Kamis, 02 Oktober 2014

MENUJU MASYARAKAT KOMUNIKATIF ( HABERMAS )

Pertama, Habermas sebagai pembaharu Mazhab Frankfurt yang dengan teori kritisnya ingin menciptakan sebuah teori yang emansipatoris dapat mengatasi kebuntuan antara rasionalitas dan irrasionalitas yang terjadi pada para pendahulunya dengan teori tindakan komunikatif. Dengan teori ini juga Habermas merasa bahwa semangat pencerahan dan modernitas tidaklah perlu untuk dijelaskan tetapi cukup untuk diperbaiki cacat-cacatnya.
Kedua, Filsafat komunikasi Habermas menekankan perlunya kesaling pemahaman antara manusia untuk mencapai konsenus. Dan itu hanya bisa terjadi dengan tindakan komunikatif. Tindakan strategis dan instrumental yang membuat seseorang memaksakan sesuatu pada seseorang – yang juga sebagai ciri-ciri filsafat monologal yang dikritik sebagai cacat pencerahan – tidak dapat membuat hal itu terjadi. Kalaupun konsensus itu terjadi maka yang terjadi adalah consensus yang tidak legitim. Yang juga berarti konsensus itu justru mengekang manusia bukannya membebaskan.
, Filsafat komunikasi Habermas ini memperlihatkan pada kita cita-cita besar Habermas. Bahwa dia sebenarnya masih melanjutkan perjuangan kelas khas Marxian tetapi dengan cara yang berbeda. Yaitu dengan cara dialog rasional untuk mencapai konsesus. Untuk mendukung pernyataannya itu, Habermas dengan tegas menolak berbagai sanggahan yang menolak dua prinsip etika diskursusnya. Saya yakin filsafat komunikasi Habermas lebih kaya dari ini. Namun dengan ini saja saya dapat melihat bahwa Habermas mempunyai cita-cita yang tinggi untuk membebaskan manusia dari tempurung irrasionalitas. Habermas telah berhasil memabangun sebuah teori yang prosedural dengan bukan mengatakan apakah yang ideal tetapi bagaimana caranya menjadi ideal. Dan itu adalah dengan komunikasi. Bukan hanya komunikasi tetapi komunikasi yang saling memahami (hermeneutis). Yang mempunyai empat syarat mutlak, benar, jujur, tepat, dan ikhlas.

TINJAUAN PUSTAKA -
Hardiman, F.B. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
Nugroho, Hastanty Widy. 2011. Pengantar Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM

Minggu, 21 September 2014

TEORI KOMUNIKASI FEMINISME ( DIFERENSIASI RUANG ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI TINJAU DARI PERSPEKTIF KOMUNIKASI/BAHASA)

Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki. 2. Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks. 3. Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari kelompok. 4. Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa? 5. Pemilihan penulis dan penerbit media. Dalam kaitan dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970 menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa ”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan dan kegiatan perempuan”. Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki. Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut : 1. Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja. 2. Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan. 3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki. Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian : 1. Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai. 2. Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi dirinya dari sistem perempuan. 3. Hipotesis ke-3 ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat, kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif. 4. Perempuan cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki. 5. Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional. 6. Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa. 7. Perempuan memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karenaperempuan memiliki metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

Sabtu, 26 Juli 2014

PARADIGMA POSITIVISME, KONSTRUKTIVISME DAN KRITIS DALAM KOMUNIKASI

Paradigma Positivisme Paradigma positivisme menurut beberapa pendapat yaitu komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif (Ardianto, 2009). Jadi, paradigma Positivisme ini memandang proses komunikasi ditentukan oleh pengirim (source-oriented). Berhasil atau tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim dalam mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan. Teori yang termasuk dalam paradigma positivisme diantaranya yaitu Teori Agenda Setting dan Teori Kulitivasi (Cultivation Theory). 1. Teori Agenda Setting Teori Agenda Setting dicetuskan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Teori ini muncul pada awalnya dari penelitian tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara isi media dengan persepsi pemilih. Mc Combs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Teori agenda setting menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari tu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Salah satu contoh dari Teori Agenda Setting yaitu sinetron yang tanyang di televisi-televisi, ia telah mampu menggiring para kaula muda untuk mengikuti gaya pada pemeran/artis di sinetron tersebut. Dari mulai gaya berpakaian, hingga bahasa yang digunakan. 2. Teori Kultivasi Teori kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori ini merupakan salah satu teori komunikasi massa yang dikembangkan oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania. Teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar berjudul 'Indikator Budaya'. Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. Gerbner dan Stephen Mirirai mengemukakan bahwa televisi sebagai media komunikasi massa telah dibentuk sebagai simbolisasi lingkungan umum atas beragam masyarakat yang diikat menjadi satu, bersosialisasi dan berperilaku. Jadi, teori kultifasi lebih kepada media televisi yang dapat mempengaruhi persepsi khalayak terhadap realita yang sebenarnya. Sehingga, kehidupan nyata akan terkalahkan dengan pengetahuan yang disampaikan oleh media televise, meskipun pengetahuan itu tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya. Salah satu contohnya yaitu pemirsa/penonton televisi yang memberikan penilaian kepada seorang penjahat itu adalah yang badannya besar dan kekar dan bertato, padahal seorang penjahat tidak semuanya seperti itu, bahkan dalam kenyataan ada yang berbanding terbalik. Paradigma Konstruktivisme Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. Adabeberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) dan Teori Interaksionisme Simbolik. 1. Teori Kegunaan dan Kepuasan Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) pada awalnya muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Misalnya, seseorang merupakan sekelompok konsumen aktif yang secara sadar menggunakan media dengan memilih media yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya dalah hal informasi atau yang lainnya, baik personal maupun sosial yang diubah menjadi motif-motif tertentu. 2. Teori Interaksionisme Simbolik Teori Interaksionisme Simbolik dikenalkan oleh George Harbert Mead (1863-1931). Teori interaksionisme simbolik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran symbol atau komunikasi yang sarat makna. Teori interaksionisme simbolik beranggapan bahwa khalayak adalah produk sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, karena interaksionisme simbolik melihat makna sebagai bagian fundamental dalam interaksi masyarakat. Dalam penelitian mengenai interaksi dalam masyarakat tersebut, teori interaksionisme simbolik cenderung menggunakan metode kualitatif dibanding metode kuantitatif. Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atau misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”, serta ‘KAMU dan AKU’ juga yang lainnya. Paradigma Kritis Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme. Beberapa teori yang dinaungi oleh Paradigma Kritis diantaranya yakni Teori Feminis dan Teori Analisis Wacana. 1. Teori Feminis Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Feminisme liberal lebih kepada paham paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Sedangkan feminisme radikal, lebih kepada melihat persoalan tidak sebatas pada hak yang bersifat publik. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan. Misalnya, Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja. 2. Analisis Wacana Teori analisis wacana termasuk dalam proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol, berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain. Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Dengan kata lain, teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral” sewaktu mengkonstruksi realitas sosial.

Minggu, 13 Juli 2014

EUROSENTRISME DAN MENGGUGAT HEGEMONI BARAT

Berawal dari sebuah sejarah sebelum Abad-16 Bangsa Barat & Eropa mengalami Krisis berkepanjangan sehingga mereka berfikir bahwa salah satu solusi untuk keluar dari masa krisis ini dengan Bangkit dan membentuk sistem kekuasaan politik kolonial dan imperial terhadap Bangsa Bangsa lain, Sehingga penjajahan mereka berawal di Konstantinopel membuat Barat diperkaya dengan rempah rempah dan berlangsung cukup lama. Pada tahun 1453 Konstantinopel jatuh di tangan Turki Usmani dan mengakibatkan tertutupnya pasokan rempah rempah sehingga mengakibatkan Bangsa Barat/Eropa Memperluas daerah kekuasaannya di berbagai Samudra salah satunya adalah Bangsa Indonesia. Kolonialisme dan Imperialisme sebenarnya memiliki pengertian yang sama dan sampai sekarang belum mendapatkan Definisi yg lengkap dan kongkrit , akan tetapi tujuan utama Bangsa Barat/Eropa yaitu Gold, Glory dan Gospel. Sehingga membentuk sistem kekuasaan politik dengan cara mendominasi, mengeksploitasi, mendeskriminasi hingga menjadikan negara yg dijajah bergantung kepadanya. Awalnya penjajahan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan Ekonomi rempah rempah Barat/Eropa dalam bentuk kolonialisasi sistem tanam paksa, tetapi dengan kerakusannya mereka semakin memperluas wilayah kekuasaan mereka sehingga membentuk imperium imperium yg semakin luas hingga menyentuh pada aspek Budaya, Ideologi, Ilmu Pengatahuan bahkan Agama hingga pada Abad 19. Jika kita kembali pada sejarah peraktek peraktek kekuasaan yang berdasarkan atas kepentingan sudah terjadi pada zaman purbakala ketika pecahnya perang antara Grik tua dengan dinasti Achaemenids ( 600-300 SM) dari imperium Parsi, sejak masa pemerintahannya Cyrus The Great ( 550-530 SM) sampai pada raja raja turunannya. Juga pada Zaman Pertengahan bermula pada abad ke-4 masehi dan berlangsung selama seribu tahun sampai dengan zaman kebangkitan ( Renaissance) di Eropa pada abad ke-14 masehi. Terjadi saling menguasai antara imperium Roma dengan dinasti Sasanids (206-651M), Hingga sampai pada masa tumbangnya kekuasaan islam di Adalusia tahun 1492 M di antaranya pada masa Khalifah Umar Bin Khattab di Parsi (634-644 M) dan Khalifah Walid Bin Abdul Malik di Suraih dan Bani Umayyah ( 705-715 M). Dua Zaman tersebut adalah akar sejarah pertumbuhan dan merupakan minat pihak Barat untuk mempelajari situasi dan kondisi di Timur. Sehingga pada pencapaian kajian terhadap Timur di sebut dengan istilah “Orientalisme” dan sebaliknya pengkajian terhadap Barat disebut dengan” Oksidentalisme”. Terdapat beberapa faktor pendorong atas kajian ini antaranya adalah : Kajian Orientalisme - Berawal dari Perang Salib - Sentuhan Barat Dengan Perguruan Tinggi Islam salah satunya Universitas Tertua yang ada di Mesir dan Universitas Cordova Andalusia. - Penyalinan Naskah-Naskah Arab ke dalam bahasa Latin Mengenai Bidang Ilmiah dan Filsafat. Kajian Oksidentalisme - Awal terjadinya keguncangan peradaban Barat dengan sains Barat membuat ego kehilangan keseimbangan. - Awal kebangkitan dari keguncangan imperialisme yang ditandai dengan munculnya seruan untuk menggunakan cara yang ditempuh penjajah dalam menguasai kita (Timur;Islam). - Gerakan reformasi dan keinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani, tasawuf dan tradisi lama penguasa, serta munculnya seruan untuk mengambil Barat sebagai contoh kebangkitan modern. - Dibangunnya negara modern setelah terlepas dari negara elit, dan dibutuhkannya teoritisi, teknokrat, sarjana dan birokrat untuk mengisi pos-pos pemerintahan. - Awal pengiriman delegasi keilmuan dan warga kita (Timur) ke Barat untuk belajar disana. - Kunjungan timbal balik antara Timur dan Barat, dan dikenalnya the other oleh ego yang kemudian dianggap sebagai cermin bagi ego. Kebanggaan kepada Barat pun merebak di kalangan kita (Timur), sehingga muncul anggapan bahwa Barat adalah satu-satunya tipe modernisasi. - Awal penulisan tema-tema tentang wacana barat dalam bidang pemikiran, politik, sosial, etika, hukum dan lainnya yang mengakibatkan tersebarnya madzhab Barat di atas realitas kita dan kemudian menjadi fokus kebudayaan pemikat bagi umat manusia. Dominasi Barat / Eropa membentuk hegemoni dari berbagai bentuk kekasaan ,seperti yang di katakan Said dalam wacana Orientalisnya dengan meminjam teori Michel Foucault dan Antoniou Gramchi sebagai pisau bedah, membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme : Pertama kekuasaan Politis, sebetulnya pada wacana orientalisme sama sekali tidak berhubungan langsung dengan kekuatan kekuatan politis secara kongkrit, namun lebih berhubungan dengan suatu pertukaran timbak balik yang tidak seimbang antara berbagai jenis kekuatan. Pada kekuasaan Politik ( Pembentukan Pemerintahan Imperial dan Kolonial) sehingga dapat di jelaskan bahwa pola kekuasaan politis yang menjadi wacana orientalisme yaitu penekanan dan penciptaan superioritas dan inferioritas. Orientalisme selalu menempatkan Timur sebagai pihak inferior, dan pada saat yang sama ia menciptakan Barat yang superior. Inilah yang merupakan proyek oposisi-biner Barat dan memiliki bentuk kesamamaan dengan Analogi Spivak dalam Poskolonial tentang penindasan kelompok minoritas atas kelompok mayoritas, Penindasan Kelas Borjuis atas kelas Proletariat atau Penindasan Laki-Laki atas Perempuan, Fannon juga mengungkapkan bahwa terdapat bentuk Identitas yang lebih tinggi Barat yang berkulit putih dan Identitas rendah adalah Orang Timur “ Poskolonial”. . Kedua kekuasaan Intelektual ( Seperti sains sains dominan, ilmu pengatahuan atau anatomi komparatif ), cukup jelas bahwasanya kekuasaan intelektual yang Dominan adalah Barat/Eropa, faktanya bahwa bentuk kebergantungan Timur terhadap Barat begitu besar dalam berbagai aspek khususnya pada Ilmu pengatahuan, Linguistik, dan Akademis, dalam buku yang di gagas oleh Syed Farid Alatas bahwa dalam teori captive Mind yang lahir dalam konteks kebergantungan. Kebergantungan ini menyoroti relasi antara akademisi di pusat ( Barat ) dan akademisi di pinggiran (Timur), ketika yang disebut pertama mendominasi yang disebut kedua dalam bentuk imperialisme intelektual. Akademisi pinggiran menggantungkan penelitian dan dana pengembangan pada rekan mereka di pusat bahkan jurnal ilmiah dikontrol terutama oleh institusi akademisi di pusat, hal ini di sebut oleh Samir Amin adalah Eurosentrisme . Ketiga kekuasaan Kultural ( seperti ortodiksi- ortodoksi dan undang undang ras, bahasa dan nilai nilai), pada kekuasaan kultural bentuk Dominasi Barat mencakup pada selera, teks, dan kategori estetika kolonial yang di mimiasi/mimikri (dalam konsep Bhaba) oleh bangsa Timur, hal ini bisa di temukan di India, Mesir dan negara negara bekas koloni. Pada Kekuasaan selera di Indonesia terdapat Mcdonald dan Bakery Holland yang begitu di minati Masyarakat Indonesia “ Westernteste” begitu pula Style seperti gaya berbusana, warnah kulit, bentuk Hidung bahkan oprasi plastik , tidak lain hanyalah untuk mempercantik diri Mirip Orang Orang Barat “ Westernisasi” dan kesemuanya adalah budaya Barat yang diadopsi oleh bangsa Timur khususnya Indonesia ( Indikasi Eurosentrisme ). Keempat Moral kekuasaan ( Seperti gagasan-gagasan tentang apa yang” kita ” lakukan dan apa yang tidak dapat “ mereka ” lakuakan atau pahami seperti yang “ kita ” lakukan atau “ kita ” pahami ), secara Subtansial Kekuatan moral menurut Said adalah tentang apa yang baik dan tidak baik dilakukan Timur. Said mengungkapkan bagaimana orang-orang Arab mengalami pendiskreditan dan pemaksaan identitas yang signifikan. Sebagaima negara yang terbelakang, Arab dikonstruksikan dan direpresentasikan sebagai bangsa yang berbahaya, rendah, statis, dan berbagai predikat buruk lainnya. Pendapat ini juga mungkin ditujukkan untuk menjustifikasi praktik “kontrol” sewenang-wenang negara Barat terhadap negara Arab atau Timur Tengah. Selanjutnya, Barat juga mempunyai peran besar dalam menciptakan representasi dan prototip wanita Timur dengan segala eksotisme, sensualitas, dan kebisuannya. Flaubert dalam Kuchuk Hanem, Harem, dan konsepsi hina wanita Timur dalam teks-teks lainnya merupakan contoh dari hal ini. Solusi dan Kongklusi : Dikotomi negara maju dan negara berkembang merupakan wacana yang hidup dalam orientalisme, negara maju adalah negara-negara Barat, terutama Eropa. Dan negara berkembang, dengan tingkat Human Development Index yang rendah adalah Asia dan Afrika. Bentuk dikotomi ini menegaskan superioritas Barat dan inferioritas Timur. Secara Politis, intelektual, kultural, moral, dan ekonomi, predikat negara berkembang ini merupakan suatu hegemoni Barat. Karena dengan dikotomi itu, negara Barat terkesan legitimate untuk memberikan perlakuan khusus kepada negara-negara berkembang, dengan rezim World Bank atau WTO. Sah-sah saja memang menggolongkan negara sesuai dengan kemampuan ekonominya, tetapi yang perlu dicermati di sini adalah, setelah mempelajari postkolonialisme dan orientalisme khususnya, saya menjadi sadar bahwa konstruksi dan konsepsi internasional seperti istilah negara berkembang merupakan bentuk-bentuk tak terlihat dari kolonialisme jenis baru. Dan kita sebagai orang Timur hendaknya berhenti membentuk diri kita sendiri sesuai konsepsi Barat: Timur yang inferior, fundamentalis, miskin, intelektualitas rendah, dan predikat lainnya merupakan ilusi yang tidak harus kita terima tetapi yang harus kita lawan adalah sebuah Solusi menurut saya. WASSALAM”