Rabu, 25 September 2013

Elaborasi Prinsip Falsifikasi Karl Raimund Popper dalam System kepemimpin dan Sosial-Politik di Indonesia

A. Sumbangan Filsafat falsifikasi Membentuk Pemimpin Demokratis di Indonesia a)Prinsip Kepemimpinan Menurut Karl Raimund Popper Mengingat konsep Plato tentang kepemimpinan, menurutnya yang layak jadi pemimpin dalam sebuah negara adalah seorang filsuf-Raja karena Filsuf-Raja adalah orang yang memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak dapat diragukan lagi karena ai telah dipersiapkan secara khusus selama bertahun tahun dengan pengatahuan filsafat, bijaksana, moral dan spiritual yang memadai. Tanggapan Popper tentang konsep tersebut bahwa, konsep kepemimpinan Plato terlalu idealistik. Dan kepemimpinan seperti itu, Filsuf-Raja, tidak dapat diaplikasikan dalam dunia konkret. Pemimpin sempurna, Filsuf-Raja, ala Plato tidak mungkin nampak dalam dunia manusia. Pemimpin Filsuf-Raja adalah pemimpin yang sempurna, dan karena kesempurnaan itu ia luput dari kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan sebagai seorang pemimpin. Singkatnya bahwa pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang tidak bisa dikoreksi dan dikritik karena mereka adalah sumber kebenaran dan kebaikan dalam kaitan dengan mekanisme kepemimpinan. Tapi, bagi Popper, hal itu tidak mungkin. Bagi Plato, pemimpin ideal adalah Filsuf-Raja yang memiliki kualifikasi esensial yang tidak dapat diragukan lagi. Karena kualifikasi ini, ia bebas dari kritik. Namun, konsep Popper secara jelas bertentangan dengan Plato. Bagi Popper, pemimpin ideal adalah pemimpin yang senantiasa membuka diri terhadap kritik karena ia menyadari diri sebagai seorang yang tidak sempurna. Ia sungguh menjadi pemimpin ideal jika ia senatiasa membuka diri terhadap kritik baik kritik publik maupun otokritik dan berusaha untuk terus memperbaiki diri berdasarkan kritik yang diterimanya secara konsisten. b)Proses Falsifikasi: Otokritik dan Kritik Publik Menciptakan Pemimpin Demokratis di Indonesia Indonesia, sebagai negara yang demokratis atau dikenal dengan istilah Neo Liberal Responsiblity, tentu mestinya menunjukkan esensi demokrasi yang sebenarnya. Tentu hal ini membutuhkan proses yang panjang. Dengan berpijak pada pandangan Popper, demokrasi di Indonesia akan berjalan secara baik bila pemerintah dan para pemimpin senantiasa membuka diri dan bersikap rendah hati terhadap masukan dan kritik, baik kritik publik maupun otokritik. Dalam hal menyampaian kritik terdapat beberapa sarana yang bisa di jadikan sebagai media penyampaian kritikan terhadap para pemimpin salah satunya adalah Pers. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers diartikan sebagai surat kabar dan majalah yang berisi tentang berita. Melihat Pers secara Fungsional memiliki peran yang sangat penting seperti memberitakan berita berita aktual, kontrol politis dan perannya sebagai media yang mensosialisasikan pelbagai aturan normatif, pengetahuan, agama, politik, budaya dan ekonomi. Selai itu, pers dapat berfungsi sebagai pengontrol terhadap tindakan penguasa. Ia dapat memberikan kritik yang konstruktif sebagai mana yang dimaksudkan oleh Popper. Namun, untuk menjalankan fungsi ini, pers perlu menjaga independesi dan obyektivitasnya agar ia tidak menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan penguasa semata. Jika pers Indonesia bisa menghindari problem yang dapat menghalanginya untuk menyuarakan kritik terhadap pemimpin sebagai fungsi kontrolnya maka kepemimpinan yang demokratis dapat terealisir di Indonesia. B. Keterkaitan Prinsip Falsifikasi Karl Raimund Popper bagi Pembelajaran Berpolitik di Indonesia. Pascareformasi 1998 di Indonesia menunjukkan situasi perubahan yang berarti. Era Reformasi Indonesia 1998 telah menghantam kemapanan orde baru, membongkar setiap ketertutupan, totalisme dan dogmatisme. Dan menggaungkan demokrasi dan keterbukaan hampir setiap sektor seperti : Pendidikan, kesehatan,badan pengawasan, BUMN dan partai politik. Sehingga menuju sebuah lembaga yang bersih, demokrasi dan terbuka. namun sampai sekarang cita cita tersebut tak kunjung belum sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu dalam elaborasi dengan ide ide Karl Raimund Popper Penulis menemukan beberapa hal yg pantas di kritisi dari sistem sosial politis yg ada di Indonesia. a)Praktis demokrasi yang terjadi secara revolusioner dan tidak menyeluruh b)Sikap subjektif yang mengarah pada keinginan untuk membelakangi kepentingan masing-masing kelompok dan berpotensi untuk mengarah pada kekerasan fisik dan juga psikologis. c)Kebijakan publik yang tidak memperhatikan kritik dan partisipasi publik yang sebenarnya menghambat proseskemajuan. d)Komunikasi politik yang irasional dan anarkis seperti dalam model premanisme politik. Prinsip falsifikasi Poper dapat digunakan untuk membangun gaya berfikir ilmiah dalam kehidupan sosial politis. Dengan prinsip falsifikasi dapat meminimalisisr kekerasan dan keberpihakan pada kelompok dan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu di karenakan komunikasi dan sikap politik yang rasional dan ilmiah sehingga dapat memunculkan sikap objektif dalam memandang dan bersikap. Untuk itu beberapa hal yang perlu diperhatikan agar situasi ideal dapat terwujud yakni : a)Ruang publik, dimana masyarakat bisa mengekspresikan diri lewat pemberian kritik dan masukan yang konstruktif kepada para pemimpin untuk menguji setiap kebijakan publik dan juga statemen dan tindakan politik. b)Komunikasi politik yang rasional yang memiliki kriterium falsifiabilitas . Sikap kritis untuk menguji setiap argumen dan mengakui kemungkinan salah perlu dilakukan karena rasio manusia selalu terbatas. c)Proses falsifikasi dengan otokritik dan kritik publik, dimana prinsip falsifikasi dijadikan metode bagi setiap orang untuk menguji dan mengevaluasi dengan benar setiap perkataan dan tindakan politis d)Pembentukan masyarakat ilmiah,yaitu masyarakat yang menggunakan rasio sebagai instrumen utama dalam setiap tindakan. Masyarakat kritis yang selalu berdialog untuk mengupayakan kebenaran.Masyarakat atau komunitas ilmiah ini dibentuk melalui pendidikan dan pendampingan keilmuan yang memadai. e)Pendidikan politik dijadikan sebuah kekuatan sosial dalam rangka membentuk masyarakat politis yang ilmiah dan rasional. Pendidikan politik ini memerlukan pendidik dan anak didik yang dengan inovatif dan kreatif mampu mengembangkan model pembelajaran demokrasi yang bebas indoktrinasi serta hegemoni tafsir pragmatis kekuasaan rezim Dalam proses menuju masyarakat terbuka. Belajar dari Amerika serikat tentang masyarakat terbuka Presiden Obama mengatakan bahwa masyarakat terbuka memerlukan lembaga pengawasan, pasar pasar terbuka, kebebasan pers, dan sistem keadilan yang independen. Fungsinya adalah untuk menagih akuntabilitas dan mengawasi berbagai macam penyalahgunaan wewenang. Di sampung itu perlu juga iklim demokratis, di mana setiap warga aktif untuk menolak ketimpangan ketidakadilan. Oleh karena itu juga memerlukan perubahan mekanisme kerja ilmiah rasional serta sudut pandang moral dan juga mengubah kebiasaan kebiasaan sosial menyangkut pola pikir, pola rasa kita dalam menghadapi masalah-masalah serta cara mengambil keputusan dan cara bertindak kita.

Rabu, 11 September 2013

TEORI FALSIFIKASI


Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu. Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hongaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”. Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan. Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana dia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of thinking”.6 Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana ada tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.7 Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan ontologi.
  Popper dan Persoalan Sosial Politik 
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari evolusi sejarah”. 14 Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh. Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.15 Di sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.16 Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi darinya. 17 Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi. Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.19 Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.20 Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya. Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media? Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”. 22 Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia. Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.
  Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup 
Magis atau tribal atau kolektivis. Dalam masyarakat terbuka “individuals are confronted with personal decisions” dan dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak ‘the unrestrained capitalism’. Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan, “we must demand the unrestrained capitalism give way to an economic interventionism”. Alasan Popper adalah kebebasan pada dirinya sendiri menyimpan paradoks sejak “unlimited freedom means that a strong man is free to bully one who is weak and to rob him of his freedom”, demikian kata Popper sebagaimana dikutip oleh Niinilouto. Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat terbukanya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai masyarakat terbuka, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua. Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan masyarakat terbuka sangat diperlukan, yaitu dengan jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. (Wahyuddin Bakri)

Hasil Review Buku ...
Kral  R Popper. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. (Yogjakarta, PustakaPelajar, 2003)

Selasa, 10 September 2013

ANALISIS KASUS BURUH NIKE DI INDONESIA DENGAN TEORI MARXIST DAN PROTAP DENGAN TEORI POST-MARXIST

Dalam kehidupan bernegara, masalah- masalah adalah hal yang sudah menjadi biasa. Masalah sosial, masalah kesehatan, masalah ekonomi, budaya, dan lainnya. Masalah itu tentunya tidak semuanya tidak dapat diatasi. Namun,ada kalanya, masalah tersebut hanyalah masalah kecil yang sebenarnya hanya membutuhkan sedikit perhatian untuk dapat menyelesaikannya. Pengungkapan dengan adanya masalah tadi adalah terjadinya konflik. Konflik adalah suatu gejala atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang secara kasat mata menimbulkan kekacauan dan penderitaan. Dengan adanya konflik, lapisan masyarakat yang melakukan konflik tersebut akan menjadi kacau dan tidak terkendali. Dengan keadaan yang kacau, maka kesatuan yang menjadi tujuan dari setiap negara akan sulit untuk diwujudkan. Kesatuan tersebut hanyalah akan menjadi bayangan dan imipian semata yang dalam perwujudannya dihalangi oleh sebuah konflik. Dampak dari sebuah konflik tentunya bukan hanya bersifat negatif saja. Dampak positif dari sedikitnya pasti ada. Para sosiolog memandang bahwa, dengan adanya konflik diharapkan pembaharuan terjadi terhadap masalah dari penyebab konflik tersebut. harapan dibalik konflik tersebut adalah semakin membaiknya berbagai penyebab dari konflik tersebut. konflik yang tadinya membawa penderitaan dan kekacauan tadi diharapkan akan berubah menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk masyarakat yang melakukan konflik tersebut. Salah satu penyebab adanya konflik adalah dengan adanya status sosial atau dalam kajian Karl Marx disebutkan dengan pertentangan kelas. Marx bukanlah orang pertama yang mencetuskan teori kelas. Sejarah kelas buruh di inggris dimulai sejak pertengahan terakhir abad 18 dengan adanya penemuan mesin uap dan mesin pemintal benang. Bersamaan dengan Revolusi industri, dimulailah sejarah konsep kelas sebagi peralatan analisa sosial. Mula- mula konsep kelas dan kedudukan dapat saling dipertukarkan pemakaiannya seperti yang dilakukan Ferguson dan Millar; memang pemakaian konsep kedudukan lebih disukai waktu itu. Tetapi dengan munculnya masyarakat industri maka kedudukan dan posisi sosial ditentukan oleh perbedaan – perbedaan yang lebih sederhana. [1] Pisau analisis yang dapat digunakan dalam melihat suatu gejala/ fenomena konflik yang terjadi di masyarakat ataupun di negara- negara saat ini dapat dengan menggunakan analisis Marxist dan Post-Marxist. Di dalam makalah ini, saya akan mencoba membandingkan bagaimana perbandingan antara teori Marxist dan post Marxist. Bagimanakah kedua teori ini menganalisis dan melihat suatu fenomena/ konflik yang terjadi. 1. TEORI MARXIST Karl Marx bukanlah satu- satunya sosiolog yang menganalisis teori kelas. Sejarah industri abad 19 membuat para pengamat sosiolog mengkaji bagaimana situasi buruh saat itu, termasuk Marx. Ia adalah seorang revolusioner yang mulai gelisah dengan adanya perkembangan industrialisasi yang terjadi saat itu. Marx bukanlah seorang penulis yang sistematis dimana dalam tulisannya masih banyak terkandung keraguan, kurang memahami persyaratan, seperti ketepatan, konsepsi statistik, dan probabilitas dewasa ini (Sidney Hook, 1955: 11).[2] Pada abad 19, masyarakat industrialisasi terdiri dari dua kelas yang saling bermusuhan karena pembagian hasil produksi yang tidak adil. Di satu pihak terdapat kaum kapitalis yang memilik sarana produksi dan di pihak lain terdapat kaum proletar yang menjual tenaganya kepada kaum kapitalis. Akibatnya kaum proletar mengalami alienansi. Alienansi dan pembagian hasil produksi yang tidak adil tersebut menimbulkan ketegangan antara kedua kelas yang adal dalam masyarakat industri. Ketegangan itu terus meningkat sehingga pemusuhan dan inilah yang disebut perjuangan kelas. Tidah dapat dihindari bahwa perjuangan kelas ini akan menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas dimna saran- saran produksi menjadi milik bersama. Dengan perkataan lain, perjuangan kelas mutlak perlu untuk mewujudkan masyarakat komunis, dimana akhirnya alienansi dan ketidakadilan pembagian hasil produksi ditiadakan.[3] Kelas pekerja kehilangan kontrol atas sistem produksi, maka mereka teralienasi dari tugas-tugas ketenagakerjaan; dari hasil produksi yang dijual di pasar oleh produsen, dari kalangan pekerja yang lain dan dari dimensi kemanusiaan manusia itu sendiri (species being). ”Species being” merujuk kepada dimensi yang membedakan manusia sebagai makhluk dengan binatang, yang digerakkan oleh instingnya sementara manusia tidak. Sebaliknya, manusia mampu beradaptasi terhadap lingkungan bahkan menguasainya dengan akal atau rasio yang dimiliki, sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh binatang. Dengan begitu, manusia akan menjadi ”master” atau tuan (pengatur) atas lingkungannya secara aktif dan kreatif untuk bertahan hidup, menciptakan kreatifitas serta mampu mengendalikan keadaan-kedaan di sekitar dirinya yang secara intrinsik adalah bagian dari apa yang disebut manusia. Ketergantungan manusia kepada manusia lain (kelas pekerja, tani atau non-producers terhadap kapitalis) menyebabkan kemampuan membangun kesadaran diri menjadi dihilangkan. Dengan demikian, kesadaran manusia ditentukan pihak lain, yang justru menjadi ”master” atas dirinya. Sebaliknya, hakikat kemanusiaan dari kelompok kapitalis juga hilang karena keserahakan mereka untuk terus menguasai. Untuk menggambarkan hubungan-hubungan sosial seperrti ini, Marx menganalogikannya ke dalam suatu pernyataan yang sangat menarik, yakni ”binatang menjadi manusia dan manusia menjadi binatang”.[4] Marx menggambarkan bahwa kapitalisme akan berubah karena dua faktor. Pertama, faktor dari dalam karena kontradiksi di dalam sistem produksi akan menimbulkan ketidakstabilan. Masing-masing produsen akan melakukan ekspansi dan akumulasi kapital. Pada titik tertentu sebenarnya akan terjadi produk barang dan jasa akan mengalami sosialisasi karena satu sama lain unsur atau elemen masyarakat akan saling bergantung. Di sisi lain, ekspansi dan akumulasi – terutama penguasaan atas nilai lebih (surplus values) – akan menimbulkan sentralisasi kekuasaan ekonomi-politik. Hal ini yang akan menyebabkan faktor kedua semakin meningkat, yakni perjuangan kelas karena kaum proletar merasa hidupnya semakin termarjinalisasi. Marjinalisasi atau proletarisasi mendorong kesadaran kelas kaum buruh atau buruh tani membangun kekuatan ideologi-politik melawan kelas kapitalis yang menguasai hampir seluruh kehidupan kemanusiaan mereka. Revolusi proletar akan dibangun melalui proses kesadaran kelas kaum buruh yang merasa ditindas, dimulai dengan langkah-langkah dimana kaum buruh membangun organisasi di tingkat lokal untuk merebut sektor ketenagakerjaan dan industri. Selanjutnya, akan memobilisasi gerakan lebih luas di tingkat nasional mau pun internasional. Di dalam teori kelas Karl Marx, ketiga dasar- dasar pemikirfannya dihubungkan. Marx mengambil istilah kelas dari ahli ekonomi politik ; penerapannya kepada kapitalis dan proletariat berasal dari pemikiran sosialis utopis Prancis., konsep perjuangan kelasnya didasarkan atas dialektika Hegel. Teori Kelas Marx dibagi atas dua bagian yaitu sebagai dasar bagi filsafat sejarah Marx dan sebagai peralatan analisanya tentang dinamika masyarakat kapitalis. Karya Marx dalam teori Kelas- kelas ini terdapat dalam bukunyaDas Kapital. [5] Pandangan marx tentang pekerjaan antara lain dikemukakan dalam Economic and Philosophical Manuscripts. Masalah keterasingan sudah mulai dibicarakan oleh Hegel dalam bukunya Pheomenology of Mind. Dan gagasan hegel tentang keterasingan manusia amat mempengaruhi pandangan marx mengenai keterasingan manusia. Sampai bata tertentu , Marx sependapat dengan Hegel mengenai hal itu. Namun Marx tidak setuju kau kerja diidentifikasikan dengan keterasingan (menurut Hegel kerja merupakn keterasingan dan sekaligus realisasi diri sendiri). Hegel mengidentifikasikan kedua hal itu karena ia mengandaikan bahwa obyek kesadaran semata- mata hanya kesadaran diri yang diobyektifisir. Menurut hegel, proses menjadi manusia adalah suatu evolusi dan kesadaran akan obyek menuju kesadaran diri. Menurut Marx keterasingan bukan terletak dalam hubungnan manusia dengan alam, dalam hubungan yang tidak manusiawi dengan alam.[6] Dalam Economic and Phiosophical Manuscripts, Marx menerangkan bahwa dalam pekerjaannya manusia mengalami empat lapis keterasingannya, yaitu: keterasingan dari hasil kerjanya, keterasingan dari tindakan berproduksi, keterasingan dari esama manusianya dan, keterasingan dari spesciesnya (jenisnya). Menurut Marx , barang itu adalah obyektifitasi dari kerja. Hasil kerja adalah modal, tetapi modal itu menjadi tuan ata buruh. Bentuk kerja semacam ini bukanlah membebaskan, melainkan memperbudak manusia. Semakin banyak dia menghasilkan barang, semakin tidak berharga dirinya. semakin si buruh menyerahkan dirinya kepada obyek, hidupnya semakin milik obyek itu bukan miliknya sendiri. Jadi manusia mengalami keterasingan dari hasil kerjanya sendiri. Menurut pengertian Marx adalah mampu menguasai alam, bebas merdeka, kemampuannya terbuka untuk dikembangkan dan bersifat sosial. Apabila kerjanya hanya menjadi sarana mempertahankan hidupnya yang fisik ini, maka hal ini berarti bahwa barang produksi atau alam fisik baginya hanya dihadapinya sebagai yang bernilai tukar belaka. Padahal seharusnya alam itu berarti hanya baginya., sebagai pelengkap hidupnya, sebagai obyek ilmu pengetahuan, dan lain- lain. Marx berkata bahwa kerja yang terasing mengasingkan hidup manusia dari hidup individua dan membuat hidup individual menjadi abstraksi yang terasing demi tujuan hidup manusia. Akibatnya, manusia mengalami keterasingan dari sesamanya. Sesamanya menjadi orang asing yang menjadi saingannya dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam masyarakat kapitalis, manusia menjadi sarana kebutuhan orang lain, hasil kerjanya menjadi milik dan dinikmati oleh orang lain. [7] Keadaan ekonomilah terutama yang mengubah massa rakyat menjadi buruh. Kekuasaan kapital telah menciptakan suatu situasi bersama massa ini. Dan agaknya manusia dapat menyatakan: sejauh berjuta- juta keluarga hidup di bawah kondisi ekonomi yang memisahkan pandangan jidup mereka , kepentingan- kepentingan mereka, dan pendidikan mereka dari orang- orang yang termasuk anggota kelas lain dan mereka menentang kelas lain itu, maka mereka merupakan suatu kelas. Akibat dari ini adalah distribusi kekayaan dalam produksi adalah distribusi kekayaan itu menentukan distribusi kekuasaan politik di dalam masyarakat. Hubungan- hubungan produksi modern mencakup kekuasaan ekonomi pemilik kekayaan perseorangan, yakni kekuasaan ekonomi si kapitalis. Dan kekuasaan politik kelas borjuis muncul dari hubungan produksi modern. Dalam hal ini dikatakan bahwa negara modern adalah perserikatan, tetapi perserikatan yang menyelenggarakan kepentingan bersama seluruh kelas borjuis.[8] Aspek revolusi dalam pemikiran Marx adalah kekayaan dan kemiskinan, dominasi dan penundukan, pemilikan kekayaan dan ketiadaan pemilikan kekayaan , prestiise tinggi dan prestise rendah, kesemuanya sudah ada sebelum dan sesuadah terjadinya revolusi industri. Semuanya dipengaruhi oleh revolusi industri , menggantikan strata sosial lama dengan yang baru: pemilik tanah dan kaum bangasawan digantikan kaum kapitalis , buruh dan petani kecil digantikan oleh kelas proletariat. Perbedaan kedudukan dalam masyrakat pra industri di abad ke-18 banyak didasarkan atas tradisi yang dimitoskan , suatu sistem yang berbelit- belit sejak dahulu kala yang selalu mengkodifikasikan hak dan kewajiban termasuk berdasarkan gradasi kekayaan , kekuasaaan dan prsetise. Masyarakat pra industri jelas mempunyai awalnya pula. Masayarakat ini adalah masyarakat produk sejarah atau mungkin produk idiologi. Namun ketika berbenturan dengan Revolusi industri, masyarakat ini mempunyai suatu tata yang dianugrahi oleh abad keeemasan dengan suatu legitimasi dan keterpaduan yang khas. Tata masyarakat yang statis itu dileyapkan dengan adanya revolusi industri. Dua strata baru yang tercipta di inggris – yakni strata pengusaha dab buruh. Tidak ada yang ‘lebih utama’ dari keduanya, bahkan undang- undang kemiskinan Inggris mencampurkan strata miskin yang lama dan yang baru, demikian pula raja mencampurkan aristokrat yang lama dan yang baru. Kedua strata ini ‘borjuis dan proretariat’ , yang tumbuh bersama- sama dan saling terikat satu sama lain , tak memiliki tradisi kedudukan, mitos legitimasi maupun gengsi keturunan. Mereka semata- mata ditandai oleh petunjuk- petunjuk kasar berupa pemilikan kekayaan dan ketiadaan pemilik kekayaan. Pemgusaha industri dan buruh tidak mempunyai kelaziman, tradisi dan kesatuan sebagai sebuah strata. Mereka dikatakan nouveaux riches dan nouveaux pauvers, penyeludup di dalam sistem nilai lama yang diwariskan turun temurun , dan kurir dari sistem nilai baru. [9] Masyarakat Kelas dan Pembagian Kelas[10] Dalam tulisannya dengan Engel yang berjudul The German Idiology, Marx menerangkan bagaimana pembagian kerja berkembang sejalan dengan bertumbuhnya produktivitas, kebutuhan, dan pertambahan penduduk. Perkembangan pembagian keja ini dimulai dari pembewaaan yang alamiah mulai dari sistem keluarga, sistem sosial, dan kecakapan dan milik. Dan pembagian kerja ini membawa sifatnya yang khas, yaitu ekspolitasi, perbudakan. Hal ini menurut Marx sudah terdapat dalam bentuk pembagian kerja yang paling sederhana, yaitu keluarga. Selanjutnya Marx mengatakan bahwa adanya pembagian kerja berarti adanya pertentangan kepentingan perorangan atau dan suatu keluarga dengan kepentingan bersama dari semua individu yang bergaul satu sama lain. Bagi marx , kepentingan bersama itu tidak hanya berada dalam bayangan belaka melainkan sungguh hadir dalam kenyataan sebagai saling ketergantungan antat perorangan kepada siapa pekerjaaan dibagi- bagiakan. Dan bagi marx pembagian kerja itu juga erat berhubungan bahkan menyebabkan keterasingan manusia dari pekerjaannya. Pembagian kerja itu mengasingkan manusia dari sesarannya sebab pembagian kerja itu bukanlah sifat sosial yang intrinsik pada kerja itu sendiri, melainkan muncul dari dorongan untuk menghasilaknn dan menukar sebanyak mungkin barang, dengan kata lain muncul kecendrungan untuk egoisme. Karena pada hakekatnya, manusia adalah makhluk sosial, juga dalam kegaiatan produksinya, maka pertetangan antar kepentingan perorangan dengan kepentingan umum menyebabkan perpecahan dalam diri manusia sendiri. Pembagian kerja itu tidak dilakukan dengan sukarela adalah memperbudak manusia. Maka manusa terpaksa mangakui sifat sosial kegiatannya dengan cara mengasingkannya, memberinya eksistensi yang terlepas dari manusia sendiri. Kepentingan umumnya diproyeksikan dalam bentuk negara yang terpisah dari kepentingan perorangan. Ini berarti bilamana manusia berhasil merealisir kesosialanya secara penuh, negara akan hilang dengan sendirinya. Kalau negara merupakan ungkapan yang terasing dari pengakuan manusia akan sifat sosial kegiatannya, maka dalam masyarakat yang individualistis , sifat sosial kegiatan menusia itu tampak secara nyata dalam kelas- kelas dalam masyarakat. Kalau negara merupakan ungkapan sosial yang terasing, maka kelas- kelas merupakan kenyataan kesosialan manusia. Kenyataan ini berdasarkan tugas- tugas khusus yang diberikan kepada masing- masing orang dalam pembagian kerja. Menurut marx negara antara lain terbentuk berdasarkan pada kelas- kelas. Negara menurut marx, seharunya merupakan lembaga yang mampu memciptakan kedamaian dan keteraturan bagi setiap orang. Namun dalam kenyataannya, negara hanyalah menguntungkan kelas- kelas tertentu saja. Negara (sampai jaman Marx) menjadi pemegang kekuasaan dalam hal ini kapitalis) untuk menindas kelas lain yaitu kaum proletar. Negara semacam itu menurut marx seharusnya lenyap agar penindasan kelas masyarakat yang satu terhadap kelas yang lain juga lenyap , yaitu bila masyarakat komunis tercapai. [11] Hubungan produksi adalah saling terhubungkannya orang dalam proses produksi, termasuk disini pembagian kerja, sistem penukaran dan cara pembagian barang- barang. Dalam proses produksi tidak semua orang mempunyai hubungan yang sama satu dengan yang lain, tidak semua berfungsi sama, dan tidak semua memiliki kebebasan dan kekuasaan yang sama. Hubungan inilah yang menandai suatu kelas: mempunyai milik atau tidak. Mempunyai milik disini berarti mempunyai milik atas alat- alat produksi, bahan mentah dan lainnya. Sedang kelas lain yang tidak memiliki alat produksi adalah pekerja yang tidak menikmati hasil kerjanya secara penuh. Hal ini niscaya membawa adanya pertentangan antar kelas , yang disebut perjuangan. Jadi, teori Marx jelas menggambarkan bahwa proses mental yang mendasari perilaku kolektif (yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif atau kesadaran kelas) maupun yang kemudian bertransformasi menjadi kontradiksi kelas disebabkan oleh proletarisasi atau hilangnya basis-basis material yang menyebabkan kelas tertentu merasa senasib dan lebih jauh secara bersama-sama menginginkan perubahan. Dorongan perubahan yang terbangun tidak lagi sekedar di dalam bentuk-bentuk mobs atau crowds, tetapi tetapi terorganisasikan ke dalam gerakan-gerakan perjuangan politik-ideologis untuk mencapai cita-cita bersama, yakni masyarakat sosialisme. Dalam konteks ini, psikologi massa bukan lagi bersifat temporal, tetapi terstruktur rapi di dalam kesadaran ideologis untuk mencapai suatu cita-cita bersama, yakni bubarnya kapitalisme dan terbangunnya masyarakat sosialisme. Gerakan kolektif berarti bukan pula bersifat insidental yang didasari kesadaran yang keliru (false consciousness), namun berangkat dari kesadaran kelas yang dihasilkan bentuk-bentuk eksploitatif dari sistem produksi.[12] Unsur sosiologi Teori Kelas Marx[13] 1. Marx menggunakan konsep kelas untuk sosiologi yang jelas ia tak bermaksud untuk menerangkan keadaan suatu masyarakat tertentu. Teori kelas menurut Marx adalah tidak statis tetapi dinamis, tidak deskriptif tetapi analitis. Bagi Marx teori kelas bukanlah suatu teori yang mencerminkan model sebuah masyarakat yang ditangkap dalam jangka waktu tertentu, terutama bukan suatu teori tentang stratifikasi sosial, tetapi merupakan suatu alat untuk menerangkan perubahan masyarakat pada umumnya. 2. Bagi Marx kategoti kelas menempatkan satu sisi dari anatagonisme yang membawa isu dominan tentang pertentangan masyarakat. Bagi Marx ini berarti bahwa (a) setiap pertentangan yang mampu menggerakan perubahan struktural adalah suatu pertentangan kelas (b) kadar pertentangan kelas selalu mencerminkan isu dominan daripada pertentangan sosial dan (c) kedua kelas itu berada dalam hubungan ‘tesa dan antihesa’ hegelian. 3. Marx dengan sangat jelas menyatakan bahwa pertentangan kelas bukan berasal dari perbedaan pendapat atau perbedaan dari sumber pendapatan. Kelas menurut Marx bukanlah kelas pajak menurut pengertian penguasa Romawi. Faktor yang menentukan pembentukan kelas adalah pemilikan kekayaaan. Petunjuk yang paling menonjol tentang interpretasi kekayaan dalam arti sempit ini dapat ditemukan dalaam upaya permulaan analisa tentang bentuk baru pemilikan kakayaan kekayaan yang ditandai perusahan perseroan yang dikemukan marx dala jilid III Das Kapital. Disini Marx secara eksplisit memusatkan perhatiannya kepada fenomena yang kini biasa dijelaskan sebagai pemisahan antara pemilikan dan pengendalian kekayaan. Marx membahas tentang apa yang disebutkannya perubahan fungsi perubahan kapitalis yang sesungguhnya menjadi seorang direktur semata- mata,yakni sebagai administrator dari kapitalis milik orang lain, dan perubahan fungsi pemilik kapitalis menjadi pemilik uang semata- mata. Di dalam perseroan fungsi dipisahkan dari pemilikan kapital, dengan demikian tenaga kerja sama sekali dipisahkan dari pemilikan alat- alat produksi dan dari surplus yang dihasilkan tenaga kerja. Bagi Marx kembali kapitalis menjadi kekayaan produsen, yang berarti takkan ada lagi kekayaan pribadi (individual) produsen tetapi menjadi kekayaan bersama, yakni menajdi kekayaan sosial. Ini adalah sutau titik menuju kearah perubahan semua fungdsi perserikatan produsen saja, dalam arti menjadi fungsi sosial. Dengan kata lain, perusahan perseroan adalah pertengahan jalan menuju masyarakat komunis- dan menjadi alat bagi masyarakat tanpa kelas. Menurut Marx, kelas adanya kekayaan pribadi yang efektif. Pembentukan kelas, adanya kelas, dan perjuangan kelas, hanya dapat terjadi dalam masyarakat dimana beberapa barang milik dan lain- lain dikeluarkan dari pemilikan pribadi dan dari pengendalian alat- alat produksi. 4. Salah satu titik penting teori Marx adalah tak dipertentangkannya ekonomi dan kekuasaan politik dan kewibawaan. Walapun kelas didasarkan atas ‘hubungan produksi’, yakni pembagian kekayaan efektif dalam lingkungan sempit produksi komoditi, kelas hanya mempunyai makna secara sosial di dalam politik. Namun demikian, kedua bidang itu tak dapat dipisahkan. ‘kekuasaan suatu kelas menurut marx muncul dari hubungan produksi’. 5. Menurut Marx tingkat pertama proses pembentukan kelas diperlihatkan secara langsung oleh pembagian kekayaan pribadi yang efektif. Memiliki dan tidak memiliki kekayaan pribadi yang efektif , menciptakan dua ‘situasi bersama’, kondisi kehidupan , atau suatu kelas yang khas . Situasi kelas yang khas mempunyai 3 aspek yang saling melengkapi: (a) aspek distribusi kekayaan efektif semata – mata, yakni memiliki atau tidak memiliki alat- alat produksi dan kekuasaan (b) memiliki atau tidak memiliki barang- barang dan nilai- nilai yang memuaskan kebutuhan perseorangan , yakni ‘ganjaran ‘ menurut sosiologi modern, dan (c) situasi kelas dalam pengertian Marx , kepentingan bersama bukan berarti kecendrungan kesadaran dari keinginan- keinginan individual , kecendrungan ketidaksadaran potensial (atau ‘kesadaran palsu’) dari perilaku sebenarnya yang ditanggung oleh rakyat dalam situasi kelas bersama . seperti yang dikatakan Marx , kepentingan bersama muncul, tidak di dalam imajinasi semata- mata tetapi terutama dalam realitas kehidupan sebagai saling ketergantungan secara individual di antara orang – orang yang dipisahkan sebagai buruh. 6. Tentang pembentukan kelas menurut Marx: kelas tidak dengan sendirinya menjadi kelas hingga mereka ikut serta dalam pertentangan politik sebagai kelompok- kelompok yang diorganisasikan. Menurut Marx , tingkat terakhir pembentukan kelas mempunyai dua aspek pelengkap. Pada tingkat faktual dari struktur sosial, aspek pelengkap ini mencakup perserikatan orang- orang yang menjadi bagian situasi kelas dalam satu kelompok sempurna, partai atau organisasi politik. Marx menunjuk ‘organisasi ploretariat sebagai satu kelas , dan itu berarti sebagai suatu partai politik . pada tingkat normatif dan idiologis dari struktur sosial, aspek pelengkap ini mencakup artikulasi ‘kesadaran kelas’ yakni transformasi ‘kepentingan kelas objekif menjadi ‘kesadaran kelas subjektif’. 7. Teori Marx tentang pembentukan kelas terdapat dalam karyanya yang lebih luas , yakni dlam teorinya tentang pertentanga kelas sebagai kekuatan yang mengerakan perubahan sosial. Tetapi unsur- unsur teorinya yang lebih luas ini hany,ah sebgaian darti dasar- dasar sosiologi Marx. Keterpaduan filsafat dan sosiologi marx terlihat dalam proposisi sebagai berikut;[14] a. Di dalam setiap masyarakat terdapat barang dan milik yang termasuk dan yang tidak termasuk ke dalam kekayaan pribadi yang efektif b. Perbedaan situsi kelas yang menuju kearah perbedaan ekstrim antara barang milik yang termasuk dan yang tidak termasuk kedalam kekayaan pribadi dan kekuasaan makin meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat. c. Karena jurang pemisah antara situasi kelas makin bertumbuh, maka kondisi- kondisi pembentukan kelas , yakni kondisi organisasi politik dan kondisi pembentuan kelas yang eksplisit menjadi semakin matang. Perjuangan kelas secara politik antara ‘penindas’ dan ‘yang tertindas ‘ dimulai. d. Pada titik puncaknya, pertentangan kelas menghasilkan suatu perubahan revolusioner, dimana kleas penguasa yang ada kini kehilangan posisi kekuasaannya, dan digantukkini tertindas. Suatu mesyarakat baru muncul, di dalamnya oleh kelas tertindas baru muncul ladi, dan proses pembentukan kelas dan pertentangan kelas dimulai kembali. 8. Bagi Marx, masyarakat bukanlah sebuah organisasi sosial yang berfungsi secara mulus, bukan merupakan sebuah sistem sosial , atau bukan sebuah pabrik sosial yang statis. Ciri dominannya adalah perubahan yang berlangsung secara terus- menerus , bukan hanya unsur- unsurnya tetapi juga bentuk strukturalnya. Tanpa pertentangan takkan ada kemajuan: ini adalah hukum yang telah diikuti oleh peradaban umat manusia hingga sekarang. Materialisme Dialektis dan Historis [15] Marx tertarik pada gagasan dialektika Marx karena didalamnya terdapat unsur kemajuan melamui konflik dan pertentangan. Meskipun maarx meolak proses dialektikanya., idenya hegel membaliknya menjadi proses dialkektikanya menjadi materi. Marx amat tertarik adanya unsur kemajuan dan konflik, serta menggunakannya untuk menerangkan proses perkembangan masyarakat melalui revolusi. Kendati Marx tidak memberi penjelasan tuntas namun telah meletakan dasar mengenai hukum sosial, yang dikemudian hari akan disempurnakan oleh lenin yang menyimpulkan bahwa materialisme dialektis merupak hukum dalam revolusi sosial yang secara pasti berkembang kerah msayarakat komunis. Dengan hukum dialektika, masyarakat kapitalis telah mengandung dalam dirinya sendi- sendi kehancurannya dirinya , dan dengan revolusi ( oleh Marx dan Lenin disebut revolusi proletar) proses perubahan menuju msayarakat komunistis dapat dipercepat. Marx mengambil dua unsur dari hegel yaitu gagasan menganai terjadinya pertentangan anatar segi- segi yang berlawanan, dan kedua bahwa berkembang terus maju tanpa henti. Marx mengatakan bahwa setiap benda atau keadaan dalam tubuhnya sendiri menimbulkan segi- segi yang berlawanan , bertentangan satu sama lain , dan ini dinamakan kontradiksi. Jika dalam materialisme dialektika, Marx lebih berbicara tentang hukum perkembangan yang berlaku dalam dunia ; maka di dalam materialisme historis, marx lebih berbicara tentang siapa penentu arah perkembangan sejarah itu. Dalam pemikiran Marx , arah perkembangan sejalan sepenuhnya bukan ditentukan oleh mausia tetapi oleh sarana- saran produksi yang material. Meskipun, sarana- sarana produksi yang material itu merupakan buah hasil manusia namun arah perkembangan sejarah tidak tergantung pada kehendak manusia. Manusia memang mengadakan sejarah , namun dia tidak bebas mengadakan sejarahnya. Sama halnya dengan materi maka sejarah juga dideterminasi secara dialektis (yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi- kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas). Menurut Marx, sarana- sarana produksi menentukan hubungan produksi. Dengan hubungan produksi dimasudkan hubungan manusia yang satu dengan yang lain atas dasar kedudukannya dalam proses produksi. Ternyata perubahan atau perkembangan sarana produksi dengan sendirinya membawa akibat pada perubahan hubungan produksi juga. Menurut marx hubungan produksi menentukan semua hubungan sosial lainnya. Dan nyatanya, sarana- sarana produksi itu bersama- sama dengan hubungan- hubungan produksi membentuk basis ekonomis yang justru menentukan bangunan atas yang meliputi unsur- unsur institusional seperti kebudayaan, hukum , agama, dan idiologi. Dalam pandangan Marx, seluruh arah perkembangan sejarah menuju pada hubungan- hubungan produksi yang bersifat material itu. Dengan kata lain, dalam basis ekonomis akan timbul suatu pertentangan kontradiksi, karena ketidakcocokan hubungan – hubungan produksi dengan sarana- sarana produksi. Bagi Marx, hal diatas nampak dalam masyarakat industrialis kapitalistis di Eropa pada abad ke-19. Buktinya dalam masyarakat tersebut terdapat dua kelas yang bertentangan, yaitu kaum kapitalis yang memiliki sarana produksi dan kaum buruh (proletar) yang menjual tenaga kerjanya kepada kaum kapitalis. Dalam masyarakat industrialis kapitalistis itu kaum buruh telah terasing dari dirinya, dari pekerjaannya, dan dari sesamanya. Keterasingan buruh nampak dari ketidakberesan dari struktur masyarakat industrialisasi kapitalis, dan hal itu tidak daat mrnghindarkan diri dari permusuhan antara kedua kelas tersebut. dalam pandangan Marx, perjuangan kelas tidak dapat dihindari sampai menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas dimana sarana- sarana produksi menjadi milik bersama. Dengan kata lain perjuangan kelas mutlak perlu untuk menuju masyarakat yang komunistis. 2. TEORI POST-MARXIST Berbeda dengan teori Marxis, teori wacana (Post Marxist theory) lebih memfokuskan perhatian kepada aspek-aspek non-material. Esnesto Laclau dan Chantal Mouffe mencoba membongkar bagaimana keterbelahan individu yang mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut, selalu dipandang sebagai akibat dari individu lain yang menghalangi identitas mereka. Jadi, keberadaan identitas manusia selalu berada di dalam hubungan relasional dan bersifat kekuasaan. Wacana-wacana ideologi lain yang menghegemoni identitas diri dan karenanya mengancam eksistensi diri menimbulkan efek-efek keterbelahan dimana secara subjektif individu yang terhambat tersebut mencoba membangun logika pembedaan dan penyamaan (logic of difference and logic of equivalence). Logika penyamaan akan menemukan titik kebersamaan atau kesadaran kolektif dengan pihak lain yang juga mengalami hambatan identitas. Pada saat yang bersamaan, logika pembedaan akan menemukan garis pembatas politik (political frontiers) dengan wacana atau identitas lain yang berseberangan. Pada tahap ini, antagonisme sosial akan muncul, di mana musuh bersama, yakni pihak yang dianggap mengganggu eksistensi identitas kelompok akan terumuskan dengan lebih jelas. ”Kita” dan ”Mereka” dibatasi garis demarkasi politik yang tegas dan garis batas tersebut membentuk social myth mau pun social imaginary. Di sini persoalannya bukan lah seberapa objektif cita-cita diri bersama itu dirumuskan, tetapi yang lebih penting adalah seberapa masuk akal cita-cita itu mampu meyakinkan subjek-subjek untuk terus berada di dalam naungan wacana kolektif. Meminjam Gramsci, maka Laclau dan Mouffe menghubungkan dunia perwacanaan kolektif ini dengan issu hegemoni. Wacana yang secara subjektif menguasai kolektifitas akan bersifat hegemonik dan menjadi dasar gerak dari perilaku bersama.[16] Bila teori Marxis percaya adanya kesadaran kelas dan pertentangan kelas, maka Post-Marxist lebih memercayai kesadaran sosial bersama (social consiusness) yang bersifat temporal, contingent, dan historis. Teori Marxis percaya akan terbangun kekuatan terorganisir kelas tertindas melawan kelas penindas, sementara Post Marxist percaya bahwa kontradiksi atau antagonisme ini bersifat sosial dan fluktuatif. Konstruksi dan rekonstruksi sosial dibangun berdasarkan reaksi atas kepentingan momen-momen tertentu dan hanya membentuk alinasi-aliansi sosial temporer. Tidak mesti ada kelas tertentu (semacam kelas proletar) di dalam pergerakan sosial, tetap cukup dibangun di dalam cita-cita sosial bersama di dalam konteks issu-issu tertentu dan tentu saja bersifat dinamis serta relatif. Dinamika sosial bergerak seiring dengan kehendak manusia mempertahankan identitasnya. Sebaliknya, teori Marxis percaya pada suatu cita-cita permanen tentang masyarakat sosialisme di mana alur sejarah akan bergerak secara deterministik dan memiliki keteraturan.[17] Jika kita memakai teori Marxis di dalam menganalisa psikologi massa, maka pasti lah proses mental yang membentuk perilaku manusia (selain bersifat material) akan menuju suatu arah tertentu, yakni perubahan sosial menuju masyarakat sosialisme yang defenitif. Sementara teori Post Marxist, meski tetap menyetujui perjuangan sosialisme, tetapi percaya bahwa wacana sosialisme akan bersifat partikular sejalan dengan kebutuhan dan konteks masyarakat tertentu. Tidak ada yang universal, kecuali partikularitas itu sendiri. Generalitas akan menghilangkan dimensi-dimensi hakiki dari manusia karena itu social imaginary akan secara alamiah mengandung relatifisme. Meski begitu, kedua teori ini sama-sama mempercayai bahwa psikologi massa mesti lah mengarah kepada pembentukan kesadaran kolektif yang mendorong tindakan kolektif. Keduanya juga sepakat bahwa psikologi massa adalah proses mental dan perilaku kolektif yang ditujukan kepada gerakan-gerakan perubahan sosial, bukan yang bersifat insidental mau pun aksidental. Teori wacana Laclau dan Mouffe mau pun teoritisi kritis lainnya, persoalan penting yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana individu atau aktor melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas realitas sosial yang dialaminya. Karena bahasa menjadi unsur penting di dalam artikulasi, maka kreatifitas aktor merumuskan dan mengemas ”wacana sosial-politik” yang akan ditawarkan merupakan titik awal munculnya kesadaran kolektif dan tindakan kolektif. Kreatifitas konstruksi dan rekonstruksi bersifat subjektif, yakni bagaimana persepsi aktor menafsirkan realitas sosial yang logis bagi kelompok atau massa untuk menggambarkan faktor-faktor yang menghambat identitas individu mau pun bersama, yang menciptakan penderitaan sosial bersama, yang mampu merefleksikan perasaan bersama.[18] KASUS NIKE INDONESIA[19] (Dianalisis dengan menggunakan Teori Marxist) Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus 787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh dunia tetap kelaparan. Sepatu Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar. Namun ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati posisi mayoritas di papan paling bawah. Dari harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar. Kondisi inilah yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike. Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya menyatroni Nike Town di jantung kota Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka. Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya. Bagi sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike. Citra Iklan Mungkin sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih gencar dibanding perusahaan lain. Nike bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian sosialnya. Dalam salah satu iklannya, “If You Let Me Play“, muncul seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan. Mengapa Indonesia? Menurut Portland Jobs with Justice, lebih dari sepertiga produk Nike dihasilkan di Indonesia. Buruh hanya mendapat 2,25 dollar AS dan naik menjadi 2,46 dollar pada April 1997 per hari untuk membuat sekitar 100 sepatu. Dengan upah tersebut, buruh tidak mampu membeli makanan dan mencari tempat berlindung yang cukup. Dalamrelease yang dikeluarkan Portland Jobs with Justice dikatakan bahwa kalau Anda menjadi buruh Nike di Indonesia berarti Anda dan sekitar 88 persen buruh lainnya mengalami kekurangan makanan yang sehat. Juga berarti harus tinggal di gubug tanpa fasilitas air yang memadai. Buruh harus bekerja 18 jam per hari. Kalau mengeluh, buruh dipecat. Kalau mencoba untuk membentuk organisasi atau bergabung dengan serikat buruh di luar SPSI, maka buruh harus siap dipecat. PJJ menggambarkan bahwa buruh Nike di Indonesia sama sekali tidak punya masa depan. Apakah pihak Nike diam saja dengan semua serangan tersebut ? Tidak ! Nike mencoba menjelaskan kebijakan mereka. Namun tampaknya, apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan tidak sejalan. Setidaknya ini seperti yang dinilai oleh Bill Resnick dari Portland Jobs with Justice. Nike mengklaim bahwa Nike telah melakukan investasi ke negara-negara sedang berkembang. Pembangunan ekonomi dengan mesin investasi asing seperti Nike ini akan membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Nike memang berhasil mengembangkan perekonomian Korea Selatan. Tetapi menurut Bill Resnick, ini karena ada pemaksaan dari pemerintah AS untuk membantu mereka. Amerika Serikat punya kepentingan membantu Korsel karena mereka harus bersama menghadapi ancaman dari Korea Utara. Dalam masa Perang Dingin, pengaruh ini masih sangat besar. Sehingga AS banyak membantu Korea Selatan, termasuk menanamkan investasi dan transfer teknologi. Hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun Nike mengatakan bahwa apa yang dia lakukan di Indonesia sama dengan Korsel, namun menurut Bill, kenyataannya tidak. Tekanan buruh di Indonesia telah menyebabkan pemerintah Indonesia mengupayakan untuk menaikkan ketentuan upah minimun. Namun dengan kebijakan baru ini, Nike justru mengancam akan memindah investasinya ke Vietnam. Hal inilah yang ditakuti oleh pemerintah Indonesia. Nike di Indoensia tidak ada bedanya dengan developer United Fruit di Honduras. Jadi, bisnis sepatu tidak ada bedanya dengan bisnis pisang, mobil atau pun microchips. Ketika perusahaan multinasional membayar upah buruh dengan rendah, mengambil keuntungan dari negara kontraktor, dan mendukung pemerintahan yang opresif, kemudian investasi mereka hanya berarti kepedihan dan penghancuran sumber-sumber daya alam. Klaim lain dari Nike adalah bahwa kontrak-kontrak Nike di negara-negara berkembang selalu tertulis menentang penggunaan buruh anak dan mensyaratkan agar kontraktor mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Namun menurut Resnick, Nike sama sekali tidak menghiraukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kontraktornya, PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) kalau di Indonesia. Apalagi sampai terjadi kolusi antara kontraktor dengan aparat negara untuk menekan dan mengamputasi kekuatan buruh. Nike diam saja. bahkan ketika terjadi penindakan keras dan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis buruh oleh aparat, Nike pun tak bergeming. Nike hanya mendesak kontraktor untuk mampu bersaing dengan perusahaan lain dan meningkatkan keuntungan. Nike hanya akan berteriak kalau kepentingannya sudah diutik-utik atau terganggu. Analisis pemakalah: Menurut saya, dalam hal ini, teori Marx tentang adanya kelas adalah sangat tepat. Posisi perusahaan Nike di indonesia dimana Amerika sebagai pemilik modal mencerminkan kelas borjuis, sedangkan buruh indonesia mencerminkan kaum ploretar. Ketika buruh di indonesia mendemon di perusahaan Nike tersebut, Nike tetap tanpa merasa bersalah mengaku bahwa penghasilan yang didapatkan oleh para buruh adalah penghasilan yang sudah layak. Nike memang tidak akan merasa cemas dengan kehilangan buruhnya ataupun pengunduran diri dari buruhnya. Mengapa? Hal ini tentunya karena Nike mengetahui bagaimana manfaat Nike itu sendiri untuk negara- negara yang sedang berkembang. Tentu ada ketergantungan antara Indonesia dengan Nike. Buruh di Indonesia tentu membutuhkan pekerjaan, sehingga akan berpikir panjang untuk melepaskan pekerjaan mereka di perusahaan Nike. Teori marx memandang bahwa memang buruh yang tidak memiliki modal mengalami alienansi dengan kaum borjuis. Maka benarlah teori marx ini, bahwa orang- orang yang memiliki saran- sarana produksi akan berada di atas dan dengan sangat mudah menguasai orang yang tidak memilki sarana-sarana produksi tersebut. demonstrasi dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum buruh nike di Indonesia seakan membuktikan dari teori marx yang mengatakan bahwa para buruh akan mengalami keterasingan dari pembagian kerja ataupun dari hasil karyanya di suatu perusahaan. Buruh akan merasa terasing dari orang- orang disekitarnya ketika dia menyadari bahwa dia sedang berada dalam keterasingan. Terlebih lagi, demostrasi yang dilakukan oleh para buruh adalah perwujudan dari perjuangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Kelemahan dari teori marx adalah dengan mengatakan bahwa syarat pembebasan kelas buruh adalah lenyapnya setiap kelas, sebgaimana syarat pembebasan ‘negara ketiga’, yakni tegaknya tata masyarakat borjuis adala lenyapnya semua kelompok- kelompok (estates) politik yang lama. Kelas buruh akan terus- menerus menggantikan masyarakat borjuis yang lama dengan suatu perserikatan yang meniadakan kelas dan pertentangan kelas, dan takkan ada lagi suatu kekuasaan politik sebenarnya karena perserikatan itu adalah kekuasaan politik teristimewa yang mengurus pertentangan kelas di dalam masyarakat borjuis. Di dalam tata ciptaan manusia yang tak ada lagi kelas- kelaslah yang evolusi sosial berhenti menjadi revolusi politik [20] Menurut saya, masyarakat tanpa kelas tidaklah mungkin. Masing- masing individu pastilah memiliki kepentingan. Siapapun yang memiliki kepentingan akan berusaha untuk mewujudkan kepentingannya. Harapan Marx terhadap negara sebagai lembaga resmi dari masyarakat sebagai sarana untuk meleyapkan kelas- kelas tersebut adalah terlalu idealis. Setiap negara di dunia ini pun memiliki kepentingan di dalamnya. Dan untuk itu, negara tidak akan mungkin secara damai mau masuk untuk tidak saling merugikan. Hal itu tentunya sangatlah utopis. Saya berpikir, selama manusia di dunia ini masih mementingkan kepentingannya dan berada dalam taraf keegoisan, maka pemikiran Marx dengan terciptanya masyarakat yang sosialis tidak mudah untuk dicapai. KASUS PROTAP[21] (Dianalisis dengan Teori Post-Marxist) Azis Angkat tewas akibat ulah ratusan demonstran penuntut Protap yang beringas itu, orang Batak (khususnya Toba), seperti sah ditelanjangi, dikecam, dimaki. Bahkan, yang tak etisnya, para pengecam itu banyak dari kalangan non-Batak. Mereka seperti tak risih mengoreksi yang bukan etnisnya dan seakan memiliki kesempatan–yang sudah lama dipendam–untuk menghujat manusia Batak (Toba).Dan parahnya lagi, semua itu hanya berdasarkan pandangan, penilaian, yang muncul dari endapan stereotip dan hasil generalisasi yang sempit, kalau tak keliru. Berbeda sekali ketika pertempuran antar-etnis Madura vs Dayak yang amat ganas dan barbar terjadi di Kalbar dan Kalteng, yang melibatkan ratusan ribu partisan. Pers, petinggi negara, pengamat sosial-politik, dan masyarakat di luar dua etnis yang bertikai itu, seperti kompak mereduksi dampak buruknya: tak membiarkan kejadian yang amat mengerikan itu melebar, tak mempertontonkan korban mati dengan kepala dipenggal hingga ribuan jiwa itu di media massa. Opini yang menguak ihwal asal-mula dan pemicu konflik tersebut diusahakan diredam; pendapat yang boleh diekspos adalah yang menyejukkan, yang mengutamakan persatuan dan keutuhan NKRI. Orang-orang (termasuk etnis Batak Toba) tak seluruhnya tahu bahwa ide dan gagasan Protap sudah muncul sejak tahun 1952, yang mengemuka lagi tahun 2002. Juga tak paham bahwa gagasan Protap, awalnya mengajak semua puak Batak yang enam dengan agama yang berbeda-beda itu. Artinya, sejak dasarnya pun sudah jelas dipaparkan bahwa ide Protap tak mengedepankan hegemoni sub-etnis dan agama tertentu. Masalah yang kemudian mengakibatkan pecahnya “kongsi” adalah: ketidakcocokan memilih ibukota Protap. Tapsel, Mandailing-Natal, Batubara,Tapteng, Nias, Dairi, Pakpak Barat, tak setuju bila ibukota Protap di Siborongborong. Kemudian, menyusup berbagai kepentingan dari segelintir orang. Dua soal inilah yang kemudian dicelupi aneka isu, yang tak etis, kotor, picik, dan oleh sebagian pejabat pemprov serta anggota DPRD Sumut yang sejak dasarnya sudah cemas membayangkan akibat Protap bagi kekuasaan mereka, lantas terus-menerus dijadikan bahan dagangan dan konsumsi politik. Masyarakat Sumut kian masuk ke opini dan bahaya yang mengancam yang disebarkan orang-orang yang ketakutan bila Protap terbentuk: Batak Toba akan membuat wilayah Tano Batak dikuasai hanya orang Kristen. Sayangnya, masyarakat Sumut tak secara benar memahami bahwa sejumlah isu yang menyesatkan itu, yang sebetulnya sudah jadi mainan para politikus dan pemegang kekuasaan, amat perlu diembus-embuskan untuk kepentingan personal dan kelompok (termasuk parpol). GM, Chandra, dan sejumlah orang yang berkepentingan (pribadi) kian tak sabar karena uang dan tenaga mereka sudah banyak dibuang. Mereka ingin Protap segera diwujudkan. Masalahnya, rekomendasi dari DPRD tak kunjung datang dan isunya, memang takkan pernah dikeluarkan. Mereka pun meradang: Demo DPRD, ciptakan opini bahwa Azis Angkat tak berkenan pada Protap, dan bikin kesan bahwa masyarakat Batak (Toba) sudah marah! Mereka terus menggelar rapat, merekrut massa (termasuk mahasiswa dari kampus milik GM), mengatur strategi, dan mengucurkan uang. Tentu saja GM, Chandra, dan orang dekat mereka, amat penting mendesak terbentuknya Protap, apalagi aset GM di Siborongborong (calon ibukota Protap) terus bertambah–yang, katanya, disiapkan untuk pembangunan fasilitas perkantoran dan ruang bisnis. Sejumlah jabatan dan privilese diiming-iming. Tapi, mereka tak antisipasif, over confidence, hingga meluputkan kemungkinan (terburuk) dari sebuah tindakan menggerakkan ribuan massa untuk berunjuk rasa. Dan terjadilah peristiwa yang mengundang kemarahan publik itu. Batak sejati, sesungguhnya lebih terikat pada adat-istiadat, hubungan marga, dan menonjolkan kearifan yang diwariskan leluhur Batak; bukan agama-kepercayaan, kepentingan bisnis, politik, ideologi; yang tak akan memukul genderang permusuhan hanya disebabkan perbedaan. Penulis : Suhunan Situmorang : pengacara, sastrawan (pengarang novel Sordam). Analisis pemakalah: Artikel diatas adalah salah satu artikel yang ada di Internet tentang pemekaran Protap. Menurut saya, konflik pemekaran protap memang hanyalah untuk kebahagian segelitir elit politik. Untuk melakukan pemekaran seharusnya wilayah- wilayah tersebut harus sudah teruji kelayakannya. Pembangunan di daerah masing- masing haruslah sudah mulai membaik. Teori post marxist memandang bahwa ada masyarakat yang ingin menunjukkan suatu identitas nya, dalam kasus ini, saya pikir, masyarakat Batak Toba ingin memunjukkan keberadaan sukunya dan membuat sukunya menjadi suku yang besar. Dengan meminjam teori teori wacana (Post Marxist theory) lebih memfokuskan perhatian kepada aspek-aspek non-material. Esnesto Laclau dan Chantal Mouffe mencoba membongkar bagaimana keterbelahan individu yang mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut, selalu dipandang sebagai akibat dari individu lain yang menghalangi identitas mereka. Jadi, keberadaan identitas manusia selalu berada di dalam hubungan relasional dan bersifat kekuasaan. Wacana-wacana ideologi lain yang menghegemoni identitas diri dan karenanya mengancam eksistensi diri menimbulkan efek-efek keterbelahan dimana secara subjektif individu yang terhambat tersebut mencoba membangun logika pembedaan dan penyamaan (logic of difference and logic of equivalence). Masyarakat batak berada dalam posisi ini, masyarakat batak ingin menunjukkan identitas individu mereka. Mereka berusaha menyamakan identitas batak dan mereka merasa berbeda dengan yang lainnya. Mereka merasa bahwa mereka harus membentuk suatu identitas bersama maka ingin membentuk pemekaran protap , sekalipun menurut saya, diluar dari ini ada kepentingan dari elit politik. Kelemahan dari post marxist menurut saya dalam menjelaskan identitas kelompok ini adalah post marxist tidak bisa melihat apakah memang masyarakat yang ingin membangun persamaan dan perbedaan itu memang benar- benar karena mereka sendiri. Post marxist seakan tidak memperdulikan variabel lainnya yang dapat menyebabkan perubahan dalam masyarakat tertentu. Post marxist tidak melihat bagaimana pengaruh dari luar diri individu yang akan membangun identitas tersebut. namun memang, post marxist sangat tepat dengan analisisnya tentang identitas individu, yaitu gejala sosial yang ada dalam tatanan masyarakat.

TEORI KARL MARX DALAM REALITA KEHIDUPAN

ANALISIS KASUS BURUH NIKE DI INDONESI

1. Perspektif Teori
Dalam kehidupan bernegara, masalah- masalah adalah hal yang sudah menjadi biasa. Masalah sosial, masalah kesehatan, masalah ekonomi, budaya, dan lainnya. Masalah itu tentunya tidak semuanya tidak dapat diatasi. Namun,ada kalanya, masalah tersebut hanyalah masalah kecil yang sebenarnya hanya membutuhkan sedikit perhatian untuk dapat menyelesaikannya. Pengungkapan dengan adanya masalah tadi adalah terjadinya konflik. Konflik adalah suatu gejala atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang secara kasat mata menimbulkan kekacauan dan penderitaan. Dengan adanya konflik, lapisan masyarakat yang melakukan konflik tersebut akan menjadi kacau dan tidak terkendali. Dengan keadaan yang kacau, maka kesatuan yang menjadi tujuan dari setiap negara akan sulit untuk diwujudkan. Kesatuan tersebut hanyalah akan menjadi bayangan dan imipian semata yang dalam perwujudannya dihalangi oleh sebuah konflik. Dampak dari sebuah konflik tentunya bukan hanya bersifat negatif saja. Dampak positif dari sedikitnya pasti ada. Para sosiolog memandang bahwa, dengan adanya konflik diharapkan pembaharuan terjadi terhadap masalah dari penyebab konflik tersebut. harapan dibalik konflik tersebut adalah semakin membaiknya berbagai penyebab dari konflik tersebut. konflik yang tadinya membawa penderitaan dan kekacauan tadi diharapkan akan berubah menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk masyarakat yang melakukan konflik tersebut. Salah satu penyebab adanya konflik adalah dengan adanya status sosial atau dalam kajian Karl Marx disebutkan dengan pertentangan kelas. Marx bukanlah orang pertama yang mencetuskan teori kelas. Sejarah kelas buruh di inggris dimulai sejak pertengahan terakhir abad 18 dengan adanya penemuan mesin uap dan mesin pemintal benang. Bersamaan dengan Revolusi industri, dimulailah sejarah konsep kelas sebagi peralatan analisa sosial. Mula- mula konsep kelas dan kedudukan dapat saling dipertukarkan pemakaiannya seperti yang dilakukan Ferguson dan Millar; memang pemakaian konsep kedudukan lebih disukai waktu itu. Tetapi dengan munculnya masyarakat industri maka kedudukan dan posisi sosial ditentukan oleh perbedaan – perbedaan yang lebih sederhana. [1] Pisau analisis yang dapat digunakan dalam melihat suatu gejala/ fenomena konflik yang terjadi di masyarakat ataupun di negara- negara saat ini dapat dengan menggunakan analisis Marxist dan Post-Marxist. Di dalam makalah ini, saya akan mencoba membandingkan bagaimana perbandingan antara teori Marxist dan post Marxist. Bagimanakah kedua teori ini menganalisis dan melihat suatu fenomena/ konflik yang terjadi.

1. TEORI MARXIST Karl Marx bukanlah satu- satunya sosiolog yang menganalisis teori kelas. Sejarah industri abad 19 membuat para pengamat sosiolog mengkaji bagaimana situasi buruh saat itu, termasuk Marx. Ia adalah seorang revolusioner yang mulai gelisah dengan adanya perkembangan industrialisasi yang terjadi saat itu. Marx bukanlah seorang penulis yang sistematis dimana dalam tulisannya masih banyak terkandung keraguan, kurang memahami persyaratan, seperti ketepatan, konsepsi statistik, dan probabilitas dewasa ini (Sidney Hook, 1955: 11).
2. Pada abad 19, masyarakat industrialisasi terdiri dari dua kelas yang saling bermusuhan karena pembagian hasil produksi yang tidak adil. Di satu pihak terdapat kaum kapitalis yang memilik sarana produksi dan di pihak lain terdapat kaum proletar yang menjual tenaganya kepada kaum kapitalis. Akibatnya kaum proletar mengalami alienansi. Alienansi dan pembagian hasil produksi yang tidak adil tersebut menimbulkan ketegangan antara kedua kelas yang adal dalam masyarakat industri. Ketegangan itu terus meningkat sehingga pemusuhan dan inilah yang disebut perjuangan kelas. Tidah dapat dihindari bahwa perjuangan kelas ini akan menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas dimna saran- saran produksi menjadi milik bersama. Dengan perkataan lain, perjuangan kelas mutlak perlu untuk mewujudkan masyarakat komunis, dimana akhirnya alienansi dan ketidakadilan pembagian hasil produksi ditiadakan.
3. Kelas pekerja kehilangan kontrol atas sistem produksi, maka mereka teralienasi dari tugas-tugas ketenagakerjaan; dari hasil produksi yang dijual di pasar oleh produsen, dari kalangan pekerja yang lain dan dari dimensi kemanusiaan manusia itu sendiri (species being). ”Species being” merujuk kepada dimensi yang membedakan manusia sebagai makhluk dengan binatang, yang digerakkan oleh instingnya sementara manusia tidak. Sebaliknya, manusia mampu beradaptasi terhadap lingkungan bahkan menguasainya dengan akal atau rasio yang dimiliki, sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh binatang. Dengan begitu, manusia akan menjadi ”master” atau tuan (pengatur) atas lingkungannya secara aktif dan kreatif untuk bertahan hidup, menciptakan kreatifitas serta mampu mengendalikan keadaan-kedaan di sekitar dirinya yang secara intrinsik adalah bagian dari apa yang disebut manusia. Ketergantungan manusia kepada manusia lain (kelas pekerja, tani atau non-producers terhadap kapitalis) menyebabkan kemampuan membangun kesadaran diri menjadi dihilangkan. Dengan demikian, kesadaran manusia ditentukan pihak lain, yang justru menjadi ”master” atas dirinya. Sebaliknya, hakikat kemanusiaan dari kelompok kapitalis juga hilang karena keserahakan mereka untuk terus menguasai. Untuk menggambarkan hubungan-hubungan sosial seperrti ini, Marx menganalogikannya ke dalam suatu pernyataan yang sangat menarik, yakni ”binatang menjadi manusia dan manusia menjadi binatang”.
4. Marx menggambarkan bahwa kapitalisme akan berubah karena dua faktor. Pertama, faktor dari dalam karena kontradiksi di dalam sistem produksi akan menimbulkan ketidakstabilan. Masing-masing produsen akan melakukan ekspansi dan akumulasi kapital. Pada titik tertentu sebenarnya akan terjadi produk barang dan jasa akan mengalami sosialisasi karena satu sama lain unsur atau elemen masyarakat akan saling bergantung. Di sisi lain, ekspansi dan akumulasi – terutama penguasaan atas nilai lebih (surplus values) – akan menimbulkan sentralisasi kekuasaan ekonomi-politik. Hal ini yang akan menyebabkan faktor kedua semakin meningkat, yakni perjuangan kelas karena kaum proletar merasa hidupnya semakin termarjinalisasi. Marjinalisasi atau proletarisasi mendorong kesadaran kelas kaum buruh atau buruh tani membangun kekuatan ideologi-politik melawan kelas kapitalis yang menguasai hampir seluruh kehidupan kemanusiaan mereka. Revolusi proletar akan dibangun melalui proses kesadaran kelas kaum buruh yang merasa ditindas, dimulai dengan langkah-langkah dimana kaum buruh membangun organisasi di tingkat lokal untuk merebut sektor ketenagakerjaan dan industri. Selanjutnya, akan memobilisasi gerakan lebih luas di tingkat nasional mau pun internasional. Di dalam teori kelas Karl Marx, ketiga dasar- dasar pemikirfannya dihubungkan. Marx mengambil istilah kelas dari ahli ekonomi politik ; penerapannya kepada kapitalis dan proletariat berasal dari pemikiran sosialis utopis Prancis., konsep perjuangan kelasnya didasarkan atas dialektika Hegel. Teori Kelas Marx dibagi atas dua bagian yaitu sebagai dasar bagi filsafat sejarah Marx dan sebagai peralatan analisanya tentang dinamika masyarakat kapitalis. Karya Marx dalam teori Kelas- kelas ini terdapat dalam bukunyaDas Kapital.
5. Pandangan marx tentang pekerjaan antara lain dikemukakan dalam Economic and Philosophical Manuscripts. Masalah keterasingan sudah mulai dibicarakan oleh Hegel dalam bukunya Pheomenology of Mind. Dan gagasan hegel tentang keterasingan manusia amat mempengaruhi pandangan marx mengenai keterasingan manusia. Sampai bata tertentu , Marx sependapat dengan Hegel mengenai hal itu. Namun Marx tidak setuju kau kerja diidentifikasikan dengan keterasingan (menurut Hegel kerja merupakn keterasingan dan sekaligus realisasi diri sendiri). Hegel mengidentifikasikan kedua hal itu karena ia mengandaikan bahwa obyek kesadaran semata- mata hanya kesadaran diri yang diobyektifisir. Menurut hegel, proses menjadi manusia adalah suatu evolusi dan kesadaran akan obyek menuju kesadaran diri. Menurut Marx keterasingan bukan terletak dalam hubungnan manusia dengan alam, dalam hubungan yang tidak manusiawi dengan alam.
6. Dalam Economic and Phiosophical Manuscripts, Marx menerangkan bahwa dalam pekerjaannya manusia mengalami empat lapis keterasingannya, yaitu: keterasingan dari hasil kerjanya, keterasingan dari tindakan berproduksi, keterasingan dari esama manusianya dan, keterasingan dari spesciesnya (jenisnya). Menurut Marx , barang itu adalah obyektifitasi dari kerja. Hasil kerja adalah modal, tetapi modal itu menjadi tuan ata buruh. Bentuk kerja semacam ini bukanlah membebaskan, melainkan memperbudak manusia. Semakin banyak dia menghasilkan barang, semakin tidak berharga dirinya. semakin si buruh menyerahkan dirinya kepada obyek, hidupnya semakin milik obyek itu bukan miliknya sendiri. Jadi manusia mengalami keterasingan dari hasil kerjanya sendiri. Menurut pengertian Marx adalah mampu menguasai alam, bebas merdeka, kemampuannya terbuka untuk dikembangkan dan bersifat sosial. Apabila kerjanya hanya menjadi sarana mempertahankan hidupnya yang fisik ini, maka hal ini berarti bahwa barang produksi atau alam fisik baginya hanya dihadapinya sebagai yang bernilai tukar belaka. Padahal seharusnya alam itu berarti hanya baginya., sebagai pelengkap hidupnya, sebagai obyek ilmu pengetahuan, dan lain- lain. Marx berkata bahwa kerja yang terasing mengasingkan hidup manusia dari hidup individua dan membuat hidup individual menjadi abstraksi yang terasing demi tujuan hidup manusia. Akibatnya, manusia mengalami keterasingan dari sesamanya. Sesamanya menjadi orang asing yang menjadi saingannya dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam masyarakat kapitalis, manusia menjadi sarana kebutuhan orang lain, hasil kerjanya menjadi milik dan dinikmati oleh orang lain.
7. Keadaan ekonomilah terutama yang mengubah massa rakyat menjadi buruh. Kekuasaan kapital telah menciptakan suatu situasi bersama massa ini. Dan agaknya manusia dapat menyatakan: sejauh berjuta- juta keluarga hidup di bawah kondisi ekonomi yang memisahkan pandangan jidup mereka , kepentingan- kepentingan mereka, dan pendidikan mereka dari orang- orang yang termasuk anggota kelas lain dan mereka menentang kelas lain itu, maka mereka merupakan suatu kelas. Akibat dari ini adalah distribusi kekayaan dalam produksi adalah distribusi kekayaan itu menentukan distribusi kekuasaan politik di dalam masyarakat. Hubungan- hubungan produksi modern mencakup kekuasaan ekonomi pemilik kekayaan perseorangan, yakni kekuasaan ekonomi si kapitalis. Dan kekuasaan politik kelas borjuis muncul dari hubungan produksi modern. Dalam hal ini dikatakan bahwa negara modern adalah perserikatan, tetapi perserikatan yang menyelenggarakan kepentingan bersama seluruh kelas borjuis.
8. Aspek revolusi dalam pemikiran Marx adalah kekayaan dan kemiskinan, dominasi dan penundukan, pemilikan kekayaan dan ketiadaan pemilikan kekayaan , prestiise tinggi dan prestise rendah, kesemuanya sudah ada sebelum dan sesuadah terjadinya revolusi industri. Semuanya dipengaruhi oleh revolusi industri , menggantikan strata sosial lama dengan yang baru: pemilik tanah dan kaum bangasawan digantikan kaum kapitalis , buruh dan petani kecil digantikan oleh kelas proletariat. Perbedaan kedudukan dalam masyrakat pra industri di abad ke-18 banyak didasarkan atas tradisi yang dimitoskan , suatu sistem yang berbelit- belit sejak dahulu kala yang selalu mengkodifikasikan hak dan kewajiban termasuk berdasarkan gradasi kekayaan , kekuasaaan dan prsetise. Masyarakat pra industri jelas mempunyai awalnya pula. Masayarakat ini adalah masyarakat produk sejarah atau mungkin produk idiologi. Namun ketika berbenturan dengan Revolusi industri, masyarakat ini mempunyai suatu tata yang dianugrahi oleh abad keeemasan dengan suatu legitimasi dan keterpaduan yang khas. Tata masyarakat yang statis itu dileyapkan dengan adanya revolusi industri. Dua strata baru yang tercipta di inggris – yakni strata pengusaha dab buruh. Tidak ada yang ‘lebih utama’ dari keduanya, bahkan undang- undang kemiskinan Inggris mencampurkan strata miskin yang lama dan yang baru, demikian pula raja mencampurkan aristokrat yang lama dan yang baru. Kedua strata ini ‘borjuis dan proretariat’ , yang tumbuh bersama- sama dan saling terikat satu sama lain , tak memiliki tradisi kedudukan, mitos legitimasi maupun gengsi keturunan. Mereka semata- mata ditandai oleh petunjuk- petunjuk kasar berupa pemilikan kekayaan dan ketiadaan pemilik kekayaan. Pemgusaha industri dan buruh tidak mempunyai kelaziman, tradisi dan kesatuan sebagai sebuah strata. Mereka dikatakan nouveaux riches dan nouveaux pauvers, penyeludup di dalam sistem nilai lama yang diwariskan turun temurun , dan kurir dari sistem nilai baru.
9. Masyarakat Kelas dan Pembagian Kelas.
10. Dalam tulisannya dengan Engel yang berjudul The German Idiology, Marx menerangkan bagaimana pembagian kerja berkembang sejalan dengan bertumbuhnya produktivitas, kebutuhan, dan pertambahan penduduk. Perkembangan pembagian keja ini dimulai dari pembewaaan yang alamiah mulai dari sistem keluarga, sistem sosial, dan kecakapan dan milik. Dan pembagian kerja ini membawa sifatnya yang khas, yaitu ekspolitasi, perbudakan. Hal ini menurut Marx sudah terdapat dalam bentuk pembagian kerja yang paling sederhana, yaitu keluarga. Selanjutnya Marx mengatakan bahwa adanya pembagian kerja berarti adanya pertentangan kepentingan perorangan atau dan suatu keluarga dengan kepentingan bersama dari semua individu yang bergaul satu sama lain. Bagi marx , kepentingan bersama itu tidak hanya berada dalam bayangan belaka melainkan sungguh hadir dalam kenyataan sebagai saling ketergantungan antat perorangan kepada siapa pekerjaaan dibagi- bagiakan. Dan bagi marx pembagian kerja itu juga erat berhubungan bahkan menyebabkan keterasingan manusia dari pekerjaannya. Pembagian kerja itu mengasingkan manusia dari sesarannya sebab pembagian kerja itu bukanlah sifat sosial yang intrinsik pada kerja itu sendiri, melainkan muncul dari dorongan untuk menghasilaknn dan menukar sebanyak mungkin barang, dengan kata lain muncul kecendrungan untuk egoisme. Karena pada hakekatnya, manusia adalah makhluk sosial, juga dalam kegaiatan produksinya, maka pertetangan antar kepentingan perorangan dengan kepentingan umum menyebabkan perpecahan dalam diri manusia sendiri. Pembagian kerja itu tidak dilakukan dengan sukarela adalah memperbudak manusia. Maka manusa terpaksa mangakui sifat sosial kegiatannya dengan cara mengasingkannya, memberinya eksistensi yang terlepas dari manusia sendiri. Kepentingan umumnya diproyeksikan dalam bentuk negara yang terpisah dari kepentingan perorangan. Ini berarti bilamana manusia berhasil merealisir kesosialanya secara penuh, negara akan hilang dengan sendirinya. Kalau negara merupakan ungkapan yang terasing dari pengakuan manusia akan sifat sosial kegiatannya, maka dalam masyarakat yang individualistis , sifat sosial kegiatan menusia itu tampak secara nyata dalam kelas- kelas dalam masyarakat. Kalau negara merupakan ungkapan sosial yang terasing, maka kelas- kelas merupakan kenyataan kesosialan manusia. Kenyataan ini berdasarkan tugas- tugas khusus yang diberikan kepada masing- masing orang dalam pembagian kerja. Menurut marx negara antara lain terbentuk berdasarkan pada kelas- kelas. Negara menurut marx, seharunya merupakan lembaga yang mampu memciptakan kedamaian dan keteraturan bagi setiap orang. Namun dalam kenyataannya, negara hanyalah menguntungkan kelas- kelas tertentu saja. Negara (sampai jaman Marx) menjadi pemegang kekuasaan dalam hal ini kapitalis) untuk menindas kelas lain yaitu kaum proletar. Negara semacam itu menurut marx seharusnya lenyap agar penindasan kelas masyarakat yang satu terhadap kelas yang lain juga lenyap , yaitu bila masyarakat komunis tercapai.
11. Hubungan produksi adalah saling terhubungkannya orang dalam proses produksi, termasuk disini pembagian kerja, sistem penukaran dan cara pembagian barang- barang. Dalam proses produksi tidak semua orang mempunyai hubungan yang sama satu dengan yang lain, tidak semua berfungsi sama, dan tidak semua memiliki kebebasan dan kekuasaan yang sama. Hubungan inilah yang menandai suatu kelas: mempunyai milik atau tidak. Mempunyai milik disini berarti mempunyai milik atas alat- alat produksi, bahan mentah dan lainnya. Sedang kelas lain yang tidak memiliki alat produksi adalah pekerja yang tidak menikmati hasil kerjanya secara penuh. Hal ini niscaya membawa adanya pertentangan antar kelas , yang disebut perjuangan. Jadi, teori Marx jelas menggambarkan bahwa proses mental yang mendasari perilaku kolektif (yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif atau kesadaran kelas) maupun yang kemudian bertransformasi menjadi kontradiksi kelas disebabkan oleh proletarisasi atau hilangnya basis-basis material yang menyebabkan kelas tertentu merasa senasib dan lebih jauh secara bersama-sama menginginkan perubahan. Dorongan perubahan yang terbangun tidak lagi sekedar di dalam bentuk-bentuk mobs atau crowds, tetapi tetapi terorganisasikan ke dalam gerakan-gerakan perjuangan politik-ideologis untuk mencapai cita-cita bersama, yakni masyarakat sosialisme. Dalam konteks ini, psikologi massa bukan lagi bersifat temporal, tetapi terstruktur rapi di dalam kesadaran ideologis untuk mencapai suatu cita-cita bersama, yakni bubarnya kapitalisme dan terbangunnya masyarakat sosialisme. Gerakan kolektif berarti bukan pula bersifat insidental yang didasari kesadaran yang keliru (false consciousness), namun berangkat dari kesadaran kelas yang dihasilkan bentuk-bentuk eksploitatif dari sistem produksi.
12. Unsur sosiologi Teori Kelas Marx.
13. 1. Marx menggunakan konsep kelas untuk sosiologi yang jelas ia tak bermaksud untuk menerangkan keadaan suatu masyarakat tertentu. Teori kelas menurut Marx adalah tidak statis tetapi dinamis, tidak deskriptif tetapi analitis. Bagi Marx teori kelas bukanlah suatu teori yang mencerminkan model sebuah masyarakat yang ditangkap dalam jangka waktu tertentu, terutama bukan suatu teori tentang stratifikasi sosial, tetapi merupakan suatu alat untuk menerangkan perubahan masyarakat pada umumnya. 2. Bagi Marx kategoti kelas menempatkan satu sisi dari anatagonisme yang membawa isu dominan tentang pertentangan masyarakat. Bagi Marx ini berarti bahwa (a) setiap pertentangan yang mampu menggerakan perubahan struktural adalah suatu pertentangan kelas (b) kadar pertentangan kelas selalu mencerminkan isu dominan daripada pertentangan sosial dan (c) kedua kelas itu berada dalam hubungan ‘tesa dan antihesa’ hegelian. 3. Marx dengan sangat jelas menyatakan bahwa pertentangan kelas bukan berasal dari perbedaan pendapat atau perbedaan dari sumber pendapatan. Kelas menurut Marx bukanlah kelas pajak menurut pengertian penguasa Romawi. Faktor yang menentukan pembentukan kelas adalah pemilikan kekayaaan. Petunjuk yang paling menonjol tentang interpretasi kekayaan dalam arti sempit ini dapat ditemukan dalaam upaya permulaan analisa tentang bentuk baru pemilikan kakayaan kekayaan yang ditandai perusahan perseroan yang dikemukan marx dala jilid III Das Kapital. Disini Marx secara eksplisit memusatkan perhatiannya kepada fenomena yang kini biasa dijelaskan sebagai pemisahan antara pemilikan dan pengendalian kekayaan. Marx membahas tentang apa yang disebutkannya perubahan fungsi perubahan kapitalis yang sesungguhnya menjadi seorang direktur semata- mata,yakni sebagai administrator dari kapitalis milik orang lain, dan perubahan fungsi pemilik kapitalis menjadi pemilik uang semata- mata. Di dalam perseroan fungsi dipisahkan dari pemilikan kapital, dengan demikian tenaga kerja sama sekali dipisahkan dari pemilikan alat- alat produksi dan dari surplus yang dihasilkan tenaga kerja. Bagi Marx kembali kapitalis menjadi kekayaan produsen, yang berarti takkan ada lagi kekayaan pribadi (individual) produsen tetapi menjadi kekayaan bersama, yakni menajdi kekayaan sosial. Ini adalah sutau titik menuju kearah perubahan semua fungdsi perserikatan produsen saja, dalam arti menjadi fungsi sosial. Dengan kata lain, perusahan perseroan adalah pertengahan jalan menuju masyarakat komunis- dan menjadi alat bagi masyarakat tanpa kelas. Menurut Marx, kelas adanya kekayaan pribadi yang efektif. Pembentukan kelas, adanya kelas, dan perjuangan kelas, hanya dapat terjadi dalam masyarakat dimana beberapa barang milik dan lain- lain dikeluarkan dari pemilikan pribadi dan dari pengendalian alat- alat produksi. 4. Salah satu titik penting teori Marx adalah tak dipertentangkannya ekonomi dan kekuasaan politik dan kewibawaan. Walapun kelas didasarkan atas ‘hubungan produksi’, yakni pembagian kekayaan efektif dalam lingkungan sempit produksi komoditi, kelas hanya mempunyai makna secara sosial di dalam politik. Namun demikian, kedua bidang itu tak dapat dipisahkan. ‘kekuasaan suatu kelas menurut marx muncul dari hubungan produksi’. 5. Menurut Marx tingkat pertama proses pembentukan kelas diperlihatkan secara langsung oleh pembagian kekayaan pribadi yang efektif. Memiliki dan tidak memiliki kekayaan pribadi yang efektif , menciptakan dua ‘situasi bersama’, kondisi kehidupan , atau suatu kelas yang khas . Situasi kelas yang khas mempunyai 3 aspek yang saling melengkapi: (a) aspek distribusi kekayaan efektif semata – mata, yakni memiliki atau tidak memiliki alat- alat produksi dan kekuasaan (b) memiliki atau tidak memiliki barang- barang dan nilai- nilai yang memuaskan kebutuhan perseorangan , yakni ‘ganjaran ‘ menurut sosiologi modern, dan (c) situasi kelas dalam pengertian Marx , kepentingan bersama bukan berarti kecendrungan kesadaran dari keinginan- keinginan individual , kecendrungan ketidaksadaran potensial (atau ‘kesadaran palsu’) dari perilaku sebenarnya yang ditanggung oleh rakyat dalam situasi kelas bersama . seperti yang dikatakan Marx , kepentingan bersama muncul, tidak di dalam imajinasi semata- mata tetapi terutama dalam realitas kehidupan sebagai saling ketergantungan secara individual di antara orang – orang yang dipisahkan sebagai buruh. 6. Tentang pembentukan kelas menurut Marx: kelas tidak dengan sendirinya menjadi kelas hingga mereka ikut serta dalam pertentangan politik sebagai kelompok- kelompok yang diorganisasikan. Menurut Marx , tingkat terakhir pembentukan kelas mempunyai dua aspek pelengkap. Pada tingkat faktual dari struktur sosial, aspek pelengkap ini mencakup perserikatan orang- orang yang menjadi bagian situasi kelas dalam satu kelompok sempurna, partai atau organisasi politik. Marx menunjuk ‘organisasi ploretariat sebagai satu kelas , dan itu berarti sebagai suatu partai politik . pada tingkat normatif dan idiologis dari struktur sosial, aspek pelengkap ini mencakup artikulasi ‘kesadaran kelas’ yakni transformasi ‘kepentingan kelas objekif menjadi ‘kesadaran kelas subjektif’. 7. Teori Marx tentang pembentukan kelas terdapat dalam karyanya yang lebih luas , yakni dlam teorinya tentang pertentanga kelas sebagai kekuatan yang mengerakan perubahan sosial. Tetapi unsur- unsur teorinya yang lebih luas ini hany,ah sebgaian darti dasar- dasar sosiologi Marx. Keterpaduan filsafat dan sosiologi marx terlihat dalam proposisi sebagai berikut;
14. a. Di dalam setiap masyarakat terdapat barang dan milik yang termasuk dan yang tidak termasuk ke dalam kekayaan pribadi yang efektif b. Perbedaan situsi kelas yang menuju kearah perbedaan ekstrim antara barang milik yang termasuk dan yang tidak termasuk kedalam kekayaan pribadi dan kekuasaan makin meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat. c. Karena jurang pemisah antara situasi kelas makin bertumbuh, maka kondisi- kondisi pembentukan kelas , yakni kondisi organisasi politik dan kondisi pembentuan kelas yang eksplisit menjadi semakin matang. Perjuangan kelas secara politik antara ‘penindas’ dan ‘yang tertindas ‘ dimulai. d. Pada titik puncaknya, pertentangan kelas menghasilkan suatu perubahan revolusioner, dimana kleas penguasa yang ada kini kehilangan posisi kekuasaannya, dan digantukkini tertindas. Suatu mesyarakat baru muncul, di dalamnya oleh kelas tertindas baru muncul ladi, dan proses pembentukan kelas dan pertentangan kelas dimulai kembali. 8. Bagi Marx, masyarakat bukanlah sebuah organisasi sosial yang berfungsi secara mulus, bukan merupakan sebuah sistem sosial , atau bukan sebuah pabrik sosial yang statis. Ciri dominannya adalah perubahan yang berlangsung secara terus- menerus , bukan hanya unsur- unsurnya tetapi juga bentuk strukturalnya. Tanpa pertentangan takkan ada kemajuan: ini adalah hukum yang telah diikuti oleh peradaban umat manusia hingga sekarang. Materialisme Dialektis dan Historis.
15. Marx tertarik pada gagasan dialektika Marx karena didalamnya terdapat unsur kemajuan melamui konflik dan pertentangan. Meskipun maarx meolak proses dialektikanya., idenya hegel membaliknya menjadi proses dialkektikanya menjadi materi. Marx amat tertarik adanya unsur kemajuan dan konflik, serta menggunakannya untuk menerangkan proses perkembangan masyarakat melalui revolusi. Kendati Marx tidak memberi penjelasan tuntas namun telah meletakan dasar mengenai hukum sosial, yang dikemudian hari akan disempurnakan oleh lenin yang menyimpulkan bahwa materialisme dialektis merupak hukum dalam revolusi sosial yang secara pasti berkembang kerah msayarakat komunis. Dengan hukum dialektika, masyarakat kapitalis telah mengandung dalam dirinya sendi- sendi kehancurannya dirinya , dan dengan revolusi ( oleh Marx dan Lenin disebut revolusi proletar) proses perubahan menuju msayarakat komunistis dapat dipercepat. Marx mengambil dua unsur dari hegel yaitu gagasan menganai terjadinya pertentangan anatar segi- segi yang berlawanan, dan kedua bahwa berkembang terus maju tanpa henti. Marx mengatakan bahwa setiap benda atau keadaan dalam tubuhnya sendiri menimbulkan segi- segi yang berlawanan , bertentangan satu sama lain , dan ini dinamakan kontradiksi. Jika dalam materialisme dialektika, Marx lebih berbicara tentang hukum perkembangan yang berlaku dalam dunia ; maka di dalam materialisme historis, marx lebih berbicara tentang siapa penentu arah perkembangan sejarah itu. Dalam pemikiran Marx , arah perkembangan sejalan sepenuhnya bukan ditentukan oleh mausia tetapi oleh sarana- saran produksi yang material. Meskipun, sarana- sarana produksi yang material itu merupakan buah hasil manusia namun arah perkembangan sejarah tidak tergantung pada kehendak manusia. Manusia memang mengadakan sejarah , namun dia tidak bebas mengadakan sejarahnya. Sama halnya dengan materi maka sejarah juga dideterminasi secara dialektis (yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi- kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas). Menurut Marx, sarana- sarana produksi menentukan hubungan produksi. Dengan hubungan produksi dimasudkan hubungan manusia yang satu dengan yang lain atas dasar kedudukannya dalam proses produksi. Ternyata perubahan atau perkembangan sarana produksi dengan sendirinya membawa akibat pada perubahan hubungan produksi juga. Menurut marx hubungan produksi menentukan semua hubungan sosial lainnya. Dan nyatanya, sarana- sarana produksi itu bersama- sama dengan hubungan- hubungan produksi membentuk basis ekonomis yang justru menentukan bangunan atas yang meliputi unsur- unsur institusional seperti kebudayaan, hukum , agama, dan idiologi. Dalam pandangan Marx, seluruh arah perkembangan sejarah menuju pada hubungan- hubungan produksi yang bersifat material itu. Dengan kata lain, dalam basis ekonomis akan timbul suatu pertentangan kontradiksi, karena ketidakcocokan hubungan – hubungan produksi dengan sarana- sarana produksi. Bagi Marx, hal diatas nampak dalam masyarakat industrialis kapitalistis di Eropa pada abad ke-19. Buktinya dalam masyarakat tersebut terdapat dua kelas yang bertentangan, yaitu kaum kapitalis yang memiliki sarana produksi dan kaum buruh (proletar) yang menjual tenaga kerjanya kepada kaum kapitalis. Dalam masyarakat industrialis kapitalistis itu kaum buruh telah terasing dari dirinya, dari pekerjaannya, dan dari sesamanya. Keterasingan buruh nampak dari ketidakberesan dari struktur masyarakat industrialisasi kapitalis, dan hal itu tidak daat mrnghindarkan diri dari permusuhan antara kedua kelas tersebut. dalam pandangan Marx, perjuangan kelas tidak dapat dihindari sampai menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas dimana sarana- sarana produksi menjadi milik bersama. Dengan kata lain perjuangan kelas mutlak perlu untuk menuju masyarakat yang komunistis. 2.

TEORI POST-MARXIST

Berbeda dengan teori Marxis, teori wacana (Post Marxist theory) lebih memfokuskan perhatian kepada aspek-aspek non-material. Esnesto Laclau dan Chantal Mouffe mencoba membongkar bagaimana keterbelahan individu yang mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut, selalu dipandang sebagai akibat dari individu lain yang menghalangi identitas mereka. Jadi, keberadaan identitas manusia selalu berada di dalam hubungan relasional dan bersifat kekuasaan. Wacana-wacana ideologi lain yang menghegemoni identitas diri dan karenanya mengancam eksistensi diri menimbulkan efek-efek keterbelahan dimana secara subjektif individu yang terhambat tersebut mencoba membangun logika pembedaan dan penyamaan (logic of difference and logic of equivalence). Logika penyamaan akan menemukan titik kebersamaan atau kesadaran kolektif dengan pihak lain yang juga mengalami hambatan identitas. Pada saat yang bersamaan, logika pembedaan akan menemukan garis pembatas politik (political frontiers) dengan wacana atau identitas lain yang berseberangan. Pada tahap ini, antagonisme sosial akan muncul, di mana musuh bersama, yakni pihak yang dianggap mengganggu eksistensi identitas kelompok akan terumuskan dengan lebih jelas. ”Kita” dan ”Mereka” dibatasi garis demarkasi politik yang tegas dan garis batas tersebut membentuk social myth mau pun social imaginary. Di sini persoalannya bukan lah seberapa objektif cita-cita diri bersama itu dirumuskan, tetapi yang lebih penting adalah seberapa masuk akal cita-cita itu mampu meyakinkan subjek-subjek untuk terus berada di dalam naungan wacana kolektif. Meminjam Gramsci, maka Laclau dan Mouffe menghubungkan dunia perwacanaan kolektif ini dengan issu hegemoni. Wacana yang secara subjektif menguasai kolektifitas akan bersifat hegemonik dan menjadi dasar gerak dari perilaku bersama.
16. Bila teori Marxis percaya adanya kesadaran kelas dan pertentangan kelas, maka Post-Marxist lebih memercayai kesadaran sosial bersama (social consiusness) yang bersifat temporal, contingent, dan historis. Teori Marxis percaya akan terbangun kekuatan terorganisir kelas tertindas melawan kelas penindas, sementara Post Marxist percaya bahwa kontradiksi atau antagonisme ini bersifat sosial dan fluktuatif. Konstruksi dan rekonstruksi sosial dibangun berdasarkan reaksi atas kepentingan momen-momen tertentu dan hanya membentuk alinasi-aliansi sosial temporer. Tidak mesti ada kelas tertentu (semacam kelas proletar) di dalam pergerakan sosial, tetap cukup dibangun di dalam cita-cita sosial bersama di dalam konteks issu-issu tertentu dan tentu saja bersifat dinamis serta relatif. Dinamika sosial bergerak seiring dengan kehendak manusia mempertahankan identitasnya. Sebaliknya, teori Marxis percaya pada suatu cita-cita permanen tentang masyarakat sosialisme di mana alur sejarah akan bergerak secara deterministik dan memiliki keteraturan.
17. Jika kita memakai teori Marxis di dalam menganalisa psikologi massa, maka pasti lah proses mental yang membentuk perilaku manusia (selain bersifat material) akan menuju suatu arah tertentu, yakni perubahan sosial menuju masyarakat sosialisme yang defenitif. Sementara teori Post Marxist, meski tetap menyetujui perjuangan sosialisme, tetapi percaya bahwa wacana sosialisme akan bersifat partikular sejalan dengan kebutuhan dan konteks masyarakat tertentu. Tidak ada yang universal, kecuali partikularitas itu sendiri. Generalitas akan menghilangkan dimensi-dimensi hakiki dari manusia karena itu social imaginary akan secara alamiah mengandung relatifisme. Meski begitu, kedua teori ini sama-sama mempercayai bahwa psikologi massa mesti lah mengarah kepada pembentukan kesadaran kolektif yang mendorong tindakan kolektif. Keduanya juga sepakat bahwa psikologi massa adalah proses mental dan perilaku kolektif yang ditujukan kepada gerakan-gerakan perubahan sosial, bukan yang bersifat insidental mau pun aksidental. Teori wacana Laclau dan Mouffe mau pun teoritisi kritis lainnya, persoalan penting yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana individu atau aktor melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas realitas sosial yang dialaminya. Karena bahasa menjadi unsur penting di dalam artikulasi, maka kreatifitas aktor merumuskan dan mengemas ”wacana sosial-politik” yang akan ditawarkan merupakan titik awal munculnya kesadaran kolektif dan tindakan kolektif. Kreatifitas konstruksi dan rekonstruksi bersifat subjektif, yakni bagaimana persepsi aktor menafsirkan realitas sosial yang logis bagi kelompok atau massa untuk menggambarkan faktor-faktor yang menghambat identitas individu mau pun bersama, yang menciptakan penderitaan sosial bersama, yang mampu merefleksikan perasaan bersama.

2. RELEVANSI TEORI (KASUS DI  INDONESIA)
(Dianalisis dengan menggunakan Teori Marxist)
Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus 787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh dunia tetap kelaparan. Sepatu Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar. Namun ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati posisi mayoritas di papan paling bawah. Dari harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar. Kondisi inilah yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike. Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya menyatroni Nike Town di jantung kota Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka. Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya. Bagi sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike. Citra Iklan Mungkin sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih gencar dibanding perusahaan lain. Nike bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian sosialnya. Dalam salah satu iklannya, “If You Let Me Play“, muncul seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan. Mengapa Indonesia? Menurut Portland Jobs with Justice, lebih dari sepertiga produk Nike dihasilkan di Indonesia. Buruh hanya mendapat 2,25 dollar AS dan naik menjadi 2,46 dollar pada April 1997 per hari untuk membuat sekitar 100 sepatu. Dengan upah tersebut, buruh tidak mampu membeli makanan dan mencari tempat berlindung yang cukup. Dalamrelease yang dikeluarkan Portland Jobs with Justice dikatakan bahwa kalau Anda menjadi buruh Nike di Indonesia berarti Anda dan sekitar 88 persen buruh lainnya mengalami kekurangan makanan yang sehat. Juga berarti harus tinggal di gubug tanpa fasilitas air yang memadai. Buruh harus bekerja 18 jam per hari. Kalau mengeluh, buruh dipecat. Kalau mencoba untuk membentuk organisasi atau bergabung dengan serikat buruh di luar SPSI, maka buruh harus siap dipecat. PJJ menggambarkan bahwa buruh Nike di Indonesia sama sekali tidak punya masa depan. Apakah pihak Nike diam saja dengan semua serangan tersebut ? Tidak ! Nike mencoba menjelaskan kebijakan mereka. Namun tampaknya, apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan tidak sejalan. Setidaknya ini seperti yang dinilai oleh Bill Resnick dari Portland Jobs with Justice. Nike mengklaim bahwa Nike telah melakukan investasi ke negara-negara sedang berkembang. Pembangunan ekonomi dengan mesin investasi asing seperti Nike ini akan membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Nike memang berhasil mengembangkan perekonomian Korea Selatan. Tetapi menurut Bill Resnick, ini karena ada pemaksaan dari pemerintah AS untuk membantu mereka. Amerika Serikat punya kepentingan membantu Korsel karena mereka harus bersama menghadapi ancaman dari Korea Utara. Dalam masa Perang Dingin, pengaruh ini masih sangat besar. Sehingga AS banyak membantu Korea Selatan, termasuk menanamkan investasi dan transfer teknologi. Hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun Nike mengatakan bahwa apa yang dia lakukan di Indonesia sama dengan Korsel, namun menurut Bill, kenyataannya tidak. Tekanan buruh di Indonesia telah menyebabkan pemerintah Indonesia mengupayakan untuk menaikkan ketentuan upah minimun. Namun dengan kebijakan baru ini, Nike justru mengancam akan memindah investasinya ke Vietnam. Hal inilah yang ditakuti oleh pemerintah Indonesia. Nike di Indoensia tidak ada bedanya dengan developer United Fruit di Honduras. Jadi, bisnis sepatu tidak ada bedanya dengan bisnis pisang, mobil atau pun microchips. Ketika perusahaan multinasional membayar upah buruh dengan rendah, mengambil keuntungan dari negara kontraktor, dan mendukung pemerintahan yang opresif, kemudian investasi mereka hanya berarti kepedihan dan penghancuran sumber-sumber daya alam. Klaim lain dari Nike adalah bahwa kontrak-kontrak Nike di negara-negara berkembang selalu tertulis menentang penggunaan buruh anak dan mensyaratkan agar kontraktor mematuhi hukum yang berlaku di negaranya. Namun menurut Resnick, Nike sama sekali tidak menghiraukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kontraktornya, PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) kalau di Indonesia. Apalagi sampai terjadi kolusi antara kontraktor dengan aparat negara untuk menekan dan mengamputasi kekuatan buruh. Nike diam saja. bahkan ketika terjadi penindakan keras dan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis buruh oleh aparat, Nike pun tak bergeming. Nike hanya mendesak kontraktor untuk mampu bersaing dengan perusahaan lain dan meningkatkan keuntungan. Nike hanya akan berteriak kalau kepentingannya sudah diutik-utik atau terganggu. Analisis pemakalah: Menurut saya, dalam hal ini, teori Marx tentang adanya kelas adalah sangat tepat. Posisi perusahaan Nike di indonesia dimana Amerika sebagai pemilik modal mencerminkan kelas borjuis, sedangkan buruh indonesia mencerminkan kaum ploretar. Ketika buruh di indonesia mendemon di perusahaan Nike tersebut, Nike tetap tanpa merasa bersalah mengaku bahwa penghasilan yang didapatkan oleh para buruh adalah penghasilan yang sudah layak. Nike memang tidak akan merasa cemas dengan kehilangan buruhnya ataupun pengunduran diri dari buruhnya. Mengapa? Hal ini tentunya karena Nike mengetahui bagaimana manfaat Nike itu sendiri untuk negara- negara yang sedang berkembang. Tentu ada ketergantungan antara Indonesia dengan Nike. Buruh di Indonesia tentu membutuhkan pekerjaan, sehingga akan berpikir panjang untuk melepaskan pekerjaan mereka di perusahaan Nike. Teori marx memandang bahwa memang buruh yang tidak memiliki modal mengalami alienansi dengan kaum borjuis. Maka benarlah teori marx ini, bahwa orang- orang yang memiliki saran- sarana produksi akan berada di atas dan dengan sangat mudah menguasai orang yang tidak memilki sarana-sarana produksi tersebut. demonstrasi dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum buruh nike di Indonesia seakan membuktikan dari teori marx yang mengatakan bahwa para buruh akan mengalami keterasingan dari pembagian kerja ataupun dari hasil karyanya di suatu perusahaan. Buruh akan merasa terasing dari orang- orang disekitarnya ketika dia menyadari bahwa dia sedang berada dalam keterasingan. Terlebih lagi, demostrasi yang dilakukan oleh para buruh adalah perwujudan dari perjuangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Kelemahan dari teori marx adalah dengan mengatakan bahwa syarat pembebasan kelas buruh adalah lenyapnya setiap kelas, sebgaimana syarat pembebasan ‘negara ketiga’, yakni tegaknya tata masyarakat borjuis adala lenyapnya semua kelompok- kelompok (estates) politik yang lama. Kelas buruh akan terus- menerus menggantikan masyarakat borjuis yang lama dengan suatu perserikatan yang meniadakan kelas dan pertentangan kelas, dan takkan ada lagi suatu kekuasaan politik sebenarnya karena perserikatan itu adalah kekuasaan politik teristimewa yang mengurus pertentangan kelas di dalam masyarakat borjuis. Di dalam tata ciptaan manusia yang tak ada lagi kelas- kelaslah yang evolusi sosial berhenti menjadi revolusi politik
      Menurut saya, masyarakat tanpa kelas tidaklah mungkin. Masing- masing individu pastilah memiliki kepentingan. Siapapun yang memiliki kepentingan akan berusaha untuk mewujudkan kepentingannya. Harapan Marx terhadap negara sebagai lembaga resmi dari masyarakat sebagai sarana untuk meleyapkan kelas- kelas tersebut adalah terlalu idealis. Setiap negara di dunia ini pun memiliki kepentingan di dalamnya. Dan untuk itu, negara tidak akan mungkin secara damai mau masuk untuk tidak saling merugikan. Hal itu tentunya sangatlah utopis. Saya berpikir, selama manusia di dunia ini masih mementingkan kepentingannya dan berada dalam taraf keegoisan, maka pemikiran Marx dengan terciptanya masyarakat yang sosialis tidak mudah untuk dicapai. KASUS PROTAP[21] (Dianalisis dengan Teori Post-Marxist) Azis Angkat tewas akibat ulah ratusan demonstran penuntut Protap yang beringas itu, orang Batak (khususnya Toba), seperti sah ditelanjangi, dikecam, dimaki. Bahkan, yang tak etisnya, para pengecam itu banyak dari kalangan non-Batak. Mereka seperti tak risih mengoreksi yang bukan etnisnya dan seakan memiliki kesempatan–yang sudah lama dipendam–untuk menghujat manusia Batak (Toba).Dan parahnya lagi, semua itu hanya berdasarkan pandangan, penilaian, yang muncul dari endapan stereotip dan hasil generalisasi yang sempit, kalau tak keliru. Berbeda sekali ketika pertempuran antar-etnis Madura vs Dayak yang amat ganas dan barbar terjadi di Kalbar dan Kalteng, yang melibatkan ratusan ribu partisan. Pers, petinggi negara, pengamat sosial-politik, dan masyarakat di luar dua etnis yang bertikai itu, seperti kompak mereduksi dampak buruknya: tak membiarkan kejadian yang amat mengerikan itu melebar, tak mempertontonkan korban mati dengan kepala dipenggal hingga ribuan jiwa itu di media massa. Opini yang menguak ihwal asal-mula dan pemicu konflik tersebut diusahakan diredam; pendapat yang boleh diekspos adalah yang menyejukkan, yang mengutamakan persatuan dan keutuhan NKRI. Orang-orang (termasuk etnis Batak Toba) tak seluruhnya tahu bahwa ide dan gagasan Protap sudah muncul sejak tahun 1952, yang mengemuka lagi tahun 2002. Juga tak paham bahwa gagasan Protap, awalnya mengajak semua puak Batak yang enam dengan agama yang berbeda-beda itu. Artinya, sejak dasarnya pun sudah jelas dipaparkan bahwa ide Protap tak mengedepankan hegemoni sub-etnis dan agama tertentu. Masalah yang kemudian mengakibatkan pecahnya “kongsi” adalah: ketidakcocokan memilih ibukota Protap. Tapsel, Mandailing-Natal, Batubara,Tapteng, Nias, Dairi, Pakpak Barat, tak setuju bila ibukota Protap di Siborongborong. Kemudian, menyusup berbagai kepentingan dari segelintir orang. Dua soal inilah yang kemudian dicelupi aneka isu, yang tak etis, kotor, picik, dan oleh sebagian pejabat pemprov serta anggota DPRD Sumut yang sejak dasarnya sudah cemas membayangkan akibat Protap bagi kekuasaan mereka, lantas terus-menerus dijadikan bahan dagangan dan konsumsi politik. Masyarakat Sumut kian masuk ke opini dan bahaya yang mengancam yang disebarkan orang-orang yang ketakutan bila Protap terbentuk: Batak Toba akan membuat wilayah Tano Batak dikuasai hanya orang Kristen. Sayangnya, masyarakat Sumut tak secara benar memahami bahwa sejumlah isu yang menyesatkan itu, yang sebetulnya sudah jadi mainan para politikus dan pemegang kekuasaan, amat perlu diembus-embuskan untuk kepentingan personal dan kelompok (termasuk parpol). GM, Chandra, dan sejumlah orang yang berkepentingan (pribadi) kian tak sabar karena uang dan tenaga mereka sudah banyak dibuang. Mereka ingin Protap segera diwujudkan. Masalahnya, rekomendasi dari DPRD tak kunjung datang dan isunya, memang takkan pernah dikeluarkan. Mereka pun meradang: Demo DPRD, ciptakan opini bahwa Azis Angkat tak berkenan pada Protap, dan bikin kesan bahwa masyarakat Batak (Toba) sudah marah! Mereka terus menggelar rapat, merekrut massa (termasuk mahasiswa dari kampus milik GM), mengatur strategi, dan mengucurkan uang. Tentu saja GM, Chandra, dan orang dekat mereka, amat penting mendesak terbentuknya Protap, apalagi aset GM di Siborongborong (calon ibukota Protap) terus bertambah–yang, katanya, disiapkan untuk pembangunan fasilitas perkantoran dan ruang bisnis. Sejumlah jabatan dan privilese diiming-iming. Tapi, mereka tak antisipasif, over confidence, hingga meluputkan kemungkinan (terburuk) dari sebuah tindakan menggerakkan ribuan massa untuk berunjuk rasa. Dan terjadilah peristiwa yang mengundang kemarahan publik itu. Batak sejati, sesungguhnya lebih terikat pada adat-istiadat, hubungan marga, dan menonjolkan kearifan yang diwariskan leluhur Batak; bukan agama-kepercayaan, kepentingan bisnis, politik, ideologi; yang tak akan memukul genderang permusuhan hanya disebabkan perbedaan. Penulis : Suhunan Situmorang : pengacara, sastrawan (pengarang novel Sordam). Analisis pemakalah: Artikel diatas adalah salah satu artikel yang ada di Internet tentang pemekaran Protap. Menurut saya, konflik pemekaran protap memang hanyalah untuk kebahagian segelitir elit politik. Untuk melakukan pemekaran seharusnya wilayah- wilayah tersebut harus sudah teruji kelayakannya. Pembangunan di daerah masing- masing haruslah sudah mulai membaik. Teori post marxist memandang bahwa ada masyarakat yang ingin menunjukkan suatu identitas nya, dalam kasus ini, saya pikir, masyarakat Batak Toba ingin memunjukkan keberadaan sukunya dan membuat sukunya menjadi suku yang besar. Dengan meminjam teori teori wacana (Post Marxist theory) lebih memfokuskan perhatian kepada aspek-aspek non-material. Esnesto Laclau dan Chantal Mouffe mencoba membongkar bagaimana keterbelahan individu yang mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut, selalu dipandang sebagai akibat dari individu lain yang menghalangi identitas mereka. Jadi, keberadaan identitas manusia selalu berada di dalam hubungan relasional dan bersifat kekuasaan. Wacana-wacana ideologi lain yang menghegemoni identitas diri dan karenanya mengancam eksistensi diri menimbulkan efek-efek keterbelahan dimana secara subjektif individu yang terhambat tersebut mencoba membangun logika pembedaan dan penyamaan (logic of difference and logic of equivalence). Masyarakat batak berada dalam posisi ini, masyarakat batak ingin menunjukkan identitas individu mereka. Mereka berusaha menyamakan identitas batak dan mereka merasa berbeda dengan yang lainnya. Mereka merasa bahwa mereka harus membentuk suatu identitas bersama maka ingin membentuk pemekaran protap , sekalipun menurut saya, diluar dari ini ada kepentingan dari elit politik. Kelemahan dari post marxist menurut saya dalam menjelaskan identitas kelompok ini adalah post marxist tidak bisa melihat apakah memang masyarakat yang ingin membangun persamaan dan perbedaan itu memang benar- benar karena mereka sendiri. Post marxist seakan tidak memperdulikan variabel lainnya yang dapat menyebabkan perubahan dalam masyarakat tertentu. Post marxist tidak melihat bagaimana pengaruh dari luar diri individu yang akan membangun identitas tersebut. namun memang, post marxist sangat tepat dengan analisisnya tentang identitas individu, yaitu gejala sosial yang ada dalam tatanan masyarakat.