Selasa, 31 Maret 2020

Kontroversi Diskursus di Tengah Pandemi Covid-19



Belum lama ini dunia telah digegerkan dengan masalah radikal dan teroris, selang beberapa waktu tiba-tiba dunia digegerkan dengan mewabahnya virus corona atau disebut dengan Covid 19, yang terjadi di Cina, hingga meluas di negara tanpa terkecuali di Indonesia dengan angka terinfeksi 664.924, sembuh 140.222  dan meninggal dunia 30.848 (29/03/2020) 

Covid 19 adalah virus jenis baru dengan penyebaran yang sangat cepat yang justru menimbulkan tanda tanya dan banyak pertanyaan? terdapat wacana dalam pemberitaan di media massa bahwa bahwa pandemi Covid 19 adalah virus alami dan ada pula wacana pemberitaan yang justru mempertegas bahwa Covid 19 adalah virus buatan manusia, penulis mengumpulkan data dan mendeteksi pemberitaan secara online mulai pada februari sampai maret 2020 berkisar 40 pemberitaan yang simpangsiur mengenai covid 19 bersifat alami atau buatan manusia. Berikut argumentasi dalam paradigma ilmu sosial. 

ARGUMENTASI POSITIVISTIK

Kaum postivistik dalam ilmu sosial beranggapan bahwa masalah dan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan dan ketentuan bagi kepercayaannya. Terlepas dari kesadaran masyarakat dibentuk secara alamiah (natural) yang berdasar pada fakta atau pengalaman-pengalaman yang telah didapatkan sebelumya, secara spesifik individu atau masyarakat dianggap sama dengan alam yang memiliki hukum yang bersifat mekanis/pasti. Positivisme menyatakan alam sebagai sumber pengatahuan yang benar yang didasarkan pada rasionalitas dan data empirik. 
Comte (1798-1857) mengungkapkan bahwa ciri pengatahuan yaitu dengan membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai sebuah keyataan dan kebenaran, mengumpulkan, mengklasifikasi dan memprediksikan masalah sosial sesuai dengan aturan-aturan yang berdasar pada pengalaman-pengalaman mereka. Konstruksi pengatahuan berdasar pada aliran postivistik yang menganggap bahwa gejala-gejala alam yang berdasar pada pengalaman bersifat faktual, nyata dan empiris. Hukum atau aturan sosial yang telah ditetapkan sebelumya menjadi keharusan yang dilakukan masyarakat, menjadikannya terpaksa dan menerimanya, didalam ilmu sosial disebut dengan paradigm fakta sosial.

Paradigma fakta sosial meliputi masyarakat dan alam yang merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat, didalamnya terdapat aturan dan nilai-nilai (hukum) multidimensional yang meliputi politik, ekonomi, agama, budaya, keluarga dll. Aturan dan nilai multidimensi tersebuat adalah sebuah keharusan yang dilakukan oleh masyarakat dalam merealisasikan kehidupan sosialnya. Hal ini senada dengan istilah positif dari bahasa Latin, yaitu positus yang berarti meletakkan, yang secara subtansial segala urusan benar dan salah, patuh dan tidak patuh adalah ketentuan hukum (aturan dan nilai) yang telah diletakkan sebelumnya untuk individu atau masyarakat dan alam.  

Masalah pandemi covid 19 atau disebut dengan virus corona merupakan virus secara alamiah menggerogoti masyarakat dunia, masalah virus corona terbentuk secara alami yang berdasar pada argumentasi ilmiah, realitas ini dibuktikan dalam berbagai penelitian ilmiah salah satu dalam jurnal Nature Medicine yang ditulis oleh Dr Kristian Andersen seorang professor imunologi dan mikrobiologi, data membuktikan bahwa perbandingan data sekuens genom yang tersedia untuk strain coronavirus yang diketahui, mempertegas validitas bahwa SARS-CoV-2 bersifat alamiah. Argumentasi positivistik kemudian relevan dalam menilai fenomena virus pandemi covid 19 yang kian hari semakin meluas, simpulan hasil analisis Dr Kristian Andersen bahwa genom untuk lonjakan protein pada virus corona sangat efektif untuk mengikat sel manusia yang memungkinkan hasil dari seleksi alam.

Masyarakat dan alam tidak akan terhindar dari nilai-nilai dan aturan yang melingkupinya, dalam paradigma fakta sosial aturan multidimensional mempengaruhi individu dan masyarakat hingga pada pemaksaan kehendak. Menyikapi Covid 19 yang semakin hari semakin urgensi, dibutuhkan penanganan yang sangat serius yakni merealisasikan arahan aturan pemerintah, anjuran agama dan tenaga medis dalam mengurangi infeksi penularan dari individu ke individu dan masyarakat yakni dengan sosial distancing, lockdown, isolasi. karantina, work from home serta meningkatkan imunitas.

Fakta sosial selanjutnya adalah adanya anjuran agama islam untuk menghidari wabah dan penyakit menular, dalam hadits yang di riwayatkan oleh Al-Bukhari: Rasulullah SAW pernah bersabda:“Jika kamu medengarkan wabah di suatu wilayah maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika wabah di tempat kamu berada maka jangan tinggalkan tempat itu”. (HR. Bukhari). Selanjutnya beliau juga bersabda, Abu Salamah bin Abdurrahman berkata: saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam beliau bersabda:” janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat (HR. Bukhari).

Bagi aliran ini, wabah pandemi covid 19 adalah masalah serius yang berdasar pada hasil produksi alam (makhluk hidup) dan manusia. Dialektika ini terjadi disebabkan alam dan seisinya (makhluk hidup) untuk manusia, manusia untuk alam saling membutuhkan satu sama lain. Ironisnya jika manusia mendominasi alam dengan mengedepankan kerakusan dan keangkuhannya, maka sebaliknya alam akan berbalik mendominasi manusia dengan bencananya yaitu pandemi covid-19. 

ARGUMENTASI KRITIS

Berawal dari kritisme Immanuel Kant (1724-1804) bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula dengan pengalaman (empirik) tidak dapat selalu dijadikan tolak ukur kebenaran dan pengatahuan. Argumen Kant mengindikasikan bahwa terdapat penolakan atas argumen-argumen positivistik yang menggunakan rasionalisme dan empirisme dalam melihat kebenaran sehingga membentuk pengatahuan.    

Dinamika dan masalah sosial dalam paradigma kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkapkan realitas struktur dibalik ilusi yang dinampakkan dunia secara materil. Kaum kritis beranggapan bahwa semua masalah dan dinamika sosial terjadi bukan secara alamiah yang berdasar pada rasionalitas yang empirik, akan tetapi terdapat subjek tertentu sebagai aktor terjadinya masalah dan dinamika sosial. 

Max Horkeimer (1937) menyatakan bahwa teori kritis berorentasi kritis dan mengubah masyarakat secara keseluruhan, intinya adalah fenomena masyarakat harus dikaitkan dengan sejarah dan fenomena masyarakat harus pula dikaitkan dengan semua disiplin ilmu sosial lainnya. Pun demikian gagasan Emmanuel Kant dalam “Critique of Pure Reason” untuk menyerang aliran positivisme yang hanya mengatasi masalah dengan menggunakan rasionalitas dan empiris dan tidak menggunakan hukum logika sebab-akibat.

Senada dengan argument tersebut, covid 19 merupakan permasalahan sosial yang hidup dalam dinamika diskursus, seringkali diwacanakan di media massa dengan narasi yang berbeda-beda, kaum kritisme beranggapan media massa dengan penyebaran berita atas dasar kepentingan individu, kelompok atau negara. Hal ini kemudian diperkuat bahwa terdapat pemberitaan yang mengungkapkan bahwa virus corona atau covid 19 tidaklah alamiah akan tetapi virus buatan manusia melalui laboratorium (mutasi genetik). Dengan menggunakan analisis teori konspirasi sebagai pisau bedah terdapat keanehan-keanehan dalam dinamika pandemi covid 19 ini, keanehan-keanehan tersebut di antaranya: pertama belum cukup setengah tahun virus ini menyebar begitu cepat mencapai puluhan negara yang telah terinfeksi, kedua covid 19 tidak mematikan seperti virus Sars dan Mers, anehnya adalah media lebih suka memberitakan covid 19 dari pada Sars dan Mers dahulu, padahal sama-sama jenis virus corona. Berdasar keanehan tersebut dalam analisis konspirasi mengenai covid 19 bahwa virus tersebut adalah kiriman tentara militer Amerika untuk Cina (Liputan6.com) dan Covid 19 adalah senjata biologis Amerika untuk Cina (CNBCIndonesia.com), meski belum terdapat bukti-bukti yang konkrit untuk membenarkan argument ini.

Aliran kritis pada posisinya bertujuan untuk menggugat argumentasi yang hanya mengedepankan rasio dan data empirik, tanpa menggunakan logika hukum sebab-akibat, argumentasi kritis dalam teori konspirasi, menganggap bahwa pendemi covid 19 adalah ciptaan kelompok tertentu yang bertujuan mendominasi, menguasai kelompok masyarakat agar tunduk dan patuh kepadanya. Tujuan aliran ini kemudian relevan apa yang di ungkapkan Marxisme klasik yaitu melawan segala bentuk penindasan dan kewenang-wenangan, sementara dalam agama bahwa islam mengutuk kelompok yang melakukan eksploitasi terhadap kelompok lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an dalam Surah Al-A’raf, ayat 137, ketika Fir’aun menguasai dan menindas negeri Syam dan Mesir.

Konstruksi pengatahuan bukan hanya berdasar pada rasionalitas manusia (a priori) akan tetapi juga membutuhkan pengalaman manusia (a postteriori), maka gabungan keduanya menurut Emmanuel Kant adalah kritisisme. Sebagai kongklusi untuk masyarakat bahwa dalam menyikapi realitas pandemi covid 19 sangat dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh yakni selain makhluk hidup (virus) ini adalah hasil produksi alam secara alami ataupun buatan manusia melalui laboratorium akan tetapi secara ilmiah virus ini sangat berbahaya untuk manusia maka dibutuhkan penanganan untuk menyelesaikan masalah ini yaitu realisasikan aturan dan arahan pemerintah, taati anjuran agama, patuhi arahan tim medis dan yang terpenting adalah jaga kesehatan, tingkatkan imunitas, kritis atas berita media sosial yang menimbulkan kepanikan & strees, hindari berita hoax. Salam doa dan selamat berbagi.   

Selasa, 17 Maret 2020

EUROSENTRISME DAN MENGGUGAT HEGEMONI BARAT


Berawal dari sebuah sejarah sebelum Abad-16 Bangsa Barat & Eropa mengalami Krisis berkepanjangan sehingga mereka berfikir bahwa salah satu solusi untuk keluar dari masa krisis ini dengan Bangkit dan membentuk sistem kekuasaan politik kolonial dan imperial terhadap Bangsa Bangsa lain, Sehingga penjajahan mereka berawal di Konstantinopel membuat Barat diperkaya dengan rempah rempah dan berlangsung cukup lama. Pada tahun 1453 Konstantinopel jatuh di tangan Turki Usmani dan mengakibatkan tertutupnya pasokan rempah rempah sehingga mengakibatkan Bangsa Barat/Eropa Memperluas daerah kekuasaannya di berbagai Samudra salah satunya adalah Bangsa Indonesia.
            Kolonialisme dan Imperialisme sebenarnya memiliki pengertian yang sama dan sampai sekarang belum mendapatkan Definisi yg lengkap dan kongkrit , akan tetapi tujuan utama Bangsa Barat/Eropa yaitu Gold, Glory dan Gospel. Sehingga membentuk sistem kekuasaan politik dengan cara mendominasi, mengeksploitasi, mendeskriminasi hingga menjadikan negara yg dijajah bergantung kepadanya. Awalnya penjajahan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan Ekonomi rempah rempah Barat/Eropa dalam bentuk kolonialisasi sistem tanam paksa, tetapi dengan kerakusannya mereka semakin memperluas wilayah kekuasaan mereka sehingga membentuk imperium imperium yg semakin luas hingga menyentuh pada aspek Budaya, Ideologi, Ilmu Pengatahuan bahkan Agama hingga pada Abad 19.
            Jika kita kembali pada sejarah peraktek peraktek kekuasaan yang berdasarkan atas kepentingan sudah terjadi pada zaman purbakala ketika pecahnya perang antara Grik tua dengan dinasti Achaemenids ( 600-300 SM) dari imperium Parsi, sejak masa pemerintahannya Cyrus The Great ( 550-530 SM) sampai pada  raja raja turunannya. Juga pada Zaman Pertengahan bermula pada abad ke-4 masehi dan berlangsung selama seribu tahun sampai dengan zaman kebangkitan ( Renaissance) di Eropa pada abad ke-14 masehi. Terjadi saling menguasai antara imperium Roma dengan dinasti Sasanids (206-651M), Hingga sampai pada masa tumbangnya kekuasaan islam di Adalusia tahun 1492 M di antaranya pada masa Khalifah Umar Bin Khattab di Parsi (634-644 M) dan Khalifah Walid Bin Abdul Malik di Suraih dan Bani Umayyah ( 705-715 M). Dua Zaman tersebut adalah akar sejarah pertumbuhan dan merupakan minat pihak Barat untuk mempelajari situasi dan kondisi di Timur. 
Sehingga pada pencapaian kajian terhadap Timur di sebut dengan istilah “Orientalisme” dan sebaliknya pengkajian terhadap Barat disebut dengan” Oksidentalisme”. Terdapat beberapa faktor pendorong atas kajian ini antaranya adalah :
Kajian Orientalisme
-     Berawal dari Perang Salib
-     Sentuhan Barat Dengan Perguruan Tinggi Islam salah satunya Universitas Tertua yang ada di Mesir dan Universitas Cordova Andalusia.
-     Penyalinan Naskah-Naskah Arab ke dalam bahasa Latin Mengenai Bidang Ilmiah dan Filsafat. 
Kajian Oksidentalisme
-     Awal terjadinya keguncangan peradaban Barat dengan sains Barat membuat ego kehilangan keseimbangan.
-     Awal kebangkitan dari keguncangan imperialisme yang ditandai dengan munculnya seruan untuk menggunakan cara yang ditempuh penjajah dalam menguasai kita (Timur;Islam).
-     Gerakan reformasi dan keinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani, tasawuf dan tradisi lama penguasa, serta munculnya seruan untuk mengambil Barat sebagai contoh kebangkitan modern.
-     Dibangunnya negara modern setelah terlepas dari negara elit, dan dibutuhkannya teoritisi, teknokrat, sarjana dan birokrat untuk mengisi pos-pos pemerintahan.
-     Awal pengiriman delegasi keilmuan dan warga kita (Timur) ke Barat untuk belajar disana.
-     Kunjungan timbal balik antara Timur dan Barat, dan dikenalnya the other oleh ego yang kemudian dianggap sebagai cermin bagi ego. Kebanggaan kepada Barat pun merebak di kalangan kita (Timur), sehingga muncul anggapan bahwa Barat adalah satu-satunya tipe modernisasi.
-     Awal penulisan tema-tema tentang wacana barat dalam bidang pemikiran, politik, sosial, etika, hukum dan lainnya yang mengakibatkan tersebarnya madzhab Barat di atas realitas kita dan kemudian menjadi fokus kebudayaan pemikat bagi umat manusia.
Dominasi Barat / Eropa membentuk hegemoni dari berbagai bentuk kekasaan  ,seperti yang di katakan Said dalam wacana Orientalisnya dengan meminjam teori Michel Foucault dan Antoniou Gramchi sebagai pisau bedah, membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme :
Pertama kekuasaan Politis, sebetulnya pada wacana orientalisme sama sekali tidak berhubungan langsung dengan kekuatan kekuatan politis secara kongkrit, namun lebih berhubungan dengan suatu pertukaran timbak balik yang tidak seimbang antara berbagai jenis kekuatan. Pada kekuasaan Politik ( Pembentukan Pemerintahan Imperial dan Kolonial) sehingga dapat di jelaskan bahwa pola kekuasaan politis yang menjadi wacana orientalisme yaitu penekanan dan penciptaan superioritas dan inferioritas. Orientalisme selalu menempatkan Timur sebagai pihak inferior, dan pada saat yang sama ia menciptakan Barat yang superior. Inilah yang merupakan proyek oposisi-biner Barat dan memiliki bentuk kesamamaan dengan Analogi Spivak dalam Poskolonial tentang penindasan kelompok minoritas atas kelompok mayoritas, Penindasan Kelas Borjuis atas kelas Proletariat atau Penindasan Laki-Laki atas Perempuan, Fannon juga mengungkapkan bahwa terdapat bentuk Identitas yang lebih tinggi Barat yang berkulit putih dan Identitas rendah adalah Orang Timur “ Poskolonial”.  .
Kedua kekuasaan Intelektual ( Seperti sains sains dominan, ilmu pengatahuan atau anatomi komparatif ), cukup jelas bahwasanya kekuasaan intelektual yang Dominan adalah Barat/Eropa, faktanya bahwa bentuk kebergantungan Timur terhadap Barat  begitu besar dalam berbagai aspek khususnya pada Ilmu pengatahuan, Linguistik,  dan  Akademis, dalam buku yang di gagas oleh Syed Farid Alatas bahwa dalam teori captive Mind yang lahir dalam konteks kebergantungan.  Kebergantungan ini menyoroti relasi antara akademisi di pusat ( Barat ) dan akademisi di pinggiran (Timur), ketika yang disebut pertama mendominasi yang disebut kedua dalam bentuk imperialisme intelektual. Akademisi pinggiran menggantungkan penelitian dan dana pengembangan pada rekan mereka di pusat  bahkan jurnal ilmiah dikontrol terutama oleh institusi akademisi di pusat, hal ini di sebut oleh Samir Amin adalah Eurosentrisme .
Ketiga kekuasaan Kultural ( seperti ortodiksi- ortodoksi dan undang undang ras, bahasa dan nilai nilai), pada kekuasaan kultural bentuk Dominasi Barat mencakup pada selera, teks, dan kategori estetika kolonial yang di mimiasi/mimikri (dalam konsep Bhaba) oleh bangsa Timur, hal ini bisa di temukan di India, Mesir dan negara negara bekas koloni. Pada Kekuasaan selera di Indonesia terdapat Mcdonald dan Bakery Holland yang begitu di minati Masyarakat Indonesia “ Westernteste” begitu pula Style seperti gaya berbusana, warnah kulit, bentuk Hidung  bahkan oprasi plastik , tidak lain hanyalah untuk mempercantik diri Mirip Orang Orang Barat “ Westernisasi” dan kesemuanya adalah budaya Barat yang diadopsi oleh bangsa Timur khususnya Indonesia ( Indikasi Eurosentrisme ).
Keempat  Moral kekuasaan ( Seperti gagasan-gagasan tentang apa yang” kita ” lakukan dan apa yang tidak dapat “ mereka ” lakuakan atau pahami seperti yang “ kita ” lakukan atau “ kita ” pahami ), secara Subtansial Kekuatan moral menurut Said adalah tentang apa yang baik dan tidak baik dilakukan Timur. Said mengungkapkan bagaimana orang-orang Arab mengalami pendiskreditan dan pemaksaan identitas yang signifikan. Sebagaima negara yang terbelakang, Arab dikonstruksikan dan direpresentasikan sebagai bangsa yang berbahaya, rendah, statis, dan berbagai predikat buruk lainnya. Pendapat ini juga mungkin ditujukkan untuk menjustifikasi praktik “kontrol” sewenang-wenang negara Barat terhadap negara Arab atau Timur Tengah.
Selanjutnya, Barat juga mempunyai peran besar dalam menciptakan representasi dan prototip wanita Timur dengan segala eksotisme, sensualitas, dan kebisuannya. Flaubert dalam Kuchuk Hanem, Harem, dan konsepsi hina wanita Timur dalam teks-teks lainnya merupakan contoh dari hal ini.
Solusi dan Kongklusi : Dikotomi negara maju dan negara berkembang merupakan wacana yang hidup dalam orientalisme, negara maju adalah negara-negara Barat, terutama Eropa. Dan negara berkembang, dengan tingkat Human Development Index yang rendah adalah Asia dan Afrika. Bentuk dikotomi ini menegaskan superioritas Barat dan inferioritas Timur. Secara Politis, intelektual, kultural, moral, dan ekonomi, predikat negara berkembang ini merupakan suatu hegemoni Barat. Karena dengan dikotomi itu, negara Barat terkesan legitimate  untuk memberikan perlakuan khusus kepada negara-negara berkembang, dengan rezim World Bank atau WTO. Sah-sah saja memang menggolongkan negara sesuai dengan kemampuan ekonominya, tetapi yang perlu dicermati di sini adalah, setelah mempelajari postkolonialisme dan orientalisme khususnya, saya menjadi sadar bahwa konstruksi dan konsepsi internasional seperti istilah negara berkembang merupakan bentuk-bentuk tak terlihat dari kolonialisme jenis baru. Dan kita sebagai orang Timur hendaknya berhenti membentuk diri kita sendiri sesuai konsepsi Barat: Timur yang inferior, fundamentalis, miskin, intelektualitas rendah, dan predikat lainnya merupakan ilusi yang tidak harus kita terima tetapi yang harus kita lawan adalah sebuah Solusi menurut saya.