of Muslim, rational voters calculative domination support excellent programs Syl and development works IAS, emotional behavior shows relations between political actors, religious leaders, traditional leaders and society leaders and voters of social groups social KNPI and KPPSI as interested organizations.

Key Word : Political Hegemony, Head Of Regional Election




PERSPEKTIF TEORI KEBUTUHAN PALSU (HERBERT MARCUSE)


1. MARCUSE HISTORY
    Herbert Marcuse, lahir di Berlin tahun 1898 dari sebuah keluarga Yahudi kaya. Selama perang dunia pertama ia bergabung di divisi infantri di Berlin namun setelah kekalahan Jerman dalam perang tahun 1918 ia kemudian kembali ke dunia akademik melanjutkan studi di sastra Jerman di Universitas Freiburg dan menjadi asisten Prof Filsafat Martin Heidegger, termasuk berguru sama Husserl. Dia menerima gelar doktor dari Universitas Freiburg pada tahun 1923dengan disertasi berjudul Kunstlerroman.     
   Pada tahun 1933 dia bersama intelektual Jerman muda; Adorno, MaxHorkheimer dan Friedrich Pollock melanjutkan gagasan pemikir besar ilmu sosial; Marx, Hegel, Freud, Weber, Heidegger dan Nietzche’ mengembangkan Institut untuk Riset Sosial di Universitas Franfurt yang didirikan pada tahun 1923 untuk tujuan menciptakan sinergi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dari filsafat, sejarah, ekonomi dan politik ke sosiologi. Institut tersebut kemudian pindah dari Jerman ke Amerika Serikat dan didirikan kembali di Universitas Columbia. Di Amerika Marcuse bergabung dengan institut partner kerjanya, Max Horkheimer. Dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 1970-an kembali aktif dalam dunia akademik mengajar dan melakukan penelitian seperti di Columbia, harvard, Brandies and US San Diego dan memproduksi banyak buku seperti; Eros and Civilization, Soviet Marxism, One Dimensional Man, Repressive Tolerance and Essay in Critique of Pure Tolerance, An Essay on Liberation and Counterrevolution and Revolution.


2. MARCUSE TEORY
    Melalui karya-karyanya, menjelang tahun 1960-an Marcuse telah dikenal sebagai nabi gerakan kiri baru. Ada dua tujuan besar dalam karyanya dan menjadi pijakan teori kritis yang mencerminkan refleksi Marcuse atas perkembangan masyarakat dalam eranya. Pertama, melalui ilmu pengetahuan dia ingin menghapuskan ketidak adilan dalam pemilikan aset-aset produksi dan segala bentuk dominasi sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur. Kedua, berharap adanya sebuah tatanan masyarakat sosial demokratik melalui ilmu pengetahuan di masa depan. Lingkungan sosial memainkan peranan penting mendorong Marcuse memformulasikan teorinya—termasuk tujuan-tujuan dalam lingkup praktis. Kekuatan-kekuatan yang memotivasinya; Revolusi Rusia, munculnya Nazi di Jerman dan perkembangan kekinian Kapitalisme. Dalam era Marcuse, Rusia mengalami perubahan luar biasa melalui revolusi besar tahun 1917—di ikuti sejumlah negara-negara lain di Eropa Barat walaupun beberapa diantaranya mengalami kegagalan. Menurut Marcuse, penyebab revolusi komunis gagal di negara-negara Eropa Barat karena tidak mendidik dan tidak membebaskan petani dan buruh justru mempertahankan mereka dalam kesadaran palsu. Munculnya Nazi Jerman dianggap sebagai bentuk baru kapitalisme dengan mempergunakan aparatur represif dalam membangun dan mengembangkan produksi dan konsumsi. Fenomena sosial baru ini dalam sebuah masyarakat kapitalis maju menurut Marcuse menunjukkan bahwa datangnya masyarakat industri menghilangkan daya kritis tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang mampu memuaskan sebagian besar masyarakat akan tetapi membunuh daya negativitas setiap individu. Melalui lingkungan sosialnya, Dia mengakomodasi gagasan self-reflection (refleksi atas diri sendiri). Dia menentang konsep positivisme yang membuat masyarakat menjadi satu dimensi dengan hilangnya negativitas dalam diri mereka masing-masing. Ini terjadi melalui teknologi karena kebanyakan masyarakat percaya teknologi memiliki sifat netral padahal dalam kenyataan menurut Marcuse, ada agenda politik melekat pada teknologi, sehingga teknologi tidak menjadi sesuatu yang netral dalam memengaruhi masyarakat. Marcuse berasumsi; jika fakta bukanlah sesuatu yang bebas nilai atau netral— kaum positivis berpendapat bahwa sangat mungkin membuat fakta menjadi netral dan bebas nilai. Konsepnya juga menolak Marxism ortodok yang tidak mampu menjajaki bagaimana sebuah budaya melalui rasio teknologi mendominasi masyarakat sehingga bangunan atas menjadi elemen penting dalam memahami masyarakat kapitalis maju (Marcuse,1989)
3. KEHADIRAN TEORI KEBUTUHAN PALSU
    Masyarakat industri maju, menurut Marcuse; telah mengalami sebuah proses berlanjutnya dominasi di masyarakat melalui apa yang disebut ”Kebutuhan Palsu”. Melalui konsep ini, Marcuse ingin mengatakan bahwa masyarakat melakukan atau membeli sesuatu tidak karena mereka menginginkannya tetapi oleh sebuah ideologi yang kuat memengaruhi perilaku konsumen dalam menentukan keputusan atas sebuah produk. Tetapi disini juga Marcuse menekankan bahwa kebutuhan palsu bukan berarti manusia tidak menyukai sebuah produk yang diproduksi dan di konsumsi masyarakat hanya kemudian menjadi palsu karena mereka tidak melalui refleksi rasional. Dengan demikian sistem kapitalis menghilangkan kreativitas secara sistematis melalui penetrasi alienasi dalam realita keberadaan kesenangan dan konsumsi, dan media menjadi elemen krusial sebagai alat yang digunakan pemilik modal untuk memperkokoh kondisi-kondisi yang menguntungkan mereka. Karena itu dalam masyarakat kapitalisme maju, ada fenomena dimana fungsi refleksi yang dimiliki setiap individu tidak lagi kapabel menyaring informasi yang dikirim oleh para pemilik modal. Realita baru dimaksud dia atas adalah sebuah langkah maju dan dewasa di mana para pemilik modal dapat mengontrol manusia, masuk lebih dalam kesetiap keperibadian dan hasrat individu. Karenanya, menurut Marcuse ada sebuah proses antara ekonomi politik dan budaya atau antara struktur bawah dan atas sehingga mereka bersatu. Apa yang dimaksud Marcuse dengan satu-dimensi tidak hanya proses perkembangan ideologi yang sedang berlangsung, memengaruhi masyarakat dalam aksi mereka, tetapi juga menyangkut perkembangan praktik-praktik sosial— ideologi di dalam mata rakyat sangat nyata dan bisa diterima dalam realita mereka. Melalui gagasan satu dimensi, Marcuse memperkenalkan konsep baru dalam menjelaskan perkembangan baru kapitalisme. Dia melengkapi dan memperbaiki gagasan kesadaran palsu yang dikemukakan Marx dan surplus refresif dari Sigmud freud. Dalam gagasan Marcuse, masyarakat kapitalis maju memunculkan satu pemikiran dan perilaku melalui mediasi budaya dan teknologi dalam memproduksi alienasi (Agger,1992).
       Kebutuhan palsu berkembang dan dipercaya sebagian besar rakyat menurut Marcuse tidak dapat dipisahkan dari positivis. Marcuse melihat positivisme sebagai sebuah ideologi yang membujuk masyarakat mempercayai sesuatu atas nama objektivitas sehingga produk dan gagasan mereka tidak dapat dipertanyakan. Gagasan inilah menurut Marcuse tidak bisa memisahkan positivisme dari gagasan rasionalitas teknologi. Marcuse lalu menunjukkan bagaimana kebutuhan palsu dipaksakan ke individu melalui kepentingan-kepentingan sosial tertentu dalam represinya; kebutuhan-kebutuhan yang mengabadikan kerja keras, keagresifan, kesengsaraan dan ketidakadilan (Marcuse,1964,10-11:Ben Agger,1992:136). Kritik atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bahwa mereka bukanlah bebas nilai seperti yang diasumsikan oleh banyak masyarakat, akan tetapi ada sebuah kepentingan politik dan ekonomi yang melekat pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, mereka membawa misi ketika mereka diperkenalkan ke masyarakat. Ini membuat masyarakat banyak cenderung menguji mereka sendiri tidak sebagai agen yang organik akan tetapi sebagai orang yang pasif. Karena melalui gagasan ini, masyarakat percaya bahwa positivisme dapat memecahkan banyak masalah dalam masyarakat.
      Contoh konkret kebutuhan palsu dalam masyarakat seperti; restoran fast-food (siap saji) seperti McDonald,Kentucky Fried Chicken atau Burger King. Cara makanan cepat di persiapkan dan mekanik. Kita bisa menemukan restoran seperti ini dimana-mana. Harganya murah dan mereka mampu memanipulasi rasa. Agar membuat orang tertarik untuk membeli, mereka mempergunnakan televisi dan radio sebagai media iklan. Mereka mempergunakan pulblik figur seperti aktor dan aktris ternama, politisi,olahragawan dan siapapun yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Dalam iklan mereka, mereka mencoba menciptakan sebuah image tentang betapa orang bangga dan menjadi terhormat bila mereka memakan produk mereka. Disisi lain, mereka tidak pernah mengatakan bagaimana mereka membuat produk tersebut. Tidak pernah mengatakan bagaimana ribuan hektar hutan harus dipotong di Amerika Latin untuk menyediakan lahan bagi ternak-ternak mereka yang tidak hanya mengikatkan laju penggundulan hutan tetapi juga menyebabkan hancurnya budaya asli masyarakat Amerika. Bahkan, mereka tidak menyebutkan bagaimana buruknya mereka memperlakukan para karyawannya. Perusahaan-perusahaan tersebut membayar pekerjanya dengan standar gaji minimum, yang tidak pernah cukup untuk memenuhi hidup sehat. Pekerja juga mengalami kesulitan dalam membentuk serikat kerja dan faktor terpenting adalah para pekerja membuat makanan bukan karena mereka menginginkannya tetapi karena kekuatan besar yang memaksa mereka untuk melakukan itu, yaitu untuk mendapatkan pekerjaan. Karena makanan fast food murah dan dapat di hidangkan dengan cepat membuat masyarakat melupakan makanan-makanan lokal. Situasi ini juga di dukung oleh lingkungan kerja dalam sistem kapitalisme dimana waktu memainkan peranan penting, artinya para pemilik modal hanya mengizinkan waktu istrahat yang sangat singkat. Menurut Marcuse, contoh di atas adalah alasan utama-proses satu dimensi sedang berlangsung di masyarakat yang menyebabkan kecilnya harapan bagi individu-individu yang tertindas untuk menyadarkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, hampir tidak mungkin bagi individu-incividu untuk menghapuskan kebutuhan palsu. Orang-orang yang tertindas telah mempersiapkan realita pada poin tertentu bahwa si penindas terlalu kuat untuk dihancurkan. Solusinya adalah menerima realita apa adanya dan mencoba bekompromi dengan realita tersebut.



4. GERAKAN SOSIAL DAN PEMBEBASAN RAKYAT
   One Dimensional Man’s sebuah analisis masyarakat Amerika pasca perang dunia kedua ketika gagasan keynesian tentang ekonomi kapitalis domestik dan ekspansi kapitalis global dengan pemerintah memainkan peranan penting dalam merangsang produksi dan konsumsi atas produk dan jasa di masyarakat. Teori Marcuse masih cukup relefan dipergunakan sebagai pisau uji fenomena sosial baru di abad 21. Rakyat menamakan fenomena baru itu di sebut dengan” globalisasi.” Globalisasi menginginkan seluruh negara di dunia mengikuti aturan tunggal dalam ekonomi dan politik. Dalam lapangan ekonomi, setiap negara mengizinkan perusahaan dari manapun dari negara manapun menjual produknya dan menginfestasikan uangnya pada wilayah tertentu. Oleh karena itu, dilarang bagi sebuah negara untuk menghambat perdagangan dan investasi. Dalam lapangan politik,negara-negara yang setuju dengan globalisasi mengnharuskan pemerintah atau negara memainkan peranan yang minor dalam ekonomi. Otoritas mereka hanya menjadi eksekutor bila ada perusahaan atau masyarakat yang melanggar aturan tersebut. Gagasan ini dikembangkan dan di dorong keseluruh penjuru dunia melalui lembaga-lembaga seperti Bank Dunia,Bank pembangunan Asia, IMF, WTO dan lembaga-lembaga pendidkan yang membuat konsep tersebut lebih kuat. Perusahaan raksasa dan multi nasional mengganti produk lokal. Coca Cola dan Pepsi mengganti produk minuman lokal. McDonald dan Kentucky Fried Chicken menggantikan produk makanan lokal. Proses ini, menurut Marcuse akan menciptakan satu dimensi pikiran. Orang dipaksa secara halus melalui iklan dan image untuk membeli makanan dan minuman yang sesungguhnya bukan budaya makanan dan minuman mereka.
      Marcuse juga benar bahwa globalisasi akan memunculkan sebuah gerakan global atau penolakan besar dominasi atas benda dan jasa. Jika kita lihat gerakan anti-globalisasidi seattle, Washington DC, Praha dan genoa ini menunjukkan beragam komponen dari buruh, aktifis hak asasi manusia, petani, lingkungan hidup, mahasiswa, Gay, lesbi, timur, barat dan wanita menyatu dalam sebuah gerakan. Mereka agenda tunggal, menolak globalisasi karena hanya menguntungkan segelintir orang dan melegitimasi dominasi atas benda dan manusia. Marcuse meniggalkan harapan bagi individu-individu dalam masyarakat industri maju mampu mengubah realita itu. Elemen dasar yang menjadi target perubahan bukan kelas tetapi individu-individu, karena dalam masyarakat industri maju ancaman serius satu dimensi pada level individu baik pikiran maupun keinginan. Cara digunakan untuk membebaskan individu-individu dari dominasi. Pertama, kita bisa mempergunakan teknologi tidak untuk memanipulasi rakyat tetapi mengirimkan data dan analisis pembanding sebanyak mungkin atas perkembangan yang terjadi di masyarakat kepada rakyat. Dengan melakukan ini kita telah mempersepsikan teknologi tidak untuk melayani status quo namun sebagai alat pembebasan dalam masyarakat. Kedua, pendidikan memainkan peranan penting memperkenalkan dan mengembangkan refleksi kritis atas masing-masing individu dalam masyarakat. Karena itu, universitas dan lembaga pendidikan lain sangat kaya atas sumber material yang dapat di pergunakan oleh kita, disana ditemukan satu kelompok yang juga menderita dari satu-dimensi dan kelompok-kelompok ini relatif mudah di ubah dengan gagasan pembebasan baru. Ketiga, pentingnya ekonomi sebagai dasar perubahan, Marcuse juga peduli bahwa pada waktu yang bersamaan tujuan dari perjuangan kita juga didedikasikan untuk mencapai perbaikan ekonomi baik dalam ruang produksi dan konsumsi. Dalam lapangan politik, Marcuse menyarankan tidak hanya model parlemennter sebagai alat mencapai tujuan tetapi juga gerakan mahasiswa, buruh, gender, ras dan lingkungan hidup. Ini berarti dia setuju dengan cara extra- parlementer sebagai alat mencapai tujuan.