Sabtu, 31 Agustus 2013

Teori Fungsionalisme Tentang Stratifikasi (Kingsley Davis)

Salah satu karya yang cukup terkenal dari fungsionalisme struktural ialah teori fungsionalisme struktural tentang stratifikasi sosial. Teori ini dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Davis dan Moore menganggap bahwa stratifikasi sosial sebagai satu kenyataan yang universal yang diperlukan untuk memepertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Mereka berpendapat bahwa tidak ada masyarakat yang tidak punya sistem stratifikasi sosial. Karena stratifikasi sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Akan tetapi stratifikasi yang dimaksud bukannya individu-individu yang ada didalam stratifikasi itu, melainkan sistem posisi-posisi yang mengandung prestise-prestise yang berbeda-beda didalam masyarakat dan bukannya pada individu-individu yang menduduki posisi tertentu. Maka dari itu para pendukung teori ini melakukan usaha bagaimana memotivasi masyarakat dan menempatkan orang-orang kedalam posisi-posisi yang tepat didalam sistem stratifikasi. Disini ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni : pertama, bagaimana masyarakat membangkitkan didalam individu-individu yang tertentu keinginan untuk menduduki posisi tertentu. Kedua, setelah orang itu menerima untuk menduduki posisi yang cocok untuk stratifikasinya, selanjutnya bagaimana masyarakat membangkitkan didalam diri orang itu keinginan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut oleh posisi itu atau bagaimana ia menjalankan tugas-tugas sesuai dengan posisinya itu. Persoalan penempatan orang-orang ke dalam posisi yang tepat muncul ke permukaan karena tiga alasan. Pertama, ada posisi tertentu yang lebih nyaman dibandingkan dengan posisi-posisi yang lainnya. Kedua, ada posisi-posisi tertentu yang penting untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu masyarakat dibandingkan dengan posisi-posisi lainnya. Ketiga, posisi-posisi di dalam masyarakat menuntut sejumlah bakat dan kemampuan tertentu. Itulah sebabnya penempatan orang kedalam posisi-posisi tertentu menjadi persoalan. Davis dan Moore lebih memusatkan analisanya pada posisi-posisi yang mempunyai fungsi yang penting dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat. Menurut mereka, posisi-posisi tinggi didalam stratifikasi sosial dianggap sebagai posisi-posisi yang kurang menyenangkan tetapi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat dan membutuhkan bakat dan kemampuan yang besar. Oleh karena itu masyarakat menambahkan didalam posisi itu ganjaran-ganjaran (reward) sehingga orang-orang yang bekerja didalam posisi itu dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan posisinya dan rajin. Sebaliknya, posisi-posisi yang lebih rendah lebih menyenangkan tetapi kurang penting dan tidak membutuhkan bakat dan kemampuan khusus untuk melaksanakannya. Masyarakat juga tidak menganggap terlalu penting bahwa orang-orang yang menduduki psosisi-posisi itu harus melaksanakan tugasnya dengan rajin. Agar posisi-posisi tinggi dan berat itu diduduki oleh orang-orang tertentu, maka masyarakat harus menyiapkan bagi posisi-posisi itu berbagai macam reward atau ganjaran, seperti prestise yang besar, gaji yang tinggi, dan kenikmatan. Misalnya, supaya kebutuhan dokter terjamin maka masyarakat menyiapkan berbagai ganjaran untuk mereka seperti prestise, gaji dan kenikmatan hidup. seseorang tidak akan menghabiskan waktu dan tenaga melakukan studi ilmu kedokteran yang berat, lama, dan mahal, kalau posisi itu tidak memberi ganjaran atau reward yang tingi kepada posisi dokter tersebut. Jadi, orang-orang yang menduduki posisi penting harus mendapat ganjaran supaya posisi itu tetap terisi. Kalau tidak, orang tidak bakal ingin mengisi posisi itu. Fungsionalisme struktural tentang stratifikasi sosial juga mendapat banyak kritikan dari lawan-lawannya. Seperti halnya pada setiap teori pasti ada bias atau kritikan mengenai teori tersebut. Adapun kritik-kritik yang paling menonjol adalah: 1. Teori fungsionalisme struktural melanggengkan posisi-posisi khusus yang memiliki kekuasaan, prestise, dan kekayaan. Hal ini terjadi karena mereka berpendapat bahwa posisi-posisi itu layak mendapatkan kekuasaan, prestise, atau kekayaan demi keberlangsungan hidup masyarakat. 2. Teori ini juga menekankan perbedaan pentingnya posisi-posisi dalam menunjang keberlangsungan hidup masyarakat. Misalnya, manager perusahaan lebih penting dari pada tukang sampah. Persoalannya ialah apakah benar demikian? Walaupun dibayar rendah, kelihatannya posisi tukang sampah lebih penting untuk keberlangsungan hidup suatu masyarakat daripada seorang manajer di kantornya. 3. Kalaupun ada posisi penting di dalam masyarakat, mereka tidak selalu mendapat ganjaran yang besar sesuai dengan posisinya. Seorang perawat, misalnya, pasti mempunyai posisi penting untuk keberlangsungan hidup suatu masyarakat, namun dia dibayar lebih rendah dari intang film yang posisinya sama sekali kurang penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat. 4. Apakah benar bahwa masyarakat kekurangan orang-oranng yang mampu menduduki posisi tingkat tinggi? Dalam kenyataannya, banyak orang yang dihalangi atau terhalang untuk dididik guna mencapai posisi-posisi tinggi itu sekalipun mereka mempunyai kemampuan. Dalam dunia kedokteran, misalnya, selalu ada usaha untuk membatasi jumlah dokter dengan segala macam cara. Selain itu banyak orang yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk menduduki posisi tinggi sekalipun jelas bahwa mereka mempunyai kemampuan dan bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Dalam kenyataannya, orang-orang yang menduduki posisi tinggi selalu berusaha untuk tetap bertahan di dalamnya posisinya karena kepentingan-kepentingan pribadi. 5. Kita tidak harus menawarkan prestise, kekuasaan dan harta supaya orang mau menduduki posisi-posisi tertentu. Orang bisa juga termotivasi untuk menduduki posisi tertentu karena kepuasan yang mereka peroleh dari pekerjaannya atau karena mereka menddapat kesempatan untuk melakukan pelayanan.

Teori Interaksi Simbolik Mead

Pemikiran-pemikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang. Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain. Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia. Konsep diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat Goerge Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara "aku" dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya. "Kedirian" (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri" dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan membedakan di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut "me" atau "daku" yang lain "I" atau "aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu "I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk di pahami.

Jumat, 30 Agustus 2013

FILSAFAT ILMU

Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu[1]. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat. Empirisme Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam. Falsifiabilitas Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar. Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.

Senin, 26 Agustus 2013

FILSAFAT KONTEMPORER

Filsafat secara etimologi merupakan kata serapan dari yunani, philoshopia, yang berarti “philo” adalah Cinta, sedangkan “shopia” berarti kebjaksanaan atau hikmah. Jadi dapat ditarik kesimpulan, Cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun ketika di tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedang kata ‘kontemporer’ sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak memiliki penggalan masa secara pasti. “kontemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian. Sementara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemporer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer. Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di barat, yang dominan pengaruhnya. Perkembangan filsafat abad ke 20 juga ditandai oleh munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran itu merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pda abad modern, seperti neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti Fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, struturalisme dan yang paling mutakhir adalah aliran postmodernisme. Pada bagian ini hanya dibicarakan beberapa aliran dn tokoh yang paling berpengaruh pada abad ke 20. (Why Hay You)

Kamis, 22 Agustus 2013

THE THEORY

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membedah dan menganalisis kejadian atau fenomena sosial yang hadir dalam kehidupan masyarakat kita. Hal ini ditandai dengan keberhasilan sosiologi sebagai cabang ilmu, yang tampil ditengah-tengah persaingan pengaruh antara psikologi dan filsafat untuk membedah fenomena sosial. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sosiologi belum seutuhnya mampu melepaskan pengaruh dengan dua cabang ilmu yang telah disebutkan sebelumnya (Ritzer, 2004). Dalam tugas sebelumnya telah diuraikan, bahwa syarat terpenting dari ilmu pengetahuan adalah mampu membuka atau mempertanyakan realitas yang ada (ontologi) dan mengetahui mengapa realitas itu terjadi (epistimologi). Dengan mempertanyakan kejadian atau fenomena sosial (ontologi) dan mengetahui mengapa fenomena sosial tersebut terjadi (epistimologi), maka sosiologi telah membuktikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana cabang ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai ilmu pengetahuan, tentunya sosiologi mempunyai seperangkat teori untuk membuka tabir atas realitas sosial yang terjadi dan memepertanyakan mengapa realitas sosial itu terjadi. Beragam teori pun hadir dengan latar belakang paradigma yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan itu, kita mengenal beragam teori dalam sosiologi, seperti: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori tindakan sosial, dan lain-lain. Pertanyaannya kemudian adalah (1) apakah yang dimaksud dengan teori itu? (2) bagaimana proses pembentukan teori dalam sosiologi? dan (3) bagaimana landasan kategorisasi atau pemetaan teori-teori dalam sosiologi? Pembentukan Teori dan Defenisi Teori Sosiologi Sebelum menjawab pertanyaan pertama dalam tulisan ini, alangkah baiknya kita terlebih dahulu memahami bagaimana proses pembentukan suatu teori. Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini merupakan komponen ilmu yang hakiki. Adapun komponen yang dimaksud, yakni: fenomena, konsep, fakta, dan teori. Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang sesungguhnya. Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsep-konsep. Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa yang dinamakan variabel. Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir. Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta. Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya. Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori. Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-fenomena. Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004) yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris. Selanjutya Poloma (2004) menambahkan bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepat-tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah. Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris. Dengan demikian, sangat jelas bahwa pembentukan suatu teori sosiologi tidak lepas atau sangat terkait dengan cara berfikir (logika) yang dibangun oleh seorang ilmuwan sosial untuk menjawab pertanyaan atas suatu realita sosial. Dalam ilmu filsafat, dikenal dua cara berfikir (logika) sebagai ”tipe ideal” (meminjam istilah Max Weber) untuk mengetahui suatu teori dalam menjawab realita atau fenomena sosial. Tipe ideal yang dimaksud adalah bahwa pembentukan teori berangkat dari logika induktif (induktive logical) dan logika deduktif (deductive logical) yang mempunyai perbedaan satu sama lain. Cara berfikir induktif berangkat dari fakta empiris yang diperoleh melalui pengamatan dalam membentuk suatu hukum atau teori sosiologi. Ini berbeda dengan cara berfikir deduktif yang menempatkan hukum atau teori sosiologi sebagai untuk memprediksi dan mengeksplanasi kejadian atau fenomena sosial. Meski demikian, antara fakta yang ada dan prediksi maupun eksplanasi mempunyai keterhubungan dalam membuka ”tabir” atas kejadian atau fenomena sosial. Tipe ideal sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilacak diawal-awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai Bapak Sosiologi, Aguste Comte dengan teori evolusinya yang dikenal dengan hukum tiga tingkatan (tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik) yang berangkat dari ”filasafat positif” (Ritzer dan Goodman, 2003) merupakan pembentukan teori yang didasari atasdeduktive logical, dimana mengembangkan fisika sosial sebagaimana model ilmu-ilmu pasti atau ”hard science”. Pendapat ini, kemudian dibantah oleh Durkheim yang mana mentikberatkan sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada fakta sosial (empirisme). Berangkat dari penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial, Durkheim kembali menegaskan bahwa fakta sosial menurutnya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyeledikan filsafat. Atau dengan kata lain, dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari dalam sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin empiris dan berdiri sendiri dari pengaruh filsafat (Ritzer, 2004). Pemetaan Tipe Teori dalam Sosiologi Memetakan tipe teori dalam sosiologi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan cara befikir akan menentukan posisi teori sosiologi ke dalam tipe tertentu. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua sosiolog barat, yakni Randal Collins (1988) dan William Skidmore (1979). Dalam bukunya yang berjudul ”Theoretical Sociology”, Collins mencoba memetakan teori sosiologi ke dalam tiga aras, yakni makro, meso, dan mikro. Menurutnya teori sosiologi aras makro merupakan teori yang topik kajiannya menempatkan waktu dan ruang mempunyai pengaruh terhadap manusia. Unit analisis dari sosiologi makro ini adalah masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Adapun yang dimaksud Collins dalam teori sosiologi makro ini adalah teori evolusi, teori sistem, teori fungsionalis, teori ekonomi politik, teori konflik, dan perubahan sosial. Berbeda dengan teori sebelumnya, teori sosiologi aras meso muncul karena pertanyaan mendasar tentang hubungan timbang balik antara mikro dan makro teori. Dalam hal ini, teori sosiologi pada aras meso berusaha menjambatani antar teori makro dan mikro terutama yang berupa kontroversi. Adapun yang termasuk ke dalam teori ini adalah teori jaringan yang mana berusaha menghubungkan teori makro dan mikro melalui situasi dan struktur sosial dibandingkan dengan ciri-ciri individu. Selain itu, teori sosiologi yang masuk pada aras meso, meliputi: teori jaringan yang menjelaskan efek jaringan dari tindakan individu dan kepecayaannya, jaringan dan ekonomi, dan jaringan kekuasaan. Sementara itu, teori sosiologi aras mikro merupakan teori yang memfokuskan pada topik kajian ruang dan waktu dalam ukuran yang lebih kecil dimana individu dan interaksinya yang didasari oleh prilaku dan kesadaran. Akan tetapi, Collins menambahkan bahwa unit mikro tidak memiliki batas yang jelas dengan mempertanyakan bagaimana keberadaan individu terhadap individu lain terhadap kelompoknya. Adapun yang termasuk ke dalam teori sosiologi mikro ini adalah teori ritual interaksi (Durkheim dan Goffman), teori status sosial (Goffman), dan teori pertukaran, dan teori relasi sosial. Pemetaan teori sosiologi yang diungkapkan oleh Collins (1988), berbeda jauh dengan apa yang dikemukakan oleh Skidmore (1979). Menurut Skidmore bahwa tipe teori dalam sosiologi dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni: teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective). Teori deduktif merupakan teori yang dibangun dari tujuan yang bersifat umum tentang suatu subyek atau fenomena atau pertistiwa yang meliputi hukum-hukum. Skidmore memberikan contoh bahwa setiap kejadian atau peristiwa X senantiasa mempengaruhi terjadinya kejadian atau peristiwa Y (sebab-akibat) atau sebaliknya. Tentunya kejadian atau peristiwa X maupun Y yang merupakan sebab-akibat tidak terjadi begitu saja, melainkan didasari oleh hukum atau teori yang ada sebelumnya. Teori ini, kemudian yang ditunkan dalam bentuk tujuan umum tentang subyek kumpulan hukum-hukum (proposisi-proposisi). Dari kumpulan hukum-hukum ini, kemudian menghasilkan apa yang dinamakan hipotesa. Berbeda dengan teori sebelumnya, teori berpola (pattern theory) tidak menekankan pada pemikiran teori deduktif, dimana dimensi vertikal tidak menjadi penting, melainkan logikanya didasarkan atas ”lateral”. Penekanan atas logika tersebut, mendorong teori ini lebig bertujuan menghubungkan pemikiran secara teori dengan realita yang ada. Atau dengan kata lain, teori ini lebih berdasarkan atas fakta sosial atau empirisme dalam membangun teorinya. Skidmore (1979) memberikan contoh teori ego dan super-ego yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Adapun tipe teori yang terakhir menurut Skidmore adalah perspektif. Meski penjelasan Skidmore tidak terlalu jelas, akan tetapi yang menarik untuk dikemukakan dalam tipe ini adalah bahwa pesepektif sesungguhnya terpisah dari teori berpola (pattren theory) dan teori deduktif (deductive theory), yang mana bukan dari jenis subyeknya, melainkan lebih dari derajat subyek. Selanjutnya menurut Skidmore bahwa perspektif tidak lain merupakan kumpulan ide-ide yang penting sebagai pembentuk teori. Dalam hal ini, Skidmore (1979) memberikan contoh teori simbolik-interaksi yang dapat dikatakan sebagai perspektif. Merujuk pembagian tipe yang dikemukakan oleh Skidmore di atas, penulis kemudian mencoba membedakan tiga tipe teori sosiologi menurut Skidmore merujuk dari unit analisis, sifat logika yang dibangun, dan aras teori. Berangkat dari dua pendapat di atas (Skidmore, 1979 dan Collins, 1988), pertanyaan kemudian adalah bagaimana posisi penulis dalam pemetaan tipe teori dalam sosiologi? Menjawab pertanyaan ini, penulis sangat sadari bukanlah pekerjaan yang mudah karena pemetaan teori harus didasarkan atas argumentasi yang kuat untuk meletakkan suatu teori sosiologi dalam tipe tertentu. Meski demikian, dua pendapat sosiolog sebelumnya ditambah dengan Ritzer (2005) dengan paradigma terpadunya yang membagi teori ke dalam 4 kelompok besar (makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif) memberikan gambaran kepada penulis untuk mencoba melakukan pemetaan tipe teori sosiologi. Pemetaan tipe teori yang akan dilakukan ini, tidak serta ”meninggalkan” pendapat sebelumnya, melainkan mencoba mengelaborasinya ke dalam pembagian tipe yang mudah dipahami. Adapun pembagian tipe teori sosiologi yang penulis maksud adalah menggambungkan pendapat yang dikemukakan oleh Collins (1988), Skidmore (1979), dan tipe ideal dalam pembentukan teori. Dengan menggunakan sistem kuadran, penulis menempatkan dua garis yang saling menyilang (X dan Y) sebagai garis kontinum yang membedakan antara aras teori dengan tipe ideal pembentukan teori. Aras teori berpijak pada pendapat Collins, yang kemudian penulis reduksi menjadi dua aras, yakni makro dan mikro. Alasan mengapa teori aras meso yang dikemukakan Collins, tidak penulis masukkan karena didasarkan atas dua argumentasi, yakni: pertama, teori pada aras meso sebagaimana dikemukakan Collins (1988) hanya menekankan perbedaan unit analisis antara makro dan mikro. Akan tetapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, pemikiran teori aras meso tetap berpijak pada pemikiran yang bersumber dari induktif dan deduktif; dan kedua, meminjam pembagian sosiologi oleh Sanderson (2003) yang mengemukakan bahwa teori sosiologi pada prinsipnya dikategorikan menjadi dua bagian sesuai dengan kajian analitiknya. Adapun kategori yang dimaksud, yaitu: sosiologi makrodan sosiologi mikro[1]. Dengan demikian, teori aras makro-mikro merupakan satu garis kontinum yang saling berhubungan (garis sumbu X). Sementara itu, untuk tipe ideal pembentukan teori yang penulis maksud adalah cara berfikir filsafat yang bersumber dari dua, yakni deduktif dan induktif. Pernyataan ini senada dengan pendapat Skidmore yang membedakan tipe teori menjadi 3 bagian, yakni teori deduktif (deductive theory), teori berpola (pattern theory), dan perspektif (perspective). Dalam pembuatan tipe teori sosiologi ini, teori perspektif yang dikemukakan Skidmore, tidak penulis masukkan karena cenderung sudah mewakili dua teori sebelumnya. Dengan demikian, deduktive theory (cara berfikir deduktif) dan pattern theory(cara berfikir induktif) merupakan satu garis kontinum atau garis sumbu Y. Berangkat dari pemetaan teori yang disajikan di atas, dengan jelas terlihat bahwa tipe teori sosiologi dapat dibedakan ke dalam 4 bagian, yakni: (1). Mikro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya. Dalam tipe ini, satuan analisisnya adalah individu dan kelompok sosial. (2). Mikro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola pikir dan perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif berskala kecil dimana prediksi dan eksplanasinya berangkat dari fakta sosial (emperisme). Adapun tipe analisisnya adalah individu dan kelompok sosial; (3). Makro-deduktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari hukum-hukum atau teori sebelumnya. Satuan analisis dari tipe teori ini adalah masyarakat sebagai sistem sosial dan dapat pula organisasi sosial; dan (4). Makro-induktif, yaitu tipe teori sosiologi yang mengkaji berbagai pola sosial berskala besar dimana eksplanasi dan prediksinya berangkat dari fakta sosial (emperisme). Satuan analisisnya adalah masyarakat atau sistem sosial. Dengan demikian, beragam teori sosiologi yang ada dapat dimasukkan ke dalam empat pembagian teori yang telah disebutkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, terdapat empat sel dalam matriks yang akan diisi sesuai dengan pembagian tipe teori sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya. Perkembangan teori sosiologi hingga kini banyak tergolong ke dalam tipe teori makro-induktif dan mikro-induktif dibandingkan dengan teori makro-deduktif dan mikro-deduktif. Bukti ini semakin menunjukkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari fakta sosial (empirisme) yang berbeda jauh dengan psikologi sosial dan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.

Minggu, 18 Agustus 2013

Back to The First Page Before Going To Other Page ( The Spesification Of Sosial Comunication ).

SOSIOLOGI KOMUNIKASI Pengertian Sosiologi Komunikasi Sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti masyarakat, dan kata Logos yang berarti ilmu. Dalam kamus, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat. Ilmu Sosiologi muncul bersamaan dengan ilmu psikologi pada abad 19, dimana ilmu sosiologi merupakan perkembangan dari ilmu filsafat social.Istilah sosiologi dipopulerkan oleh Hebert Spencer lewat bukunya berjudul Principles of Sociology. ciri-ciri utamanya adalah : 1. Bersifat empiris 2. Sosiologi bersifat kumulatif 3. Bersifat non etis Sosiologi Komunikasi Sosiologi merupakan kumpulan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan yang di susun secara sistematis berdasarkan analisis berfikir logis. Sosiologi mempelajari komunikasi dalam konteks interaksi sosial dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan media secara langsung dan tidak langsung. Colin cherry(1964) mendefinisikan komunikasi sebagai usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda, memiliki serangkaian peraturan bersama untuk berbagai kegiatan mencapai tujuan Tujuan dari sosiologi komunikasi adalah dapat mengetahui pengaruh faktor sosial dalam komunikasi serta dapat memahami keadaan sosiologi yang timbul dalam komunikasi atau mempunyai aspek komunikasi. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup kajian sosiologi komunikasi adalah gejala, pengaruh dan masalah sosial yang disebabkan oleh komunikasi. Pada dasarnya antara penelitian dibidang komunikasi dengan soskom tidak mempunyai hubungan yang langsung. Akan tetapi penelitian dibidang komunikasi mempunyai kecenderungan untuk melakukan penelitian tentang : 1.Struktur, pusat perhatian, perilaku masyarakat yang menjadi sasaran komunikator, maksudnya bagaimana sesuatu peran itu disampaikan, ataupun apakah yang akan menjadi pusat perhatian penelitian tersebut. 2.Efektifitas komunikasi massa, maksudnya sejauhmana pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh komunikasi massa. 3.Efek-efek sosial dari komunikasi massa, maksudnya bagaimanakah pengaruh sosial dari komunikasi massa. Dan inilah sebenarnya yang menjadi salah satu bidang kajian sosiologi komunikasi massa. A. Ruang Lingkup dan Konsep Sosiologi Komunikasi Menurut Bungin (2006 : 27-31), sosiologi komunikasi terdiri dari 4 konsep yang sekaligus menjadi ruang lingkup sosiologi komunikasi. Ke-empat konsep tersebut yakni sosiologi, masyarakat, komunikasi, dan teknologi media/informasi. 1. Sosiologi Berikut merupakan pengertian sosiologi menurut beberapa ahli, antara lain: a) Roucek dan Warren, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia dalam kelompok-kelompok. b) William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, sosiologi adalah penelitian ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial. c) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial termasuk di dalamnya berbagai aktifitas atau gejala sosial yang kemudian menghasilkan perubahan-perubahan sosial. 2. Masyarakat Masyarakat merupakan salah satu ruang lingkup dari sosiologi komunikasi. Artinya bahwa masyarakat merupakan salah satu yang dibahas dalam sosiologi komunikasi. Beberapa pandangan para ahli tentang masyarakat: a) Ralph Linton memahami masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. b) Selo Soemardjan, mengatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Dari dua definisi di atas jelaslah bahwa masyarakat itu terdiri dari kumpulan orang-orang yang hidup berdampingan (hidup bersama) dalam suatu wilayah dan terikat oleh aturan-aturan atau norma-norma sosial yang mereka tentukan dan taati. 3. Komunikasi Teknologi komunikasi merupakan ruang lingkup ketiga dari sosiologi komunikasi. Menurut Alter (Bungin, 2006 : 30), teknologi informasi mencakup perangkat keras dan perangkat lunak untuk melaksanakan satu atau sejumlah tugas pemrosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengambil, memanipulasi, atau menampilkan data. Sedangkan menurut Martin (Bungin, 2006 : 30) mendefinisikan teknologi informasi tidak hanya terbatas pada teknologi komputer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi. Berdasarkan definisi tersebut di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi komunikasi berhubungan erat dengan perangkat keras dan lunak yang dapat digunakan untuk memproses dan mengirimkan informasi. Ruang lingkup sama dengan domain, atau bisa juga dikatakan sebagai wilayah kerja. Sebagai sebuah disiplin ilmu, sosiologi komunikasi memiliki ruang l,ingkup/domain. Menurut Bungin (2007:36), domain atau ruang lingkup sosiologi adalah individu, kelompok, masyarakat, dan sistem dunia. Selanjutnya, ruang lingkup ini juga bersentuhan langsung dengan wilayah lainnya seperti komunikasi, efek media massa, budaya kosmopolitan, proses dan interaksi sosial, dan teknologi informasi dan komunikasi. Ruang lingkup dari sosiologi komunikasi seolah-olah, sama dengan ruang lingkup dari sosiologi. Namun, tidaklah demikian. Sosiologi komunikasi tidak mengambil utuh ruang lingkup dari sosiologi. Begitu pula dengan komunikasi. Ruang lingkup sosiologi komunikasi juga tidak mengambil ruang lingkup komunikasi secara keseluruhan. sosiologi komunikasi menjembatani kajian-kajian yang dibicarakan baik dalam bidang ilmu komunikasi maupun sosiologi. Sebagaimana dibahas sebelumnya dalam pengertian sosiologi komunikasi bahwa sosiologi komunikasi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Sosiologi komunikasi merupakan salah satu cabang dari sosiologi yang secara khusus membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan proses komunikasi dalam masyarakat. B. Kompleksitas Sosiologi Komunikasi Studi sosiologi komunikasi bersifat interdisipliner. Artinya, sosiologi tidak saja membatasi diri pada persoalan komunikasi dan seluk beluknya, tetapi juga membuka diri pada kontribusi disiplin ilmu lainnya seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman. Karena bersentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu, maka dapatlah dikatakan bahwa studi sosiologi komunikasi sedikit rumit atau kompleks. Studi sosiologi komunikasi ikut dipengaruhi oleh perkembangan berbagai bidang ilmu di sekitarnya mulai dari perkembangan teknologi, budaya, sosiologi, hukum, ekonomi, dan bahkan negara. Bidang ilmu yang paling mempengaruhi perkembangan sosiologi komunikasi adalah teknologi komunikasi dan informasi. Hal ini terjadi karena perubahan dan kemajuan teknologi komunikasi cenderung membawa dampak yang cukup besar terhadap kemajuan dan perubahan pada bidang-bidang ilmu lainnya seperti budaya, ekonomi, dan seterusnya. C. Obyek Sosiologi Komunikasi Sosiologi komunikasi menempatkan manusia sebagai objek kajian materiilnya. Manusia sebagai objek materiil dari sosiologi komunikasi, berkenaan dengan aktifitas sosial manusia. Kita tahu, manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri. Dalam konteks sosiologi komunikasi, persoalan manusia difokuskan pada interaksi sosialnya dengan manusia lainnya dalam masyarakat. Objek formal dari sosiologi komunikasi adalah proses sosial dan komunikasi dalam masyarakat atau interaksi sosial. teknologi telekomunikasi, media dan informatika. Kemajuan teknologi sangat membawa dampak dan perubahan yang besar dalam hampir seluruh aspek masyarakat. Salah satunya media massa. Pengaruh media massa bagi masyarakat tidak bisa terlepas dari kemajuan dan kecanggihan teknologi komunikasi. Efek media massa ikut membentuk berbagai perubahan dalam masyarakat. Sebut saja, ada perubahan pola dan gaya hidup masyarakat, menciptakan perubahan sosial dan pola komunikasi dalam masyarakat, hingga terciptanya komunitas atau masyarakat maya. Selain itu, pengaruh teknologi komunikasi pun dapat merambah ke dunia ekonomi dan hukum.

Sabtu, 17 Agustus 2013

POKOK PEMIKIRAN MARX, DURKHEIM, DAN WEBER

(Perspektif Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial) Obyektivitas Pemikiran Marx, Weber, dan Durkheim dalam Perspektif Sosiologi Karl Marx (1818-1883) Teori Marx merupakan suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial. Teori ini menekankan pada saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil, dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi pelbagai kebutuhannya. Penekanan Marx pada penyesuaikan diri dengan lingkungan materil serta sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya. Menurut Marx, hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Struktur internal ekonomi itu terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan untuk memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi (Giddens, 1986). Meskipun pendekatan teoritis Marx secara keseluruhan dapat diterapkan pada tahap sejarah apapun, namun perhatian utamanya adalah pada tahap masyarakat kapitalis. Pandangan Marx mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatannya merupakan suatu elemen penting dalam pendekatan masa kini. Penekanan Marx pada bagaimana ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang sosiologi pengetahuan pada masa kini. Untuk itu, ideologi-ideologi dikembangkan dan digunakan untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan pelbagai kelompok dalam masyarakat. Teori aliansi Marx didasarkan pada kenyataan obyektif yang diciptakan oleh manusia, lalu mengkonfrontasikan manusia yang menciptakannya itu sebagai satu kenyataan yang asing dan membatasi serta mengikat tindakan selanjutnya. Pendekatan-pendekatan sosiologi masa kini yang berhubungan dengan sosiologi humanistis atau sosiologi kritis, banyak mengambil dari teori aliensi Marx dalam usaha mereka untuk menciptakan suatu perspektif sosiologis yang berpusat di sekitar kebutuhan dan kemampuan manusia, dan yang dapat digunakan untuk mengkritik struktur sosial yang memperbudak, merendahkan martabat, atau mencegah perkembangan manusia seutuhnya (Johnson, 1986: 154-163). Emile Durkheim (1858-1912) Gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh Durkheim dalam The Rules of Sociological Methods (1895) dan Suicide (1897), merupakan landasan-landasan dari sosiologi Durkheim. Hal ini sangat jelas terlihat dalam asumsi-asumsi metodologis yang diterapkan dalam buku-buku tersebut. Keduanya berada dalam konteks pikiran Durkheim sendiri dan dalam kerangka kerja yang pada umumnya adalah mengenai persoalan-persoalan etika sosial. Analisis Durkheim dalam Suicide didasarkan pada karya penulis-penulis seperti itu, akan tetapi juga sebagai titik tolak dari kesimpulan-kesimpulan umum mengenai tata moral dari bermacam bentuk asyarakat yang berlainan, sebagaimana yang dikemukakan dalam The Division of Labor (1964). Tema pokok dari The Rules adalah bahwa sifat subyek masalah dari sosiologi harus dijelaskan, dan bidang penelitiannya harus ditentukan dengan tegas batas-batasnya. Durkheim berulang kali menekankan di dalam tulisan-tulisannya bahwa sosiologi itu sebagian besar tetap merupakan suatu disiplin filsafat, yang terdiri dari sejumlah generalisasi heterogen yang mencakup segala aspek, serta yang lebih tertumpu pada latar belakang logis dari aturan-aturan a priori dari pada studi empiris yang sistematis. Sosiologi, menurut Durkheim dalam Suicide, masih dalam taraf membangun dan sistesis-sintesis filsafat. Dari pada berusaha untuk menyoroti suatu bagian yang terbatas dari bidang sosial, sosiologi lebih menyukai generalisasi-generalisasi yang briliyan. Disiplin ini menaruh perhatian pada penelitian tentang manusia dalam masyarakat, akan tetapi kategori dari apa yang sosial itu sering digunakan secara tidak mengikat (Giddens, 1986: 107). Usaha untuk mendefinisikan kekhususan dari yang sosial itu, didasari oleh penggunaan kriteria exteriority dan constraint. Ada dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu: (1) tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah memiliki suatu organisasi atau struktur yang pasti serta mempengaruhi kepribadiannya; (2) fakta-fakta sosial merupakan hal yang berada di luar bagi pribadi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk suatu masyarakat. Penekanan dari tesis Durkheim ini adalah bahwa tidak ada satu teori atau analisis pun yang mulai dari individual, tak akan mampu memahami sifat-sifat spesifik dari fenomena sosial. Kriteria lain yang diterapkan Durkheim dalam menjelaskan sifat dari fakta-fakta sosial, merupakan kriteria yang empiris, yaitu hadirnya paksaan moral. Usaha memelihara prinsip memperlakukan fakta-fakta sosial sebagai benda obyektivitas, menuntut kemandirian yang tegas dari pihak peneliti tentang kenyataan sosial. Hal ini tidak berarti bahwa peneliti sosial yang dimaksudkan oleh Durkheim harus mendekati suatu bidang studi tertentu betul-betul dengan suatu pikiran terbuka, akan tetapi agar sebaiknya peneliti bersikap dengan perasaan netral terhadap apa yang akan ia teliti. Max Weber (1864-1920) Tulisan-tulisan metodologis dari Weber, dalam The Protestant Ethic (1958), menjelaskan masalah kebenaran dan interpretasi sejarah baik yang materialistis maupun yang idealistis sebagai pola-pola teoritis yang menyeluruh. Akan tetapi, metodologi Weber harus ditempatkan di dalam kerangka pertentangan yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau sosial. Ruang lingkup tindakan manusia dikatakan sebagai suatu ruang lingkup dimana metode-metode ilmu alam tidak berlaku, sehingga di dalam ruang lingkup itu harus dipakai prosedur-prosedur intuisi, yang tidak eksak dan persis. Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986: 164). Penggunaan ilmu pengetahuan empiris dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada seseorang tentang apa yang dapat dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi selanjutnya, serta membantunya menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang keputusan apa yang harus diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang logika motivasi politik, didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku politik dapat diarahkan dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam suatu etika pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan, atau paling tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan atribut-atributnya yang luar biasa. Inti dari pembahasan Weber tentang sifat obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, yaitu yang menurut Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri—yang tampak dalam Economy and Society—menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam penitikberatan di dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya tentang pemisahan logis dan mutlak antara pertimnbangan-pertimbangan faktual dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya memiliki arti penting. (Giddens, 1986: 168-178). II Persamaan Pandangan Marx, Weber, dan Durkheim tentang Perubahan Sosial Karl Marx Dalam seluruh penilaian kita mengenai perspektif teoritis Marx, penting untuk dicatat bahwa Marx bukanlah seorang akademisi yang obyektif, melainkan sebagai seorang aktivis politik yang sangat terlibat. Karena itulah, secara langsung Marx mengalami konflik dengan struktur kekuasaan politik dan berada dalam situasi ekonomi yang tidak menentu. Pola karir dan gaya hidup yang berhubungan dengan itu, pasti ikut menentukan apa yang Marx lihat sebagai sifat utama yang penting dari kenyataan sosial itu (Johnson, 1986: 163). Perubahan Sosial, menurut Marx, pada dasarnya adalah sebuah struktur (atau lebih tepatnya serangkaian struktur) yang membuat batas pemisah antara seorang individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain, dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu sendiri (Worsley, 2002). Dalam karyanya tentang stratifikasi, sebagaimana perhatian Weber, Marx memusatkan perhatian pada kelas sosial, sebagai salah satu dimensi stratifikasi ekonomi. Meski Weber mengakui pentingnya faktor ini, Marx menegaskan pula bahwa dimensi stratifikasi lain juga penting. Ia menyatakan bahwa gagasan tentang stratifikasi sosial harus diperluas sehingga mencakup stratifikasi berdasarkan status dan kekuasaan, sebagaimana yang dinyatakan pula oleh Durkheim dan Weber. Konsep Perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme yang dipelopori oleh Marx dan Durkheim. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan kesadaran individu sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan budaya yang kemudian merupakan medium perantara antara struktur dan individu. Sebab, pada dasarnya, individu itu baik, tetapi masyarakatlah yang membuatnya menjadi jahat. Meskipun Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme modern adalah produksi masyarakat, akan tetapi Marx mengkhususkan diri dalam kiprahnya, sebab, dinamika sosial adalah faktor penyebab terjadinya konflik total. Di sisi lain, Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi (Johnson, 1986: 163). Emile Durkheim: Kekuatan Durkheim dalam analisisnya terletak pada analisis parameter, yang mengikat perilaku masyarakat dalam fakta sosial. Durkheim menegaskan posisi bahwa fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu dan memaksa individu, seperti yang dicontohkannya dalam kode-kode hukum. Menurutnya, pergeseran kontrol eksternal dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pengalaman kita secara individual. Banyak dari kita cukup lama menerima pelbagai harapan normatif sebagai sesuatu yang benar dan pantas serta menyesuaikan diri dengannya, karena di dalamnya juga terdapat pola-pola kepribadian dasar yang sudah kita kembangkan (bukan sebagai respons terhadap paksaan dari luar). Durkheim merasa bahwa dalam menghadapi masa peralihan ini, perlu dikembangkan satu alternatif lain dari dasar pendidikan moral agama tradisional. Singkatnya, apa yang dibutuhkan adalah suatu ideologi sekuler atau sistem kepercayaan yang memberikan tonggak-tonggak moral dan etika dalam suatu masyarakat sekuler. Perubahan-perubahan dalam tingkat integrasi pada suatu masyarakat secara empiris dinyatakan dalam pelbagai cara. Satu manifestasi utama yang dianalisa Durkheim secara intensif adalah perubahan dalam angka bunuh diri. Perhatian Durkheim terhadap landasan-landasan moral masyarakat merangsang perkembangan perspektif sosiologi klasiknya pada fungsi-fungsi agama, terutama di Timur, yang bersifat sosial. Analisanya mengenai hubungan timbal-balik yang erat antara agama dan masyarakat. Durkheim menunjuk pada bunuh diri yang disebabkan oleh anomi, sebagai bunuh diri anaomik. Misalnya, apabila solidaritas organik menurun an tingkat anomi alam masyarakat naik, maka angka bunuh diri dalam masyarakat kapitalis cenderung naik (Durkheim, 1966). Dalam menguraikan kondisi-kondisi yang mendorong pertumbuhan pembagian kerja dalam masyarakat, analogi antara masyarakat dan dan organisme biologis yang digunakan Durkheim sama seperti ketika ia menguraikan tentang fungsi peningkatan pembagian pekerjaan. Secara khusus pula, Durkheim mendasarkan diri pada konsep moral density. Gambaran tentang hubungan di antara perkembangan pembagian pekerjaan dan pergeseran corak solidaritas sosial merupakan gambaran tentang apa yang disebut Durkheim sebagai natural course dari perkembangan pembagian pekerjaan dan konsep solidaritas sosial yang dihasilkannya. Dalam hal ini, Durkheim menyadari bahwa penyimpangan yang bersifat kasuistik akan selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat modern (Durkheim, 1964: 257-353). Max Weber Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori tentang rasionalisasi (Brubaker, 1984). Secara spesifik, berkembangnya brokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial. Mengenai hubungan Weber dan Marx adalah bahwa ia dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian ketimbang menentangnya. Karyanya tentang agama (Weber, 1951; 1958a; 1958b), apabila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata-mata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, akan tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi struktur sosial. Interpretasi karya Weber pada sisi ini jelas menempatkannya sangat dekat dengan teori Marxian. Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikan teori Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi (Ritzer & Goodman, 2003: 36). Struktur sosial dalam perspektif Weber, didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu. Jadi, misalnya suatu hubungan sosial seluruhnya dan secara eksklusif terjadi karena adanya probabilitas, dimana akan ada suatu arah tindakan sosial dalam suatu pengertian yang dapat dimengerti secara berarti. Suatu keteraturan sosial yang absah didasarkan pada kemungkinan bahwa seperangkat hubungan sosial akan diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Dalam semua hal ini, realitas akhir yang menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar ini adalah tindakan sosial individu dengan arti-arti subyektifnya. Karena orientasi subyektif individu mencakup kesadaran akan tindakan yang mungkin dan reaksi-reaksi yang mungkin dari orang lain. Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas perubahan. Baginya, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Menurutnya, kita dapat bicara tentang suatu kelas apabila: (1) sejumlah orang sama-sama memiliki sumber hidup mereka sejauh; (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan kesempatan memperoleh pendapatan yang terlihat dalam; (3) kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja (Johnson, 1986: 222). III Perbedaan Pandangan Marx, Weber, dan Durkheim tentang Perubahan Sosial Karl Marx Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak menganggap dirinya sebagai sosiolog. Meskipun karyanya terlalu luas untuk dicakup dalam pengertian sosiologi, namun ada satu teori sosiologi yang ditemukan dalam karya Marx yang masih menjadi kekuatan utama dalam penyusunan beberapa teori sosiologi (Gurney, 1981). Gagasan radikal Marx dan perubahan sosial radikal yang ia ramalkan dan yang ia coba kembangkan, menakutkan para pemikir konservatif. Pemikiran sosiologi Marx berseberangan dengan pemikiran sosiologi konservatif karena pemikiran Marx dianggap berbau ideologis (Worsley, 2002). Bagi Marx, perubahan sosial dipacu dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat terjadi dengan sangat cepat. Sebagai akibatnya, “means of production” masyarakat mengalami perubahan yang sangat cepat dan mendasar. Berbeda dengan Weber yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat, dalam pemikiran Marx justru sebaliknya. Menurut Marx, di Benua Asia, cara berproduksi masyarakat yang cukup berbeda karena pemilik dari means of production adalah local government (dalamAsiatic Mode of Production). Pendekatan teoritis Marx ini menekankan pada proses konflik, umumnya dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan teori fungsional. Keberadaan subyektif dari masyarakat, menurut Marx, adalah keanggotaan manusia dalam masyarakat, dimana termasuk di dalamnya aparatus teknologi dan budaya yang menunjang masyarakat dan yang memungkinkan masyarakat hidup, serta bermanfaat untuk membedakan pribadi manusia yang memberikan kemanusiaan kepada individu itu. Materialisme Marx dan penekanannya pada sektor ekonomi menyebabkan pemikirannya sejalan dengan pemikiran kelompok ekonomi politik (seperti Adam Smith dan David Richardo). Perbedaan yang menonjol dari teori Marx adalah mengenai landasan filosofisnya. Teoritisi Marx sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang lebih menganut dialektika ketimbang menurut pada hukum sebab-akibat. Orientasi filsafat Marx sendiri adalah materialisme dialektika yang menekankan pada hubungan dialektika dalam kehidupan materil. Dialektika dari Marx, antara lain, dapat membiasakan kita membayangkan pengaruh timbal-balik secara terus-menerus dari kekuatan sosial. Dengan demikian, yang sangat diperhatikan oleh Marx adalah masalah penindasan sistem kapitalis yang dilahirkan oleh Revolusi Industri. Secara tegas, Marx ingin mengembangkan teori yang dapat menjelaskan penindasan ini, dan yang dapat membantu meruntuhkan sistem sosial itu sendiri. Perhatian Marx tertuju pada revolusi, yang bertolak belakang dengan perhatian sosiolog konservatif yang menginginkan reformasi dan perubahan secara tertib tanpa merubah sistem yang ada (Ritzer & Goodman, 2003: 31). Emile Durkheim Secara politis, Durkheim adalah seorang liberal, tetapi secara intelektual ia tergolong lebih konservatif. Ketika Marx memandang bahwa masalah dunia modern adalah melekat dalam masyarakat, Durkheim justru tak berpendapat demikian. Gagasan Durkheim tentang keteraturan dan reformasi menjadi dominan ketika gagasan Marx tentang perlunya revolusi sosial merosot. Durkheim adalah salah satu perintis utama dalam fungsionalisme, yang menekankan konsensus nilai dan keharmonisan dari pada konflik dalam perubahan sosial. Sebagian besar karyanya tercurah pada studi tentang tertib sosial; kekacauan sosial bukan keniscayaan dari kehidupan modern dan dapat dikurangi melalui reformasi sosial. Perhatian Durkheim tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial non-material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Menurutnya, pembagian kerja dalam masyarakat modern menimbulkan beberapa patologi. Dengan kata lain, pembagian kerja bukanlah metode yang memadai dan dapat membatu menyatukan masyarakat. Kecenderungan sosiologi konservatif Durkheim terlihat ketika ia menganggap revolusi dari Marx tidak diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Menurut Durkheim, berbagai reformasi dapat memperbaiki dan menjaga sistem sosial modern agar tetap berfungsi, dimana kesadaran kolektif masih menonjol, namun ia menganggap bahwa dalam masyarakat modern moralitas bersama dapat diperkuat (Durkheim, 1964). Durkheim berusaha menjelaskan asal-mula keadaan (misalnya, agama) menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk antar individu untuk kepentingan pribadi mereka selanjutnya mengenai: (1) perbedaan-perbedaan dalam tipe solidaritas dalam struktur sosial yang berbeda; (2) ancaman-ancaman terhadap solidaritas dan respon masyarakat; serta (3) munculya penguatan solidaritas melalui ritus-ritus keagamaan (Johnson, 1986: 181). Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan didiskusikan oleh Durkheim, tak satu pun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam satu atau lain bentuk, solidaritas membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan itu, misalnya integrasi sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Max Weber Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang perubahan sosial. Artinya, teori Marxian dilihat oleh Weber sebagai upaya pencarian semua perkembangan historis pada basis ekonomi dan memandang semua struktur kontemporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang menggangu pikiran Weber adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan materil (terutama kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi (Ritzer & Goodman, 2003: 35). Weber mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme terutama sebagai sbuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951; 1958). Berdasarkan karya-karya Weber ini, kesimpulannya adalah bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx. Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama, serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja atau pada kepentingan dari individu yang terlibat. Artinya, uniformitas perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal. Justru sebaliknya, hal ini didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima atau yang diinginkan (Giddens, 1986). Otoritas legal rasional tersebut di atas, diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat pada masa kini, yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Walaupun organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan timbulnya hubungan-hubungan pribadi, namun stidaknya sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi ini mencakup karakteristik-karakteristik yang istimewa, dan dipandang sebagai tipe yang ideal (Johnson, 1986: 226). Secara umum, yang dapat dipahami dari uraian mengenai obyektivitas hasil pemikiran Marx, Durkheim, dan Weber di atas adalah sebagai berikut: KARL MARX (1891; 2002) MAX WEBER (1951; 1958a; 1958b) EMILE DURKHEIM (1947; 1964; 1966) REFERENSI Abdullah, Taufik, 1982. Tesis Weber dan Islam di Indonesia (ed) dalam “Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Brubaker, Rogers, 1984. The Limits of Rationality: An Essay on the Social and Moral Thought of Max Weber. London: George Allen and Unwin. Calhoun, C, 2002. Classical Sociological Theory (ed). Massacusetts: Blackwell Published Ltd. Durkheim, Emile, 1947. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press. _________, 1964. The Division of Labour in Society. New York: Free Press. _________, 1966. Suicide. New York: Free Press. Gerth, H. & C.W. Mills, 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press. Gurney, Patrick J, 1981. “Historical Origins of Ideological Denial: The Case of Marx in American Sociology”. American Sociologist 16: 196-201. Halevy Eva Etzioni (1964). Social Change: Source, Pattern, and Consequences (ed). New York: Basic Books Inc. Publishers. Johnson, Doyle. P, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan Robert M.Z. Lawang dari judul asli “Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives” (John Wiley & Sons Inc.). Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia. Marx, Karl, 1891. Capital, Vol. 2. New York: Vintage Books. Morris, Brian (2003). Antropologi Agama: Kritik Teori-Agama Kontemporer. Yogyakarta: AK Group. Ritzer, G. & Goodman, D.J, 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan dari judul asli “Modern Sociological Theory” (McGraw-Hill). Jakarta: Kencana-Prenada Media. Salim, Agus (2002). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Smith, Huston (2001). Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Turner, Bryan S, 1982. Islam, Kapitalisme, dan Tesis Weber, dalam Taufik Abdullah (ed)Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Weber, Max, 1951. The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Budhism. Glencoe III: Free Press. __________, 1958a. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Sons. __________, 1958b. The Religion of China: Confusianism and Taoism. Glencoe III: Free Press. Worsley, Peter, 2002. Marx and Marxian. London & New York: Routledge. * Tugas Kelompok Program Doktoral (S-3) Departemen Antropologi dalam Mata Kuliah-Wajib Teori Sosiologi Klasik Program Pascasarjana Sosiologi FISIP UI, 23 Desember 2004.

Jumat, 16 Agustus 2013

LAHIRNYA SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Asal mula kajian komunikasi dalam sosiologi bermula dari akar tradisi pemikiran Karl Marx, di mana karl marx sendiri adalah masuk sebagai pendiri sosiologi yang beraliran Jerman sementara Claude Henri Saint-simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim merupakan nama ahli sosiologi yang beraliran Perancis. Sementara itu gagasan awal tentang Marx tidak pernah lepas dari pemikiran-pemikiran Hegel. Hegel memiliki pengaruh yang kuat terhadap Marx, bahkan Karl Marx muda menjadi seorang idealisme (bukan materialisme) justru dari pemikiran-pemikiran radikal Hegel tentang idealisme, adapun kemudain Marx tuan menjadi seorang materalisme, hal itu adalah sebuah pengalaman pribadi manuasia dalam prosesnya dengan konteks sosial yang daialami loh marx sendiri. Menurut Rizter (2004:26), pemikiran Hegel yang paling utama dalam melahirkanpemikiran-pemikiran tradisional konflik dan kritis adalah ajarannya tentang dialektika dan idealisme. Dialektika adalah cara berfikir dan citra tentang dunia. Sebagai cara berpikir, dialektika menekankan arti penting dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Pemahaman dialektika semacam inilah (terutama melihat dunia sebagai bagian yang berhubungan satu dengan lainnya) di kemudian hari melahirkan gagasan tentang komunikasi seperti apa yang ditemukan oleh Jurgen Habermas dengan tindakan komunikatif. Hegel juga dikaitkan dengan filsafat idealisme yang lebih mementingkan pikiran dan produk mental daripada kehidupan material. Dalam bentuknya yang eksterm, idealisme menegaskan bahwa hanya konstruksi pikiran dan psikologilah yang ada, idealism adalah sebuah proses yang kekal dalam kehidupan manusia, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa proses mental tetap ada walaupun kehidupan social dan fisik sudah tidak ada lagi. Pemikiran-pemikiran Habermas sendiri termasuk dalam kelompok kriti. Habermas sendiri menamakan gagasan-gagasan sebagai rekonstruksi materialisme historis. Habermas bertolak dari pemikiran Karl marx, seperti potensi manusia, spesies mahluk, aktivitas yang berperasaan. Ia mengatakan bahwa, Marx telah gagal membedakan antara dua komponen analitik yang berbeda, yaitu kerja dan interaksi. Diantara kerja dan interaksi social , Marx hanya membahas kerja saja dengan mengabaikan interaksi sosial. Di sepanjang tulisannya, Habermas menjelaskan perbedaan ini, meski ia cenderung menggunakan istilah tindakan rasional-purposif dan tindakan komunikatif (interaksi) (Ritzer, 2004:187). Dalam theory of communication Action pun ia menyebut tindakan komunikatif ini sebagai bagian dasar dari ilmu-ilmu sosial dan teori komunikasi (Habermas,1996). Selama tahun 1970-an Habermas memperbanyak studi-studinya mengenai ilmu social dan mulai menata ulang teori kritik sebagai teori komunikasi. Tahap kunci dari perkembangan ini termuat dalam kumpulan esai dalam sekian buku. Habermas sendiri saat ini menjadi guru besar filsafat dan sosiologi yang hidup di Frankfurt(kuper and Kuper,2000: 424). Sumbangan pemikiran John Dewey, yang sering disebut the first philosopher of communication (Riger,1986) itu dikenal hingga kini dengan filsafat pragmatik-ny, suatu keyakinan bahwa sebuah ide itu benar jika ia berfungsi dalam praktik. Pragmatisme menolak dualisme pikiran dan materi, subjek dan objek( Ibrahim, 2005 : xiii). Dengan demikian, sejarah sosiologi komunikasi menempuh dua jalur. Bahwa kajian dan sumbangan pemikiran August comte, Durkheim, Talcott parson dan Robert K. Merton merupakan sumbangan paradigma fungsional bagi lahirnya teori-teori kounikasi yang beraliran structural-fungsional. Sedangkan sumbangan-sumbangan pemikiran Karl Max dan Habermas menyumbangkan paradigm konflik bagi lahirnya teori-teori kritis dalam kajian komunikasi. Sosiologi sejak semula telah menaruh perhatian-perhatian pada masalah yang ada hubungan dengan interaksi social antara seseorang dan orang lainnya. Apa yang di sebutkan oleh Comte dengan “social dynamic’,kesadaran kolektif” oleh Durkheim, dan “interaksi sosial” oleh Marx serta “tindakan komunikatif” dan “teori komunikasi” oleh habermas adalah awal mula lahirnya persfektif sosiologi komunikasi. SKEMA 1 ALIRAN PEMIKIRAN DALAM PARADIGMA SOSIOLOGI KOMUNIKASI Aliran Pemikiran yang melahirkan Paradigma dalam sosiologi komunikasi Stuktural-fungsional Konflik Kritis Auguste comte Karl Marx Emile Durkheim Jurgen Habermas Talcott parson Johhn Dewey Rebert K. Merton Selain apa yang disumbangkan Karl Marx dan Habermas mengenai teori kritis dalam komunikasi, sumbangan dari presfektif stuktural fungsional dalam sosiologi yang diajarkan oleh Talcott parson dengan teori system tindakan maupun dengan skema AGIL (Ritzer, 2004:121), serta kajian Rebert K. Merton tentang struktur fungsional, struktur sosial dan anomie (Sztompka, 2004: 18), merupakan sumbangan-sumbangan yang amat penting terhadap lahirnya teori-teori komunikasi di waktu berikutnya. Saat ini presfektif teoretis mengenai sosiologi komunikasi bertumpu pada fokus kajian sosiologi mengenai interaksi social semua aspek yang bersentuhan dengan fokus kajian tersebut. Narwoko dan Suyanto (2004: 16) mengatakan bahwa, kajian tentang interaksi sosial disyaratkan Adanya fungsi-fungsi komunikasi yang lebih dalam, seperti adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial terjadi tidaklah semata-mata tergantung tindakan tetapi juga tergantung pada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut sedangkan aspek penting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran pada sesuatu atau pada perilaku orang lain. Dalam komunikasi juga persoalan makna menjadi sangat penting ditafsirkan oleh seseorang yang mendapat informasi (pemberitaan) karena makna yang dikirim oleh komunikator dan penerima informasi menjadi sangat subjektif dan di tentukan oleh konteks sosial ketika informasi itu disebar dan diterima

KEMBALI MENEROPONG THEORY AUGUST COMTE

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORY AGUSTE COMTE Kelebihan 1. Metode positif Auguste comte menempatkan akal pada tempat yang sangat tinggi. 2. Teori Auguste Comte secara umum bisa menggambarkan 3 tahap pengetahuan masyarakat (teologis, metafisika, positif), • Teologis manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut • metafisika dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam • positif Manusia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu, tetapi berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya 3. Aguste comte mengutarakan teorinya berdasarkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah yang berpedoman pada kejadian revolusi prancis, bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman–pedoman berpikir yang bersifat scientific. Kekurangannya 1. Yaitu 3 tahap itu sebetulnya terus berlangsung, tidak tejadi tahap demi tahap. 2. Latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkembang di Perancis pada abad ke-18, jadi dapat dikatakan bahwa teori Aguste Comte muncul pada ruang lingkup yang terbatas dan bukan berdasarkan fenomena-fenomena masyarakat dunia secara keseluruhan. 3. Filsafat positivisme Aguste Comte masih belum sempurna, Pada kenyataannya sekarang, ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah tidak mampu menjawab pertanyaan mengenai sesuatu yang abstrak. Beberapa kelemahan dari paham sistem paham positivisme terutama di bidang penelitian adalah sebagai berikut: 1. Paham positivesme dalam usaha memecahkan suatu masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep, teiori, dan hukum yang sudah mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang diteliti dan kurang memikirkan kepentingan praktis. 2. Penelitian lebih bersifat verifikasi terhadap teori-teori yangsudah ada sehingga manfaat terapan untuk perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat di rasakan sangat terbatas. Menurut Singaribun (1989) (dalam cinta sejarah Islam; teori sosiologi, April 2012) teori baru tidak akan muncul dan berkembang karena bertitik tolak dari penalaran deduktif. Penalaran deduktif baru di gunakan untuk menguji hipotesis kerja dengan data emperis. 3. Kaum positivis mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tanpa memperhatikan keadaan individu seecara utuh. 4. Metode positivisme biasanya menggunakan pendekatan cross sectional studies adalah penelitian yang dilakanakn pada waktu tertentu. Contoh penelitian cross sectional adalah pelaksanaan sensus penduduk. 5. Responden di bagi dalm kategori-kategori tertentu atau kelas-kelas tertentu berdassarkan pada klasifikasi yang sudah di tentukan sebelumnya. Keutuhan responden sebagi individu di abaikan. Jadi pengelompokan responden tanpa melihat latar belakang mereka. 6. Dalam pengumpulan data dan informasi sering melibatkan banyak peneliti. 7. Analisis di laksanakan setelah data di kumpulkan data akhir penelitian umumnya mrnggunkan analsisis kwantitatif. Analisis kwnyitatif terus berkembang sejalan dengan berkembangnya progrram-program komputer. Walaupun terdapat kelemahan-kelemahan dari metode positivisme namun penggunakannya di dalam masysarakat sangat luas terutama untuk penelitian sosial. Metode positivisme di masyarakat di kenal dengan metode survei. (Why Hay You)

Kamis, 15 Agustus 2013

SEKILAS TENTANG EKSISTENSI KAUM PEREMPUAN

Menurut Teori Feminisme Teori feminis merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang mengeksploitasi makna konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan terlepas dari sex biologis dipahami dalam kualitas jender termasuk bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan, serta sosialisasi. Teori feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Kekuasaan itu adalah penggolongan kelas atau status berdasarkan jenis kelamin (genderisasi). Teori feminis menekankan sifat opresif dan relasi gender. Sifat opresif adalah sifat yang keras dan menekan. Feminisme sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan dan menawarkan ideologi alternatif yakni: sosialis. Penindasan terhadap perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai bagian dari produk sosial, politik, dan ekonomi yang berhubungan dengan keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat. Pada awalnya, Friedrich Engels yang menjelaskan dalam buku klasik The Origin of The Family, Private property and The States (1884). Keterpurukan perempuan bukan karena perkembangan teknologi, bukan karena perempuan lemah secara mental dan tenaga (sehingga harus dilindungi oleh lelaki), bukan karena sebab-sebab lain, tetapi karena munculnya kelas-kelas sosial. Pada prakteknya, perjuangan pembebasan perempuan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan sosialisme, karena secara sistematis kapitalisme dengan alat-alat ideologinya dan alat-alat kerasnya, melakukan penindasan terhadap semua sektor masyarakat. Kapitalisme secara frontal memerlukan penindasan terhadap pekerja (sehingga seorang buruh perempuan, harus mengalami dua lapis penindasan: baik sebagai buruh maupun sebagai perempuan), memerlukan perusakan lingkungan hidup, memerlukan rasisme, memerlukan seni dan hiburan yang membodohkan masyarakat dan memerlukan praktek neoliberalisme dan imperialisme sebagai jalan keluar dari krisis yang terus melilitnya. Inilah contoh-contoh yang menjelaskan mengapa perjuangan perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor masyarakat lain, utamanya dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh dari masyarakat yang tertindas.” Gender merupakan konstruksi realita sosial yang didominasi oleh bias laki-laki dan cenderung menekan atau menindas (opresif) terhadap perempuan. Bias laki-laki yang dimaksud adalah penekanan budaya patriarki dalam ruang lingkup masyarakat secara umum. Remaja metropolitan hanyalah bagian dari gejala perkembangan peradaban.

Rabu, 14 Agustus 2013

Herbert Spencer

Herbert Spencer tentang Teori Evolusi Soekanto (1990:484-485) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Menurut Soekanto (1990:345-347), teori tentang evolusi dapat dikategorikan dalam tiga kategori. 1. Unilinear theories of evolution. Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan melalui tahapan tertentu, mulai dari bentuk sederhana menuju ke yang lebih kompleks (madya dan modern) dan akhirnya menjadi sempurna (industrial, sekuler). Pelopor teori ini antara lain adalah August Comte dan Herbert Spencer. Variasi teori ini adalah Cyclical theories yang dipelopori oleh Vilfredo Pareto dengan mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan mempunyai tahap-tahap perkembangan yang merupakan lingkaran yang pada tahap tertentu dapat dilalui berulang-ulang. Pendukung teori ini adalah Pitirim A. Sorokin yang mengemukakan teori dinamika sosial dan kebudayaan. Menurut Sorokin, masyarakat berkembang melalui tahap kepercayaan, tahap kedua dasarnya adalah indera manusia, dan tahap terakhir dasarnya adalah kebenaran. 2. Universal theory of evolution. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap perkembangan tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Spencer mengemukakan prinsip-prinsipnya yaitu antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan sifat maupun susunannya dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen. 3. Multilined theories of evolution. Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang pengaruh sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian kekeluargaan dalam masyarakat. Sementara itu, perspektif evolusioner adalah sudut pandang teoretis paling awal dalam sosiologi. Hal tersebut berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903). Keduanya menaruh perhatian pada perkembangan masyarakat secara evolusioner dari keseluruhan atau kesatuan yang utuh. Horton dan Hunt (1989:16-17) menjelaskan, perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekali pun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi. Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang dominan terhadap pribadi. Sebaliknya, Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan. Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial. Lebih jauh Spencer mengungkapkan bahwa perubahan alamiah dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat. Kumpulan pribadi dalam masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi. Bagi Spencer, masyarakat merupakan material yang tunduk pada hukum universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat, terutama dalam organisasinya. Masyarakat tersusun atas dasar hakikat manusia dan bentuknya sangat dipengaruhi oleh alam yang sulit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh manusia sangat sulit ditentukan akibatnya (Haryanto, tt:24). Diakui atau tidak, Spencer terpikat Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), sembilan tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Spencer memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen. Horton dan Hunt (1989:59-61) menilai adanya suatu optimisme di masyarakat. Kemajuan masyarakat yang terus meningkat pesat pasti akan mengakhiri kesengsaraan dan meningkatkan kebahagiaan manusia. Menurut Haryanto (tt:25), semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam(endogen) yang sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, perubahan dalam arti dari yang paling sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Masyarakat sederhana tidak terpadu yang tidak pasti (indefinite, incoherent homogenity), memiliki karakteristik, tidak ada pembagian tugas atau peran yang rinci dan lebih banyak bersifat informal. Sedang masyarakat yang lebih kompleks (definite, coherent heterogenity) memiliki karakteristik terspesialisasi dan formal. Evolusi terjadi pada tingkat organis dan pada tingkat anorganis. Pada tingkat organis, perubahan terjadi dari sel homogen sederhana menuju organisme terpadu yang lebih tinggi dan kompleks. Evolusi anorganis prosesnya adalah proses yang bermula dari bulatan gas yang tidak menentu, tidak terpadu dan homogen, kemudian menggumpal menjadi bintang, planet, matahari, bulan yang berbeda yang kemudian diintegrasikan menjadi satu keseluruhan dalam gerakan yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Selain evolusi organis dan anorganis, ada evolusi yang disebut evolusi superorganis. Evolusi superorganis ini hanya terjadi pada masyarakat. Evolusi superorganis di kemudian hari lebih dikenal sebagai evolusi sosial dan evolusi produksi yang sekarang kita kenal sebagai evolusi kebudayaan. Seperti halnya sel pada organisme yang mempunyai cara dan sifat masing-masing, Spencer menilai watak dan sifat manusia itulah yang membawa perbaikan bagi masyarakat. Watak yang baik mudah menjadi teladan mengalami kemajuan karena rintangan yang muncul dapat terkikis dengan sendirinya pada saat terjadi proses menyelaraskan diri dengan masyarakat dan kemajuan. Hal ini juga berarti perjuangan hidup (struggle for life) dapat diatasi sehingga terbentuk masyarakat terbaik. Perjuangan hidup dan survival of the fittest adalah suatu wujud tenaga evolusi dalam masyarakat. Hal ini membuat manusia dalam masyarakatnya selaras dengan kehidupan politik, industri, dan sebagainya di sekitarnya. Di sini Spencer melihat kehidupan dalam masyarakat selalu mendorong anggotanya bersikap menyesuaikan diri dengan panggilan hidup yang lebih maju. Peraturan negara harus menjaga agar supaya rakyat dan masyarakat dapat hidup merdeka dan memperjuangkan hidupnya. Spencer tidak setuju dengan peraturan yang melindungi pihak yang lemah, yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan masyarakat. Spencer berpendapat bahwa pihak yang lemah hendaknya binasa saja atau harus berusaha belajar keterampilan dan keuletan sehingga nantinya yang akan tinggal hanya mereka yang terkuat (the fittest). Spencer berpendapat bahwa orang-orang cakap dan bergairah (enerjik) yang akan mampu memenangkan perjuangan hidup dan berhasil, sedang orang yang malas dan lemah akan tersisih dengan sendirinya dan kurang berhasil dalam hidup. Kelangsungan hidup keturunan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan tenaga hidupnya. Kekuatan hidupnyalah yang mampu mengatasi kesukaran ujian hidup, termasuk kemampuannya menyesuaikan diri (berevolusi) dengan lingkungan fisik dan sosial yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Spencer berpendapat, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti ada organisme yang mempunyai fungsi yang lebih matang di antara bagian-bagian lain dari organisme sehingga dapat berintegrasi dengan lebih sempurna. Secara evolusioner, tahap organisme tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian organisme mempunyai kriteria yang dapat diterapkan pada setiap masyarakat yaitu kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Evolusi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya adalah pertambahan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan heterogen (Soekanto, 1990: 39-41). Dalam bukunya Principles of Sociology, Spencer berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terjadi diferensiasi dengan mantap, akan ada stabilitas yang menuju pada keadaan hidup yang damai. Seperti juga Comte, Spencer berpendapat bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menyesuaikan diri dengan panggilan hidup dalam masyarakat sekitarnya yang selalu berevolusi menuju perbaikan dan kemajuan. Pusat perhatian Spencer juga tertuju pada gerak yang dipandang sebagai suatu tenaga yang menggerakkan proses pemisahan (diferensiasi, membedabedakan) dan proses mengikat (integrasi, persatuan). Tenaga ini membawa kesamaan dan perpecahan dan ketidakpastian dalam evolusi sehingga membentuk kelompok, golongan, ras, suku bangsa, bangsa, dan negara. Evolusi terus berlanjut, ada yang menuju kesempurnaan, tetapi ada juga yang sebaliknya. Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Seperti telah disinggung di atas, pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi pesatnya kemajuan ilmu biologi. Beberapa di antaranya adalah: 1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension), Lamarck (1909) yang menyatakan bahwa sifat manusia yang diturunkan kepada anak cucunya sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal dan sifat bangsa itu. Teori evolusi ini berdasarkan pendapat bahwa hewan yang bertulang punggung bisa menyempurnakan bentuk badannya berdasarkan kebutuhannya kepada keturunannya. 2. Teori seleksi dari Darwin (1859) mengatakan bahwa alam akan membuang segala sesuatu yang tidak terpakai dan memperkuat segala sesuatu yang berguna, seperti yang terjadi pada binatang, yang kuat akan mampu bertahan hidup dan yang lemah akan binasa. 3. Teori tentang penemuan sel. Tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri dari organisme kecil-kecil yang disebut sel. Sel ini mempunyai sifat dan bentuk yang sama, tetapi mampu mempengaruhi sifat binatang atau tumbuhan berdasarkan ciri yang terkuat pada sel tersebut. Teori-teori Spencer sangat dipengaruhi oleh pelajaran tentang sifat keturunan Lamarck yang menyamakan masyarakat dengan suatu organisme, dengan sel-selnya, dan selanjutnya ia membandingkannya seperti itu. Pendapat tentang biologi mempengaruhi dunia filsafat, psikologi dan lain sebagainya sehingga terjalin pertalian yang erat antara ilmu pengetahuan itu dengan sosiologi. Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detail pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada tiga kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme, yaitu: 1) Pertumbuhan dalam ukurannya; 2) Meningkatnya kompleksitas struktur; 3) Diferensiasi fungsi. Spencer berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik. Karena itu, kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang mungkin akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Ia juga menerima sudut pandang Darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittest”, juga terjadi dalam kehidupan sosial (istilah survival of the fittest justru diciptakan oleh Spencer beberapa tahun sebelum karya Darwin mengenai seleksi alam muncul). Jika tidak diganggu intervensi dari luar, individu yang layak akan bertahan hidup dan berkembang, sedangkan individu yang tak layak akhirnya punah. Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte menekankan pada unsur yang lebih besar seperti keluarga. Ritzer dan Goodman (2007) merangkum teori evolusi Spencer ke dalam dua perspektif. Pertama, teorinya berkaitan dengan peningkatan ukuran (size) masyarakat. Peningkatan ini menyebabkan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Kedua, masyarakat berubah melalui penggabungan. Makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dia berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat. Di bagian lain, Spencer menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Pada mulanya, masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Sejalan dengan tumbuhnya masyarakat industri, fungsi perang sebagai perubahan berakhir. Masyarakat industri didasarkan pada persahabatan, tidak egois, dan penghargaan terhadap prestasi. Dalam tulisannya mengenai etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Di satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral yang ideal atau sempurna. DI sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup (survive), sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan. Jadi, Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru belakangan ini hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neoevolusi.(*)

Selasa, 13 Agustus 2013

Perkembangan Teori Stuktural Fungsionalis

Perkembangan Teori Struktural Fungsional Fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris. Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor. Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah. Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain: • Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar. • Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan. • Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari. Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard. Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh. The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik. Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional. Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial. Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut. Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme. Sumber: • Barnard, A. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge: CUP. • Barnard, A., and Good, A. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press. • Barnes, J. 1971. Three Styles in the Study of Kinship. London: Butler & Tanner. • Holy, L. 1996. Anthropological Perspectives on Kinship. London: Pluto Press. • Kuper, A. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion.London: Routledge. • Kuper, A. 1996. Anthropology and Anthropologists. London: Routledge. ( Why Hay You )