Selasa, 06 September 2016

RISK SOCIETY




1. Istilah Masyarakat Risiko

Istilah masyarakat risiko (risk society) merupakan istilah yang melekat pada sosiolog kenamaan Jerman Ulrich Beck. Istilah tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri  karena kebanyakan risikonya berasal  dari industri. Hal tersebut dapat terjadi sebab menurut Beck kita masih berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru. Perbedaan tersebut terletak pada tahap ”klasik” modernitas yang sebelumnya berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan modernitas “baru” berkaitan dengan  masyarakat risiko (Clark, 1997, dalam  Ritzer dan Goodman, 2003 : 561).

Berbagai perubahan turut mengiringi pergantian dari modernitas tahap “klasik” menuju modernitas “baru” yang ditandai kemunculan masyarakat risiko. Salah satu perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam modernitas “klasik” masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata. Sementara itu dalam modernitas “baru”  masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya.

Giddens membedakan risiko lingkungan pra modern (tradisional) dan modern. Menurutnya risiko kebudayaan tradisional didominasi oleh bahaya dunia fisik, sementara risiko lingkungan modern distrukturasi terutama oleh risiko yang ditimbulkan manusia (Giddens, 1990 : 106 ; 101, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933).  Selain itu, Giddens juga  berpendapat bahwa “risiko bukan semata-mata tindakan individu. Ada risiko lingkungan  yang secara kolektif mempengaruhi massa individu yang besar” ( Giddens, 1990).

Masyarakat risiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini. Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan dimaksud mengarah  dari era modernitas menuju modernitas lanjut , sedangkan ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut melahirkan  konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah  tuntutan akan kesadaran bahwa dalam kehidupan manusia  kini lebih diwarnai ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi, karakteristik penting dari masyarakat risiko adalah risiko dan cara untuk mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan manusia.

 

2. Teori Masyarakat Risiko

Masyarakat Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan pada  tesis karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika Beck dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat risiko”.  Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang.

Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual” (Piliang, 2009) Dengan demikian, risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan  mereka hadapi.

Setidaknya terdapat tiga ekologi atau macam risiko yang di sebutkan oleh Beck, antara lain :  (Piliang, 2009 ).

a. Risiko fisik lingkungan yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya, contohnya : . gempa, tsunami, letusan gunung) atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko biologis yang “diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas.

b. Risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan), yang sekaligus  menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.

Dari pemikiran-pemikiraan Beck mengenai risiko juga berimbas pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban. Hal tersebut terjadi akibat sejarah distribusi risiko itu sendiri, sebagaimana kekayaan risiko melekat pada pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara risiko  akan  terakumulasi di  dasar  atau bawah” (Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 563 ).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika risiko nantinya akan terpusat pada bangsa yang miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan sarana untuk menjauhkannya. Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu berjalan sama, karena Beck juga memberikan gambaran bahwa  dunia masyarakat risiko” yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain bahkan risiko dapat menimpa negara kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya (Ritzer dan Goodman, 2003 : 563). Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa yang mereka nikmati.

Walaupun modernisasi lebih  dahulu  menghasilkan  risiko,  namun  ia akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan  dirinya  sendiri  dan  risiko  yang  dihasilkannya  ( Ritzer  dan  Goodman, 2003 : 563 ). Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko itu sendiri mulai merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari risiko.

 

DAFTAR PUSTAKA

 
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial : Edisi Kedua. Jakarta : Raja Grafindo PersadaPiliang, Yasraf A.  2009 .  Humanity : “risiko tinggi .

Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman.  2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana

 



Selasa, 23 Agustus 2016

HEGEMONI DAN DOMINASI






POLITICAL HEGEMONY

HEAD OF REGIONAL ELECTIONS IN SOUTH SULAWESI
  
 1Wahyuddin Bakri, 2Rahmat Muhammad, 3Sakaria



This aims of the study were to analyze text construction Pilgub 2013 and practices political economy discourse of Harian Rakyat Sulsel, Tribun Timur and Sindo News Paper, to analyze trend of media construction on voter behavior in Pilgub 2013.
This was a qualitative research with Norman Fairclough critical approach models. Sources of data in the form a review of situational Governor Election 2013, Internal and external factors that affect the pattern of media routines and documentation text in a reduction in 2012 to 2013.
The results of the research indicated that CDA in three local media, tended to make the candidate instrument of political campaigns. Rakyat Sulsel was interpreted to favor the SYL, Tribun Timur for IAS and the Koran Sindo was more interested in the uniformity of political issues, of the three candidates, and political economy practice of thee three local media tended to have relation to political elite and certain political parteis, the news proportion was tendentions and the resource persons were more politicians than more neutral academics. Media construction presented in primordialism behavior, domination Syl on ethnicity and Aziz on group of Muslim, rational voters calculative domination support excellent programs Syl and development works IAS, emotional behavior shows relations between political actors, religious leaders, traditional leaders and society leaders and voters of social groups social KNPI and KPPSI as interested organizations.

Key Word : Political Hegemony, Head Of Regional Election




PERSPEKTIF TEORI KEBUTUHAN PALSU (HERBERT MARCUSE)


1. MARCUSE HISTORY
    Herbert Marcuse, lahir di Berlin tahun 1898 dari sebuah keluarga Yahudi kaya. Selama perang dunia pertama ia bergabung di divisi infantri di Berlin namun setelah kekalahan Jerman dalam perang tahun 1918 ia kemudian kembali ke dunia akademik melanjutkan studi di sastra Jerman di Universitas Freiburg dan menjadi asisten Prof Filsafat Martin Heidegger, termasuk berguru sama Husserl. Dia menerima gelar doktor dari Universitas Freiburg pada tahun 1923dengan disertasi berjudul Kunstlerroman.     
   Pada tahun 1933 dia bersama intelektual Jerman muda; Adorno, MaxHorkheimer dan Friedrich Pollock melanjutkan gagasan pemikir besar ilmu sosial; Marx, Hegel, Freud, Weber, Heidegger dan Nietzche’ mengembangkan Institut untuk Riset Sosial di Universitas Franfurt yang didirikan pada tahun 1923 untuk tujuan menciptakan sinergi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dari filsafat, sejarah, ekonomi dan politik ke sosiologi. Institut tersebut kemudian pindah dari Jerman ke Amerika Serikat dan didirikan kembali di Universitas Columbia. Di Amerika Marcuse bergabung dengan institut partner kerjanya, Max Horkheimer. Dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 1970-an kembali aktif dalam dunia akademik mengajar dan melakukan penelitian seperti di Columbia, harvard, Brandies and US San Diego dan memproduksi banyak buku seperti; Eros and Civilization, Soviet Marxism, One Dimensional Man, Repressive Tolerance and Essay in Critique of Pure Tolerance, An Essay on Liberation and Counterrevolution and Revolution.


2. MARCUSE TEORY
    Melalui karya-karyanya, menjelang tahun 1960-an Marcuse telah dikenal sebagai nabi gerakan kiri baru. Ada dua tujuan besar dalam karyanya dan menjadi pijakan teori kritis yang mencerminkan refleksi Marcuse atas perkembangan masyarakat dalam eranya. Pertama, melalui ilmu pengetahuan dia ingin menghapuskan ketidak adilan dalam pemilikan aset-aset produksi dan segala bentuk dominasi sehingga tercipta masyarakat adil dan makmur. Kedua, berharap adanya sebuah tatanan masyarakat sosial demokratik melalui ilmu pengetahuan di masa depan. Lingkungan sosial memainkan peranan penting mendorong Marcuse memformulasikan teorinya—termasuk tujuan-tujuan dalam lingkup praktis. Kekuatan-kekuatan yang memotivasinya; Revolusi Rusia, munculnya Nazi di Jerman dan perkembangan kekinian Kapitalisme. Dalam era Marcuse, Rusia mengalami perubahan luar biasa melalui revolusi besar tahun 1917—di ikuti sejumlah negara-negara lain di Eropa Barat walaupun beberapa diantaranya mengalami kegagalan. Menurut Marcuse, penyebab revolusi komunis gagal di negara-negara Eropa Barat karena tidak mendidik dan tidak membebaskan petani dan buruh justru mempertahankan mereka dalam kesadaran palsu. Munculnya Nazi Jerman dianggap sebagai bentuk baru kapitalisme dengan mempergunakan aparatur represif dalam membangun dan mengembangkan produksi dan konsumsi. Fenomena sosial baru ini dalam sebuah masyarakat kapitalis maju menurut Marcuse menunjukkan bahwa datangnya masyarakat industri menghilangkan daya kritis tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang mampu memuaskan sebagian besar masyarakat akan tetapi membunuh daya negativitas setiap individu. Melalui lingkungan sosialnya, Dia mengakomodasi gagasan self-reflection (refleksi atas diri sendiri). Dia menentang konsep positivisme yang membuat masyarakat menjadi satu dimensi dengan hilangnya negativitas dalam diri mereka masing-masing. Ini terjadi melalui teknologi karena kebanyakan masyarakat percaya teknologi memiliki sifat netral padahal dalam kenyataan menurut Marcuse, ada agenda politik melekat pada teknologi, sehingga teknologi tidak menjadi sesuatu yang netral dalam memengaruhi masyarakat. Marcuse berasumsi; jika fakta bukanlah sesuatu yang bebas nilai atau netral— kaum positivis berpendapat bahwa sangat mungkin membuat fakta menjadi netral dan bebas nilai. Konsepnya juga menolak Marxism ortodok yang tidak mampu menjajaki bagaimana sebuah budaya melalui rasio teknologi mendominasi masyarakat sehingga bangunan atas menjadi elemen penting dalam memahami masyarakat kapitalis maju (Marcuse,1989)
3. KEHADIRAN TEORI KEBUTUHAN PALSU
    Masyarakat industri maju, menurut Marcuse; telah mengalami sebuah proses berlanjutnya dominasi di masyarakat melalui apa yang disebut ”Kebutuhan Palsu”. Melalui konsep ini, Marcuse ingin mengatakan bahwa masyarakat melakukan atau membeli sesuatu tidak karena mereka menginginkannya tetapi oleh sebuah ideologi yang kuat memengaruhi perilaku konsumen dalam menentukan keputusan atas sebuah produk. Tetapi disini juga Marcuse menekankan bahwa kebutuhan palsu bukan berarti manusia tidak menyukai sebuah produk yang diproduksi dan di konsumsi masyarakat hanya kemudian menjadi palsu karena mereka tidak melalui refleksi rasional. Dengan demikian sistem kapitalis menghilangkan kreativitas secara sistematis melalui penetrasi alienasi dalam realita keberadaan kesenangan dan konsumsi, dan media menjadi elemen krusial sebagai alat yang digunakan pemilik modal untuk memperkokoh kondisi-kondisi yang menguntungkan mereka. Karena itu dalam masyarakat kapitalisme maju, ada fenomena dimana fungsi refleksi yang dimiliki setiap individu tidak lagi kapabel menyaring informasi yang dikirim oleh para pemilik modal. Realita baru dimaksud dia atas adalah sebuah langkah maju dan dewasa di mana para pemilik modal dapat mengontrol manusia, masuk lebih dalam kesetiap keperibadian dan hasrat individu. Karenanya, menurut Marcuse ada sebuah proses antara ekonomi politik dan budaya atau antara struktur bawah dan atas sehingga mereka bersatu. Apa yang dimaksud Marcuse dengan satu-dimensi tidak hanya proses perkembangan ideologi yang sedang berlangsung, memengaruhi masyarakat dalam aksi mereka, tetapi juga menyangkut perkembangan praktik-praktik sosial— ideologi di dalam mata rakyat sangat nyata dan bisa diterima dalam realita mereka. Melalui gagasan satu dimensi, Marcuse memperkenalkan konsep baru dalam menjelaskan perkembangan baru kapitalisme. Dia melengkapi dan memperbaiki gagasan kesadaran palsu yang dikemukakan Marx dan surplus refresif dari Sigmud freud. Dalam gagasan Marcuse, masyarakat kapitalis maju memunculkan satu pemikiran dan perilaku melalui mediasi budaya dan teknologi dalam memproduksi alienasi (Agger,1992).
       Kebutuhan palsu berkembang dan dipercaya sebagian besar rakyat menurut Marcuse tidak dapat dipisahkan dari positivis. Marcuse melihat positivisme sebagai sebuah ideologi yang membujuk masyarakat mempercayai sesuatu atas nama objektivitas sehingga produk dan gagasan mereka tidak dapat dipertanyakan. Gagasan inilah menurut Marcuse tidak bisa memisahkan positivisme dari gagasan rasionalitas teknologi. Marcuse lalu menunjukkan bagaimana kebutuhan palsu dipaksakan ke individu melalui kepentingan-kepentingan sosial tertentu dalam represinya; kebutuhan-kebutuhan yang mengabadikan kerja keras, keagresifan, kesengsaraan dan ketidakadilan (Marcuse,1964,10-11:Ben Agger,1992:136). Kritik atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut bahwa mereka bukanlah bebas nilai seperti yang diasumsikan oleh banyak masyarakat, akan tetapi ada sebuah kepentingan politik dan ekonomi yang melekat pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, mereka membawa misi ketika mereka diperkenalkan ke masyarakat. Ini membuat masyarakat banyak cenderung menguji mereka sendiri tidak sebagai agen yang organik akan tetapi sebagai orang yang pasif. Karena melalui gagasan ini, masyarakat percaya bahwa positivisme dapat memecahkan banyak masalah dalam masyarakat.
      Contoh konkret kebutuhan palsu dalam masyarakat seperti; restoran fast-food (siap saji) seperti McDonald,Kentucky Fried Chicken atau Burger King. Cara makanan cepat di persiapkan dan mekanik. Kita bisa menemukan restoran seperti ini dimana-mana. Harganya murah dan mereka mampu memanipulasi rasa. Agar membuat orang tertarik untuk membeli, mereka mempergunnakan televisi dan radio sebagai media iklan. Mereka mempergunakan pulblik figur seperti aktor dan aktris ternama, politisi,olahragawan dan siapapun yang memiliki pengaruh dalam masyarakat. Dalam iklan mereka, mereka mencoba menciptakan sebuah image tentang betapa orang bangga dan menjadi terhormat bila mereka memakan produk mereka. Disisi lain, mereka tidak pernah mengatakan bagaimana mereka membuat produk tersebut. Tidak pernah mengatakan bagaimana ribuan hektar hutan harus dipotong di Amerika Latin untuk menyediakan lahan bagi ternak-ternak mereka yang tidak hanya mengikatkan laju penggundulan hutan tetapi juga menyebabkan hancurnya budaya asli masyarakat Amerika. Bahkan, mereka tidak menyebutkan bagaimana buruknya mereka memperlakukan para karyawannya. Perusahaan-perusahaan tersebut membayar pekerjanya dengan standar gaji minimum, yang tidak pernah cukup untuk memenuhi hidup sehat. Pekerja juga mengalami kesulitan dalam membentuk serikat kerja dan faktor terpenting adalah para pekerja membuat makanan bukan karena mereka menginginkannya tetapi karena kekuatan besar yang memaksa mereka untuk melakukan itu, yaitu untuk mendapatkan pekerjaan. Karena makanan fast food murah dan dapat di hidangkan dengan cepat membuat masyarakat melupakan makanan-makanan lokal. Situasi ini juga di dukung oleh lingkungan kerja dalam sistem kapitalisme dimana waktu memainkan peranan penting, artinya para pemilik modal hanya mengizinkan waktu istrahat yang sangat singkat. Menurut Marcuse, contoh di atas adalah alasan utama-proses satu dimensi sedang berlangsung di masyarakat yang menyebabkan kecilnya harapan bagi individu-individu yang tertindas untuk menyadarkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, hampir tidak mungkin bagi individu-incividu untuk menghapuskan kebutuhan palsu. Orang-orang yang tertindas telah mempersiapkan realita pada poin tertentu bahwa si penindas terlalu kuat untuk dihancurkan. Solusinya adalah menerima realita apa adanya dan mencoba bekompromi dengan realita tersebut.



4. GERAKAN SOSIAL DAN PEMBEBASAN RAKYAT
   One Dimensional Man’s sebuah analisis masyarakat Amerika pasca perang dunia kedua ketika gagasan keynesian tentang ekonomi kapitalis domestik dan ekspansi kapitalis global dengan pemerintah memainkan peranan penting dalam merangsang produksi dan konsumsi atas produk dan jasa di masyarakat. Teori Marcuse masih cukup relefan dipergunakan sebagai pisau uji fenomena sosial baru di abad 21. Rakyat menamakan fenomena baru itu di sebut dengan” globalisasi.” Globalisasi menginginkan seluruh negara di dunia mengikuti aturan tunggal dalam ekonomi dan politik. Dalam lapangan ekonomi, setiap negara mengizinkan perusahaan dari manapun dari negara manapun menjual produknya dan menginfestasikan uangnya pada wilayah tertentu. Oleh karena itu, dilarang bagi sebuah negara untuk menghambat perdagangan dan investasi. Dalam lapangan politik,negara-negara yang setuju dengan globalisasi mengnharuskan pemerintah atau negara memainkan peranan yang minor dalam ekonomi. Otoritas mereka hanya menjadi eksekutor bila ada perusahaan atau masyarakat yang melanggar aturan tersebut. Gagasan ini dikembangkan dan di dorong keseluruh penjuru dunia melalui lembaga-lembaga seperti Bank Dunia,Bank pembangunan Asia, IMF, WTO dan lembaga-lembaga pendidkan yang membuat konsep tersebut lebih kuat. Perusahaan raksasa dan multi nasional mengganti produk lokal. Coca Cola dan Pepsi mengganti produk minuman lokal. McDonald dan Kentucky Fried Chicken menggantikan produk makanan lokal. Proses ini, menurut Marcuse akan menciptakan satu dimensi pikiran. Orang dipaksa secara halus melalui iklan dan image untuk membeli makanan dan minuman yang sesungguhnya bukan budaya makanan dan minuman mereka.
      Marcuse juga benar bahwa globalisasi akan memunculkan sebuah gerakan global atau penolakan besar dominasi atas benda dan jasa. Jika kita lihat gerakan anti-globalisasidi seattle, Washington DC, Praha dan genoa ini menunjukkan beragam komponen dari buruh, aktifis hak asasi manusia, petani, lingkungan hidup, mahasiswa, Gay, lesbi, timur, barat dan wanita menyatu dalam sebuah gerakan. Mereka agenda tunggal, menolak globalisasi karena hanya menguntungkan segelintir orang dan melegitimasi dominasi atas benda dan manusia. Marcuse meniggalkan harapan bagi individu-individu dalam masyarakat industri maju mampu mengubah realita itu. Elemen dasar yang menjadi target perubahan bukan kelas tetapi individu-individu, karena dalam masyarakat industri maju ancaman serius satu dimensi pada level individu baik pikiran maupun keinginan. Cara digunakan untuk membebaskan individu-individu dari dominasi. Pertama, kita bisa mempergunakan teknologi tidak untuk memanipulasi rakyat tetapi mengirimkan data dan analisis pembanding sebanyak mungkin atas perkembangan yang terjadi di masyarakat kepada rakyat. Dengan melakukan ini kita telah mempersepsikan teknologi tidak untuk melayani status quo namun sebagai alat pembebasan dalam masyarakat. Kedua, pendidikan memainkan peranan penting memperkenalkan dan mengembangkan refleksi kritis atas masing-masing individu dalam masyarakat. Karena itu, universitas dan lembaga pendidikan lain sangat kaya atas sumber material yang dapat di pergunakan oleh kita, disana ditemukan satu kelompok yang juga menderita dari satu-dimensi dan kelompok-kelompok ini relatif mudah di ubah dengan gagasan pembebasan baru. Ketiga, pentingnya ekonomi sebagai dasar perubahan, Marcuse juga peduli bahwa pada waktu yang bersamaan tujuan dari perjuangan kita juga didedikasikan untuk mencapai perbaikan ekonomi baik dalam ruang produksi dan konsumsi. Dalam lapangan politik, Marcuse menyarankan tidak hanya model parlemennter sebagai alat mencapai tujuan tetapi juga gerakan mahasiswa, buruh, gender, ras dan lingkungan hidup. Ini berarti dia setuju dengan cara extra- parlementer sebagai alat mencapai tujuan.

Sabtu, 09 Januari 2016

HUBUNGAN KEKUASAAN DAN KEBUDAYAAN DALAM KAJIAN CULTURAL STUDIES

       Berbicara tentang cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya, perhatian kita tidak dapat dilepaskan dari The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies yang dipelapori Richard Hoggart dan Raymond Williams. Intitusi yang didirikan pada 1963 ini memang tidak dapat dipisahkan dari kedua nama pendirinya tersebut. Cultural studies itu sendiri mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (Storey, 2003), antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada: 1) hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan; 2) seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi; 3) berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan; dan 4) berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
      Sejarah Studies Cultural Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). Teori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik). Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis atau pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger (2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003).

      Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocali. Kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis).
      Bagi Saukko (2003), hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan. Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue. Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
       Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya. Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa. Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation. Selain itu, dalam makalah Melani Budianta, metode kajian budaya seringkali disebut metode multidisipliner, lintas-, trans-, atau anti-disiplin. Jannet Wolff mengemukakan sejumlah masalah metode interdisipliner kajian budaya yang mengkritik kebiasaan memakai karya seni dalam studi-studi non-seni (sosiologi, sejarah, politik dasn seterusnya) yang memperlakukan karya tersebut sebagai fakta (mengutip bagian-bagian dari isi) tanpa “menghargai” fungsi karya seni tersebut sebagai karya seni . Karena pemakaian teori yang eklektik dan pendekatan yang berbeda-beda setiap kajian budaya membuat model dan perangkat analisisnya masing-masing tergantung topik permasalahan yang digarapnya.

     Cultural Studies Cultural studies itu sendiri mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada: hubungan atau relasiantara kebudayaan dan kekuasaan
1.seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
2.Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan.
3.Cultural studies terkait dengan semua pihak, institusi dan system klasifikasi tempat tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat.


Rujukan

Sstorey, John.2003.Teori Budaya dan Budaya Pop.Yogyakarta: Qalam
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktitk. Penerjemah, Cultural Studies Centre. PT. Bentang Pustaka. Yogyakarta.
Agger, Ben 2003. Teori Sosial Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Saukko, Paula.2003.Doing Research in Culture Studies : An Intorduction To Classical and New Methodological Approaches. London.
SAGE Borgatta, Edgar F. dan Marrie L. Borgatta, 1995, Encyclopedia of Sosiology: Vol; II, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.