Rabu, 11 September 2013

TEORI FALSIFIKASI


Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu. Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hongaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”. Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melalui Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana dia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertama dia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua dia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan. Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana dia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of thinking”.6 Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana ada tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.7 Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan ontologi.
  Popper dan Persoalan Sosial Politik 
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari evolusi sejarah”. 14 Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh. Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.15 Di sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.16 Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi darinya. 17 Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi. Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.19 Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.20 Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya. Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media? Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”. 22 Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia. Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.
  Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup 
Magis atau tribal atau kolektivis. Dalam masyarakat terbuka “individuals are confronted with personal decisions” dan dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak ‘the unrestrained capitalism’. Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan, “we must demand the unrestrained capitalism give way to an economic interventionism”. Alasan Popper adalah kebebasan pada dirinya sendiri menyimpan paradoks sejak “unlimited freedom means that a strong man is free to bully one who is weak and to rob him of his freedom”, demikian kata Popper sebagaimana dikutip oleh Niinilouto. Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat terbukanya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai masyarakat terbuka, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua. Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan masyarakat terbuka sangat diperlukan, yaitu dengan jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. (Wahyuddin Bakri)

Hasil Review Buku ...
Kral  R Popper. Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. (Yogjakarta, PustakaPelajar, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar