Rabu, 08 Juli 2015

ANTONIO GRAMCHY & KILASAN BIOGRAFINYA

Antonio Gramchi

ANTONIO GRAMCHI lahir di Sardinia Italia pada tanggal 22 januari 1891 sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara yang sejak lahir berpunggung bungkuk yang membuatnya rapuh menghadapi kemiskinan dan penderitaan. Keluarganya tergolong kelas bawah, meskipun tidak miskin. Ayahnya pada tahun 1897 di hukum atas tuduhan kecurangan adminstratif. Ketika ayahnya bebas ia tak punya kerja lagi sehingga keluarga itu hidup dalam kemiskinan. Tahun 1903 Gramsci harus meninggalkan sekolah dan bekerja membantu ekonomi keluarganya. Dengan segala susah payah, Gramchi melanjutkan pendidikannya kemudian, bahkan sampai masuk kuliah dan berkenalan dengan buku-buku bacaan dan aktivitas politik kelompok sosialisme. Ketika situasi Cagliari, kota tempat ia sekolah memburuk, Gramsci mulai menyadari sejarah masyarakatnya dan mulai rajin membaca pamflet sosialis dan buku sejarah untuk mendapat perspektif situasi saat itu. Dengan beasiswa yang cukup, ia melanjutkan kuliahnya di Universitas Turin dan di sana ia berkenalan dengan tokoh-tokoh penting, baik akademisi maupun politisi. Seperti Benedetto Croce “Godfather” lingkungan intelektual Italia masa itu, Gramsci sangat terpengaruh dan terbuka matanya terhadap dunia. Di tahun 1913 setalah konflik ‘Utara’ dan ‘Selatan’ yang melahirkan “Selatanisme” dari kemelut kebijakan ekonomi di Turin, se-usai kuliahnya dan bersemangat dalam ekspresi politiknya, pertama kalinya Gramsci berhubungan dengan gerakan sosialis di Turin. Setelahnya, ia juga aktif di jurnalistik (di mingguan Partai Sosialis”Jerit Tangis Rakyat” dan Avanti), sebagai editor, kolumnis dan analis. Setelah pemberontakan di Turin oleh para pekerja serta ditahannya sebagaian besar pemimpin sosialis.
        Di tahun 1917 Gramsci terpilih sebagai komite sementara partai sosialis, gerakan perlawanan ini terus berlanjut, dikenal dengan gerakan dewan pabrik di Turin. Ini membawa Gramsci untuk mempertimbangkan kembali pandangannya terhadap Lenin dan Revolusi Rusia. Dengan keinginan besar Gramsci dalam persiapan revolusi, untuk menuangkan ide ide politiknya di tahun 1919 mendirikan jurnal L’Ordine Nuovo yang sekaligus menjadi organ Dewan Pabrik. Hingga pada Januari 1921 Partai Sosialis pecah, dan kemudian berdiri Partai komunis Italia dan Gramsci terpilih sebagai pengurus pusat. Di situ ia berseberangan dengan sekertaris umumnya, Borduga, seputar konsep tentang Fasisme yang bagi Gramsci bukan cuma sangat berbahaya, namun juga cendrung untuk berkuasa. Fasisme adalah gerakan politik yang didirikan mantan pemimpin sosialis Benito Mussolini (Mussolini pada oktober 1922 ditunjuk sebagai perdana menteri, dan Fasisme pun ikut menenggak kekuasaan). Hingga di tahun 1926, Fasis Italia memberanguskan semua publikasi kekuatan politik kiri, Gramsci saat itu baru dua tahun menjabat sekretaris jendral Partai Komunis Italia, ditangkap dan dipenjara mulai 8 November 1926 hingga meninggal pada 27 April 1937 setelah menderita mengalami pendarahan otak. Selama hidupnya dipenjara kurang lebih sebelas tahun lamanya, telah menghasilkan banyak karya-karya monumental serta kumpulan surat suratnya, hingga pada tahun 1948 kumpulan surat-surat tersebut diterbitkan dan berlanjut dengan terbitnya karya-karya monumentalnya. Salah satu karya yang terkenal adalah tentang konsep hegemoninya, yang merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, dalam bukunya “Selection from Prison Notebooks”. Antonio Gramsci adalah ahli filsafat politik terkemuka Italia pada abad ke-20, dan dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx (Storey, 2003: 172).
       Gramsci dengan gagasannya yang cemerlang tentang hegemoni, banyak dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma basis-suprastruktur (Eni Maryani, 2011: 28-30). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional (Yoce Aliah, 2009: 104-109). Konsep hegemoni ini bisa dilacak melalui penjelasan Gramsci tentang supremasi kelas. Menurutnya, supremasi sebuah kelompok mewujudkan dua cara yaitu dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjukkan pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin. Ini terjadi dalam citra konsensual. Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung lewat pengatahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan. Dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Pada hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan).

Sabtu, 07 Februari 2015

INTER/MULTI-DISIPLINER CRITICAL DISCOURSE ANALISIS (CDA/AWK)

Foucault (1997) menjelaskan definisi fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan yakni bahwa diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroprasi dalam kancah relasi kekuasaan. Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Foucoult, ’Elemen Taktis’ ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis, tetapi tentu saja istilah politik di sini tidak selalu berarti faktor faktor pemerintahan, segala sesuatu yang menghegemoni baik secara kultural maupun secara ideologis sebenarnya memiliki konstruksi politisnya sendiri. Dari definisi yang diberikan Foucault, terungkap bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengatahuan. Menurut Fairlough & Wodak (1989), analisi wacana kritis melihat wacana, pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis (pemikiran terhadap kenyataan yang ada) dan antara peristiwa diskursif (menyimpang) tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.Dan bisa jadi praktik wacana bisa menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial. Sehingga berdasarkan Pendapat tersebut, Ciritical Discourse analisis ( CDA/AWK) didefinisikan sebagai upaya untuk mengungkapkan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Dalam CDA, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentuk subjek dan berbagai tindak representasi. Untuk memahami perbedaan antara analisis wacana dan analisis wacana kritis kita dapat perhatikan kasus berikut. 1. Analisis wacana hanya memandang keadaan yang rasis (perbedaan ras) , seksis, ketimpangan dari kehidupan sosial sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/ilmiah, memang seperti itu kenyataannya. 2. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan di masyarakat terjadi. Oleh sebab itu sebagai kata kunci, analisis wacana kritis menyelidiki bagamana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versi masing-masing. CDA/AWK sebetulnya bersifat Inter/multi-disipliner karena pada dasarnya bersentuhan dengan ilmu sosial, politik dan budaya. Merujuk pada pendapat Wodak (1996), Titscher (2007: 238:239) Terdapat beberapa prinsip CDA/AWK yaitu. 1. CDA/AWK berhubungan dengan masalah sosial, pendekatan ini tidak berkaitan dengan bahasa maupun penggunaan bahasa secara ekslusif, namun dengan sifat linguistik dari struktur-struktur dan proses-proses sosial dan kultural. 2. Relasi kekuasaan berhubungan denga wacana (Foucailt 1990, Bourdieu 1987) dan CDA/AWK mengkaji kekuasaan dalam wacana dan atas wacana. 3. Budaya dan masyarakat secara dialektis berhubungan dengan wacana: masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacana dan sekaligus menyususn wacana. Setiap kejadian tunggal penggunaan bahasa memproduksi dan mentransformasikan masyarakat dan budaya, termasuk relasi kekuasaan. 4.Penggunaan bahasa isa bersifat ideologis. Untuk memastikannya, teks perlu dianalisis guna meneliti interpretasi, penerimaan, dan efek sosialnya. 5. Wacan bersifat historis dan hanya bisa dipahami terkait dengan konteksnya. 6. Hubungan antara teks dan masyarakat itu bersifat tidak langsung, tetapi ter manifestasi melalui perantara, seperti model sosio-kognitif yang kita kembangkan. Sebagaimana yang dikemukakan dalam model pemahaman teks secara sosiopsikologis. 7. Analisis wacana bersifat interpreatif dan eksplanatoris. Analisis kritis menyiratkan adanya suatu metodologi sistematis dan hubungan antara teks dan kondisi sosial, ideologi, dan relasi kekuasaan. 8. Wacana merupakan bentuk perilaku sosial. CDA/AWK diapahami sebagai sebuah disiplin ilmu ilmiah sosial yang eksplisit atas fokus perhatiannya dan cendrung menerapkan penemuannya pada permasalahan praktis. Pengaruh yang kuat dari Foucault menjadikan CDA/AWK tertarik untuk melihat fenomena sosial, politik dak kultural yang mengejawantahnya dalam bahasa. Jorgensen & Philips (2007), menyebutnya bahwa CDA/AWK adalah pendekatan konstriktivis sosial yang meyakini bahwa representasi dunia bersifat diskursif, makna bersifat historis, dan pengatahuan diciptakan melalui intaraksi sosial. Daftar Pustaka : Darma, Aliah Yoce. 2014. Analisis Wacana Kritis Dalam Multiperspektif. PT Refika Aditama. Bandung. _______. 2009. Analisis Wacana Kritis. Yrama Widya. Bandung.

Sabtu, 17 Januari 2015

KEPENTINGAN PENGUASA ATAU KEPENTINGAN MASYARAKAT ?

CONTOH KASUS PERTAMA ( 1)
      Ariyanto (2001,89-90) pada pemberitaan di media surat kabar (Kompas 12 April 2000) dalam berita itu ada dua kelompok yang di beritakan, yakni pengusaha (dominan) dan kelompok buruh (kelas pekerja/tidak dominan). Dalam berita itu di sebutkan pemogokan selama 11 hari yang di lakukan oleh buruh memacetkan produksi, merugikan bukan hanya perusahaan yang berhenti produksi, tetapi juga kehidupan para buruh dan ekonomi di Kediri secara keseluruhan. Bagaimana perusahaan rokok itu menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kediri, bukan hanya perusahaan itu mampu menyerap ribuan jumlah tenaga kerja, tetapi juga menjadi bagian mata pencarian utama penduduk Kediri. Berita itu, misalnya, dilengkapi dengan data mengenai cukai dan pajak yang dibayarkan Gudang Garam selama tahun 1994-1998. Dari data tersebut terlihat bagaiman Gudang Garam membayar dalam jumlah besar, bahkan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Uraian semacam seakan mensugestikan berapa kerugian yang harus ditanggung dengan berhentinya produksi Gudang Garam. Gudang Garam adalah aset nasional yang menyumbang penyerapan tenaga kerja dan pajak selama puluhan tahun. Kita bisa menanyakan secara kritis, kenapa yang diuraikan dalam teks berita itu adalah pajak yang telah dibayar oleh Gudang Garam dan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap? Kenapa bukan rendahnya upah buruh linting rokok yang selama puluhan tahun tidak mengalami peningkatan? Kenapa data mengenai kehidupan para buruh dan rendahnya upah mereka tidak terdapat dalam teks? Teks berita tersebut juga menyebutkan bagaimana penduduk Kediri, bahkan Tulungagung, Blitar, dan Nganjuk sangat tergantung sangat tergantung pada aktifitas pabrik rokok yang sudah berdiri sejak tahun 1957 itu. Perusahaan ini disebut dalam teks berita mempekerjakan 40.800 buruh, dan 72 persen di antaranya perempuan. Selain itu ada ratusan atau bahkan ribuan pedagang di pasar-pasar yang menempel pabrik, angkutan umum, pedagang barang dan pakaian, yang terkait erat dengan aktivitas pabrik rokok Gudang Garam tersebut. Mereka hidup dari melinting rokok, memotong tembakau, mengemudi, kernet, operator mesin, dan sebagainya. Berhentinya operasi perusahaan Gudang Garam bagaikan mematikan usaha dan kehidupan masyarakat Kediri. Mengapa yang ditekankan dalam berita tersebut ketergantungan masyarakat Kediri dan sekitarnya terhadap aktivitas gudang Garam? Kenapa bukan sebaliknya, perusahaan rokok itu yang selamanya puluhan tahun tergantung pada masyarakat Kediri, mempekerjakan buruh dengan gaji rendah? Pembacaan kita atas teks berita itu ditentukan oleh ideologi dominan melalui mana berita itu menempatkan pembaca pada posisi tertentu. Ideologi itu memasukkan asumsi perusahaan rokok Gudang Garam itu telah berjasa besar dalam pemberian pekerjaan dan penghidupan bagi masyarakat dan pemerintah Kediri.

KASUS KEDUA (II)
        Pada Koran (Republika, 28 Juni 2000) berita mengenai konflik antara petani dengan PTPN. Pihak petani menyatakan bahwa mereka selama ini dirugikan dari tindakan mereka menempati tanah PTPN sebagai protes akibat ketidakadilan yang selama puluhan tahun mereka terima. Sementara pihak PTPN justru menganggap, dengan memakai retorika legalitas, bahwa tanah itu adalah tanah mereka. Apa yang dilakukan oleh petani itu adalah tindakan melanggar hukum yang berbahaya. Dalam kasus pertarungan wacana antara petani dengan perkebunan itu, pihak perkebunanlah yang lebih dominan dalam pemberitaan. Pertama, pihak perkebunan mempunyai akses ke media lebih besar. Mereka dengan mudah dapat mengadakan jumpa pers, dan publik relation, yang kesemuanya itu tidak dipunyai oleh petani. Kedua, pihak perkebunan lebih berpendidikan sehingga lebih “bisa berbicara” dengan para wartawan dengan bahasa yang sema bila dibandingkan dengan para petani. Ketimpangan pada akses ini menyebabkan satu pihak lebih mungkin terkover oleh media dibanding dengan pihak lain. Tidaklah mengherankan dalam pemberitaan apa pun yang melibatkan antarkelas. Kelompok dominan lebih sering terdengar pemahaman dan pemaknaannya dibandingkan kelas bawah. Dalam konteks ini, akhirnya lahir dan terproduksi wacana bagaimana petani secara terus menerus digambarkan secara buruk, sementara pihak pengusaha atau pemilik tanah digambarkan sebagai pihak yang baik dan tidak berdosa. Pihak yang dominan bukan hanya mendifinisikan dan mencitrakan dirinya, tetapi juga mendifinisikan pihak lain yang tidak dominan. Pengusaha bukan hanya mengungkapkan dirinya sendiri tetapi juga mendefinisikan petani, sehingga petani selalu menjadi objek pemaknaan. Dari beberapa kasus tersebut nampak bahwa begitu jelas dominasi para pemangku kepentingan dengan menjadikan media sebagai alat untuk mencapai tujuannya, ketidakadilan dalam pemberitaan mengakibatkan posisi petani dan pihak perkebunan berada dalam posisi yang tidak setara dan seimbang . Padahal menurut Stuart Hall bahwa logika media sebagai transaksi yang bebas, mengandaikan semua pihak dalam kelompok dalam masyarakat mempunyai posisi yang seimbang dan setara sehingga jika terjadi perebutan pemaknaan, maka perebutan itu berlangsung secara adil.

RUJUKAN

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. LkiS. Yogyakarta.
Darma, Aliah Yoce. 2014. Analisis Wacana Kritis Dalam Multiperspektif. PT Refika Aditama. Bandung.